Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penyair, Berkarya dan Membuat Sejarah
Oleh : Opini
Selasa | 02-11-2021 | 14:36 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM.png Honda-Batam
Budayawan Kepri, Rida K Liamsi. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

BAGAIMANA memperkuat akar perpuisian di Indonesia ? Pertanyaan ini memang terkesan agak galau, cemas, seakan bimbang tentang nasib perpuisian dan juga kepenyairan di Indonesia. Tapi inilah pertanyaan selalu muncul bila perayaan Hari Puisi Indonesia diadakan.

Secara tidak langsung, pertanyaan ini mengandung maksud : bagaimana upaya-upaya dan kerja keras yang harus dilakukan untuk terus mempertahankan semangat perpuisian di Indonesia, agar terus hidup dan berakar di tengah masyarakat kesusasteraan.

Kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan agar tradisi-tradisi dan lain-lain kerja budaya yang sudah dilakukan tetap terus hidup, terpelihara dan menjadi tradisi.

Tetapi, pertanyaan tematik ini, juga merupakan semacam kegelisahan di kalangan penyair dan dunia perpuisian Indonesia, bahwa mungkin satu hari, puisi akan tercerabut dari akar kesusasteraan di Indonesia.

Tersisih dan tersingkir, dan tidak lagi dianggap sebagai karya sastra, mengingat bagaimana cabang seni sastra yang satu dan paling tua ini, dirasakan seperti makin lama makin kehilangan para peminat dan pendukungnya.

Tidak sulit untuk mencari indikasi tentang kemerosotan itu. Lihatlah bagaimana misalnya susahnya seksrang menjual buku puisi di toko-toko buku, dibanding buku-buku novel.

Bagaimana misalnya kegiatan membaca puisi di sekolah-sekolah sudah nyaris tak ada lagi, karena kurikulum di sekolah-sekolah sekarang sudah menyisihkan kesusasteraan dari mata pelajaran utama.

Jurusan bahasa dan sastra di Sekolah Lanjutan Atas misalnya, sudah dihapus dan diganti dengan jurusan ilmu-ilmu sosial saja. Di perguruan tinggi, Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, juga sudah hampir tak mengenal puisi dan kesusasteraan lainnya, dan begitu susah mendapat para mahasiswa baru.

Bayangkan bagaimana seorang penyair, seperti Joko Pinurbo, Hasan Aspahani, atau lainnya yang sedang menanjak, tak dikenal oleh para siswa di sekolah-sekolah menengah, dan bahkan di perguruan tinggi.

Untunglah misalnya Hasan Aspahdia menulis biografi Chairil Anwar, bisa menyelenggarakan diskusi-diskusi sastra di berbagai tempat, bayangkan kalau yang ditawarkan adalah diskusi buku puisinya.

Dan Tinta pun Telah Mengering yang jadi buku pilihan terbaik HPI 2016 , betapa sulit dan lambatnya respon dunia pendidikan dan perguruan tinggi

Mereka terperangkap oleh mindset para pengajarnya, yang hanya tahu Chairil Anwar, Sutarji Calzoum Bachri, dan terkadang tak bisa membedakan antara Taufik Ismail dan Taufik Ikram Jamil.

Apakah puisi memang akan tercerabut dari akarnya? Saya kira tidak. Bukan saja karena sampai saat ini tetap masih banyak penyair dan puisi-puisi yang diciptakan. Pada event Anugerah Buku Puisi Terbaik HPI misalnya ratusan buku kumpulan puisi yang ikut bertarung.

Ini yang tercatat karena ikut berlomba, sementara yang diterbitkan dan tidak terinformasikan dan tidak ikut lomba, bukan mustahil juga banyak. Buku-buku puisi yang diterbitkan setiap tahun, mungkin lebih banyak dari buku-buku novel, dan bahkan buku-buku fiksi dan nonfiksi lainnya yang terbit di Indonesia

Fenomena perpuisian di Indonesia beberapa tahun terakhir ini memang menunjukkan tanda-tanda yang sangat menggembirakan.Komunitas-komunitas sastra, khususnya puisi tumbuh dimana-mana. Kegiatan membaca dan membicarakan puisi terjadi dimana-mana. Di Cafe dan bahkan ruang-ruang terhormat di gedung legislatif, bukan hal yang mustahil untuk disentuh puisi.

