Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pakar Nilai Terdakwa Pembunuhan Laskar FPI Mestinya Dituntut 15 Tahun
Oleh : Redaksi
Kamis | 24-02-2022 | 08:20 WIB
A-rekonstruksi-penembakan-laskar-fpi_jpg2.jpg Honda-Batam
Tim penyidik Bareskrim Polri memeragakan rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. (Foto: CNN Indonesia/Yogi Anugrah)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajdar mengatakan semestinya jaksa menuntut dua terdakwa pembunuhan 4 Laskar FPI, Ipda M. Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan, dengan hukuman maksimal yaitu 15 tahun penjara.

Menurut Fickar, pembunuhan 4 Laslar FPI itu sengaja dilakukan. Yusmin dan Fikri juga tidak memiliki motif seperti sakit hati maupun hubungan sosial lainnya.

"Mestinya ancamannya maksimal (15 tahun). Karena apa? Kan, tidak ada motif sebenarnya, motifnya karena dia petugas saja," kata Fickar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (22/2/2022) petang.

Menurut Fickar, tuntutan jaksa terlalu kecil. Semestinya jaksa mempertimbangkan latar belakang kedua terdakwa yang merupakan polisi sebagai alasan memberatkan.

Sementara, anggota polisi yang seharusnya menjaga keamanan justru menembak mati warga sipil. Selain itu, informasi bahwa Fikry telah menjadi polisi selama 15 tahun dan Yusmin 20 tahun juga menjadi alasan memberatkan. Sebab, mereka seharusnya sudah berpengalaman.

"Iya (terlalu sedikit). Artinya hukuman paling tinggi, maksimal berapa itu mestinya dituntutnya...karena dia penegak hukum, itu memberatkan kalau menurut saya, membunuh warga sipil," kata Fickar.

Fickar mengingatkan polisi dipersenjatai bukan untuk menembak lawannya, melainkan menjaga diri. Terlebih, dalam insiden KM 50 polisi tidak sedang menghadapi massa, melainkan beberapa orang yang cukup seimbang.

Jika ada orang yang melanggar hukum, kata dia, semestinya ditangkap untuk kemudian diproses. Namun, dalam kasus ini polisi justru melakukan eksekusi.

"Yang melanggar hukum itu ditangkap diadili, bukan ditembak, harus melalui proses hukum," ujar Fickar.

"Itu sudah eksekusi namanya...ini sudah ditahan ditembak pula," imbuhnya.

Sementara, terkait argumen pihak terdakwa bahwa mereka melakukan penembakan karena terpaksa, kata Fickar, merupakan sebuah cerita.

Peristiwa penembakan itu bukan kejadian yang diketahui secara terbuka, sehingga kejadian yang sebenarnya tidak diketahui.

"Menurut saya itu karena cerita saja, faktanya kita enggak tahu, ada saksinya enggak itu?" tuturnya.

Sebelumnya, terdakwa kasus dugaan pembunuhan empat anggota Laskar FPI dalam tragedi KM 50, Ipda M. Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dituntut 6 tahun penjara.

Jaksa penuntut umum (JPU) menilai Yusmin dan Fikri terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama.

Hal ini sesuai dengan dakwaan primer yakni dinilai melanggar Pasal338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

"Menjatuhkan pidana terhadap Fikri Ramadhan dengan pidana penjara selama 6 tahun dengan perintah agar terdakwa ditahan," kata Jaksa.

Sebagai informasi, anggota FPI terlibat dalam aksi kejar-kejaran dan baku tembak dengan anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya. Peristiwa itu terjadi di depan Hotel Novotel, Jalan Interchange, Karawang, Jawa Barat hingga kawasan KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

Jaksa menyebut anggota Laskar FPI ditembak dari jarak dekat dan mematikan oleh tiga anggota Polda Metro Jaya yakni, Ipda Elwira Priadi Z., Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Mohammad Yusmin.

JPU lantas mendakwa dua anggota Polda Metro Jaya Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin melanggar pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Selain itu, mereka juga didakwa Pasal 351 ayat 3 juncto Pasal 55 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Sementara, Elwira dinyatakan meninggal dalam kecelakaan yang terjadi pada Januari lalu. Namun kedua polisi pembunuh anggota FPI itu tidak ditahan sampai hari ini.

Sumber: cnnindonesia.com
Editor: Dardani