Sementara itu, sudah ada pula Hari Puisi Indonesia (HPI), yang dirayakan tiap tanggal 26 Juli, sebuah hari dimana, para penyair dan para pendukungnya (komunitasnya) memuliakan dan menghormati puisi dan para penyairnya.

Bahkan tahun 2016 dapat dikatakan sebagai tahun puisi di Indonesia, karena seorang wakil presiden bersedia hadir di acara peringatan Hari Puisi Indonesia dan membaca puisi hasil karyanya sendiri.

Di duniapun, tahun 2016 adalah tahun puisi, dengan ditetapkan lirik-lirik lagu Bob Dylan sebagai karya sastra dan untuk itu Bob Dylan dianugerahi Hadiah Nobel 2016, meskipun, seperti diutarakannya dalam pidato tertulisnya yang dibacakan oleh Azita Raji, Duta Besar Amerika Serikat untuk Swedia, pada malam resepsi penganugerahan Nobel Prize itu, Bob Dylan masih ragu atau dengan rendah hati dan bertanya : Apakah lagu-lagu saya itu, memang sebuah karya sastra?

Di luar indikator-indikator dan semua kecendrungan serta perubahan persepsi dunia kesenian itu terhadap puisi, ada hal yang paling esensial, yaitu premis yang menegaskan bahwa pada hakekatnya, puisi itu adalah kita semua. Sepanjang kita masih ada, bernapas, dan menjalani kehidupan kita, maka puisi akan tetap ada, tetap eksis.

Karena puisi, bukan saja genre sastra yang paling tua (bahkan dijuluki ibu kesusasteraan), tapi berpuisi adalah salah satu cara kita mengekspresikan dan mengaktualiasikan diri kita. Mengekspresikan luka, duka dan dosa kita sebagai anak cucu Adam, atau dalam versi yang lebih relegius dan humanis, sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

Mengaktualisasikan diri kita sebagai tanda bersyukur atas anugerah cinta dan kehidupan yang tak ternilai ini yang sudah kita terima, dalam bentuk kerja dan jejak kehidupan yang kita tinggalkan. Jejak baik, maupun buruk.

Kita semua hakekatnya adalah penyair. Adalah puisi. Ketika masih dalam rahim kehidupan, Tuhan telah meniupkan roh kehidupan, dan menjadikan kita manusia. Lalu lahir ke dunia ini. Kun Fayakun, kata Allah, dan sebuah takdir menunggu kita.

Akan jadi apa, akan jadi siapa kita. Setidaknya begitulah proses yang sebahagian kita yakini. Lalu dari rahim kehidupan itu, kita disuruh pergi mengembara, menjalani kehidupan ini, suka tidak suka.

Tugas kita adalah seperti dikatakan penyair Sutardji Calzoum Bachri, pergi mengembara dan kemudian berjalan pulang, kembali ke rumah asal kita, tempat roh kehidupan itu berasal dan ditiupkan, menjemput takdir kita. Kembali kepada Maha Pencipta.

Saya, dengan latar belakang kelahiran, budaya dan sejarah kepenyairan saya, mengumpamakan kita seperti burung Kedidi (burung pantai di kepulauan Riau, bertubuh kecil, berkaki panjang) yang berlari dari satu pantai ke pantai lainnya.

Mencari jalan pulang. Mencari dan menemukan jejak pengembaraannya. Dalam pengembaraan kita meninggalkan jejak. Jejak baik, maupun jejak buruk, sejarah kehidupan kita.

Jejak-jejak sejarah kehidupan kita itulah puisi. Kitalah yang menulis puisi-puisi itu, sejarah itu, seberapa kecil dan terkadang nyaris tak terbaca dan tercatat.

Kita semua telah menulis puisi-puisi kita sebagai bahagian dari kehendak mengekpressikan suasana dan perasaan hati kita, puisi-puisi yang merefleksikan luka sejarah, duka asal, dan dosa Adam dan Hawa yang melekat pada kita.

Dan dalam perjalanan pengembaraan itulah kita meluahkan ekspresi batin kita, mengaktualisasikan sikap hidup kita, dan itulah puisi-puisi yang kita tulis tiap saat, tiap waktu, dan kemudian meninggalkan jejak kepenyairan kita.

Memang selalu ada persoalan mendasarkan yang mendera kita para penyair, dan penegak pancang perpuisian. Dalam perjalanan pulang itu, kita terkadang galau, bimbang, dan kerap seperti kehilangan ide, gagasan, inspirasi, dan orientasi hidup dalam menulis puisi-pusi kita. Kita merasakan kehilangan kekuatan untuk menghasilkan puisi-puisi kehidupan kita yang lebih baru, lebih aktual. Lebih bergairah. Lebih hebat.

Lebih baik dari puisi-puisi yang kita tulis sebelumnya, atau yang ditulis oleh orang-orang lain yang juga mengembara bersama kita. Kita selalu terjebak dalam situasi yang stagnan, ketika berusaha ingin mendedahkan luka, duka, dan beban masala lalu dan mimpi masa depan kita, dengan cara-cara yang lebih kuat dan berkesan.Di antara kita terjadi persaingan yang ketat dalam proses kreatifitas,aktualisasi dan implementasi gagasan .

Kita terjebak dalam perangkap rutinitas, perangkap copy paste hidup, yang sekan-akan membuat kita tak bergerak dan tetap seperti yang lalu-lalu juga.Jenuh dan secara perlahan membunuh kreatifitas. Semacam proses bunuh diri kepenyairan kita. Kehilangan gairah, dan akhirnya merasa diri hanya sebutir pasir. Sebutir debu, yang gagal menjemput takdir.

Kondisi ini terjadi, karena kita melupakan sumber utama dari energi puisi-puisi kita, yaitu sejarah. Kita lupa, tak ada puisi yang ditulis tanpa bersumber dari jejak sejarah.

Tanpa bersumber pada jejak dan riwayat kehidupan yang sudah ditulis oleh kita semua. Kita alpa untuk belajar, membaca dan menyerap makna sejarah yang sudah kita tulis. Belajar dan menggali esensi dan jejak kehidupan yang sudah kita pahat, dan kita catat. Kita lupa bahwa sejarah itu adalah sumur inspirasi dan gagasan yang tak pernah kering dan tidak tertandingi.

Adam dan Hawa pergi mengembara, dengan hanya membawa Cinta dan Dosa. Itulah sejarah yang mereka tulis, yang mereka buat. Itulah jejak kehidupan yang mereka warisi. Dan, kita anak cucunya, seperti mereka juga mengembara dengan memikul jejak sejarah itu. Cinta dan Dosa.

Cinta yang ujud dalam rasa kasih sayang, dan senantiasa ingin memberi. Dosa yang ujud dalam gairah dan nafsu yang selalu ingin memiliki dan menguasai. Itulah sumber inspirasi puisi-puisi kita selama ini . Dari sanalah kita semua belajar. Dari jejak-jejak sejarah itulah kita belajar, dan dari sanalah kita membangun jati diri kepenyairan kita.

Sejarah bukan hanya secara philosofis menjadi sumber energi puisi kita, juga secara faktual. Peristiwa-peristiwa besar hasil dari perilaku kehidupan kita, telah menjadi sejarah, telah menjadi inspirasi dan melahirkan karya-karya puisi yang besar pula.

Banyak puisi-puisi besar Chairil Anwar misalnya, lahir dari renungan dan jejak sejarah, terutama masa-masa revolusi. Di kepulauan Riau, Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji, adalah penyair yang menulis syair-syair indah tentang perjalanan bersejarah kakaknya Engku Puteri Raja Hamidah, pemegang Regelia Keraajan Riau-Lingga .

Bahkan seorang penyair wanita Melayu, Raja Sapiah, anak (isteri?) Raja Ali Haji, menulis syairnya Kumbang Mengindra yang panjangnya 6 meter (naskahnya harus digulung seperti gulungan kertas, untuk menyimpannya) yang salinannya masih tersimpan di Penyengat (manuskrip yang asli kini tersimpan di Leiden, Belanda) yang berisi tentang jejak dan riwayat kehidupan yang dia lalui. Jejak sejarah hidupnya.

Penyair-penyair besar, adalah penyair-penyair yang belajar memahami sejarah. Hakekat keberadaannya. Menggali sumur-sumur sejarah, menimba dan minum air sejarah, dan kemudian membuat sejarah-sejarah baru. Yang lebih besar. Yang lebih bermakna. Yang lebih membanggakan bagi para pewarisnya dan masa depan kehidupan.

Cinta, memanglah sumber energi bathin yang kaya,kuat,dan penuh gairah. Tetapi cinta, adalah perjalanan bathin yang tidak memberikan kita apa-apa yang luar biasa, kalau di dalamnya tidak ada sejarah kehidupan yang bernilai, yang dapat memberi kita energi yang baru dan terbarukan, yang bisa kita tinggalkan sebagai warisan kehidupan yang berguna.

Puisi-puisi yang lahir dari cinta yang kering, cinta yang streotif, cinta yang tidak memberi kita rasa arif, akan menjadi jejak sejarah yang sia-sia . Demikian juga dengan dosa, yang bersumber dari rasa gairah dan nafsu. Keburukan yang juga jadi tempat kita belajar, puisi yang mengajarkan kita tentang kegagalan dan kesia-siaan hidup.

Sejarah adalah masa lalu yang kita tulis dalam puisi-puisi dengan persepsi tentang masa depan. Tentang harapan dan mimpi-mimpi . Orang yang tidak belajar tentang masa lalu, takkan meraih masa depan yang lebih cemerlang. Sejarah, adalah tempat kita belajar tentang kehidupan ini.

Tempat kita melihat dan merenungkan apa yang sudah kita lakukan, apa yang kita sumbangkan pada kehidupan kita ini sesuai dengan kadar dan kahar kepenyairan kita. Sejarah adalah sumber inspirasi yang tidak pernah kering dari jejak keberhasilan dan kegagalan hidup kita .

Dalam jejak sejarah itulah kita menemukan makna kehidupan kita. Makna dari luka sejarah yang kita rasakan menggelisahkan kita, duka sejarah yang kita rasakan pedih dan dosa sejarah yang kita rasakan perihnya, dan perinya, yang kemudian kita kuburkan perlahan-lahan dalam jejak masa lalu kita.

Karena itulah, puisi takkan pernah tercerabut dari akarnya, karena sejarah akan terus terjadi, terus dituliskan oleh para penyair sebagai puisi-puisi mereka, puisi besar, atau puisi-puisi seadanya. Puisi itu adalah nafas kehidupan kita.

Seperti pernah saya sampaikan pada pidato kebudayaan pada puncak peringatakan HPI 2016 di Jakarta, Para Penyair Indonesia berutung karena kepenyairannya dibangun di atas landasan sejarah kreatifitas yang kuat, yaitu sejarah kebahasaan, sebagai medium ekpressi dan aktualisasi diri.

Penyair Indonesia beruntung karena memiliki bahasa putika yang kuat dan indah, yaitu bahasa Indonesia. Tidak banyak bangsa di dunia yang memiliki bahasa sendiri, yang menjadi jati diri dan sarana konvensi kehidupan, terutama di dunia kepenyairan.

Inilah yang harus dijadikan sebagai sumur sejarah, rumah bersama , medan kreatifitas, yang dipelihara dan dipertahankan secara bersama-sama.Di sinilah mereka lahir dan dibesarkan.

Disinilah mereka tumbuh dan berkembang. Dari sinilah kemudian mereka mengembara untuk memberi makna kehidupannya, sebelum pada akhirnya pulang kembali ke rumah keabadiannya .

Ada kesadaran penuh, bahwa Bahasa adalah jati diri penyair. Penyair yang kehilangan bahasanya,akan kehilangan jati dirinya. Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya, dan mempertahankan sejarah kebahasaannya, menulis puisi-puisi besar yang akan memperkaya bahasanya sebagai bahasa yang besar juga. Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya. Jejak kepenyairannya

Jejak itu, sekecil apapun ujudnya,akan menjadi bahagian dari tradisi kepenyairan kita, dan hanya tradisilah yang membuat ingatan tentang jati diri seorang penyair, akan selalu ada. Tradisi mewariskan puisi-puisi dan kepenyairan yang bersejarah. Maka para penyair, belajarlah dari sejarah, dan buatlah sejarah. Sejarah yang besar.

Semoga!

Essai ini berasal dari Pokok-pokok pikiran saya yang disampaikan pada Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) IX, tanggal 15 s/d 18 Desember 2016, di Tanjungpinang lalu.