Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Fahri Berharap Kasus Terorisme Tidak Lagi Dikaitkan Agama
Oleh : Irawan
Jum\'at | 02-04-2021 | 08:04 WIB
fahri_diskusi_teror.jpg Honda-Batam
Dialektika Demokrasi dengan tema 'Lawan Geliat Radikal-Terorisme di Tanah Air' di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/4/2021).

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap Anggota DPR berani mengungkap rangkaian tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia, termasuk dalam kasus penyerangan Mabes Polri oleh orang tak dikenal (OTK) pada Rabu (31/4/2021) dan kasus terorisme di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) beberapa waktu lalu.

Sebab, Anggota DPR memiliki hak imunitas dan bertanya, sehingga bisa mengungkapkan benang merah kasus terorisme tersebut.

Karena selama ini terorisme selalu dikaitkan dengan Islam, padahal Islam juga dirugikan dari kegiatan terorisme.

"Kalau kita ini (publik) kan ada kemungkinan, mengajukan satu sikap kritis, tapi bisa-bisa kita dianggap menjadi bagian, misalnya istilah mempengaruhi. Tapi Kalau Anggota Dewan memberikan pertanyaan sedalam dan seluas-luasnya tanpa takut bisa dituduh bagian dari terorisme itu, karena memiliki hak imunitas dan bertanya," kata Fahri dalam Dialektika Demokrasi dengan tema 'Lawan Geliat Radikal-Terorisme di Tanah Air' di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/4/2021).

Fahri sependapat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta agar tindakan terorisme yang terjadi di Gereja Katedral di Makassar maupun penyerangan Mabes Polri tidak dikaitkan dengan agama.

Namun, faktanya, menurut mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini, yang terjadi di lapangan, teroriisme masih dikait-kaitkan dengan Islam.

Ia mengajak pemerintah untuk membangun pola pikir antara agama dan negara yang semestinya tidak dicampur-adukan.

"Karena kalau dua hal ini dicampur, maka persoalan ini tidak akan pernah selesai. Negara tidak mungkin dapat memperbaiki agama. Sebaliknya, agama dapat merefom negara atau membentuk negara," papar dia.

"Bila negara mengurusi ranah agama, maka negara akan kelelahan, kehabisan energi, itu sebabnya saya selalu meminta agar kita melihat hal ini dari dua perspektif, dimana ruang agama dan dimana ruang negara," tambahnya.

Oleh karena itu, kata Fahri, bila melihat aksi terorisme ini merupakan masalah agama, maka kembalikan ke agama, negara tidak bisa masuk dalam ranah ini.

"Tugas negara, berada di ruang negara. Kalau ada seorang perempuan masuk ke Mabes Polri bawa senjata, pengamanan bobol, itu bukan soal agama. Itu soal pengamanan yang lemah, tegasnya.

Perlu kegaddiran TNI
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha mengatakan, tindakan terorisme yang terjadi akhir-akhir ini dianggap sebagai tindak kejahatan yang luar biasa. Sehingga penangannya pun tidak hanya bisa dilakukan oleh pihak Kepolisian, tapi perly kehadiran TNI.

Dikatakannya, terorisme ini kejahatan yang luar biasa dan keterlibatan unsur TNI menjadi suatu yang mendesak dan penting dalam penangannya.

"Padahal, terorisme merupakan kejahatan yang dinilai sebagai extraordinary atau kejahatan yang luar biasa, sehingga penanganannya tidak bisa dilakukan oleh aparat kepolisian saja," kata Tamliha.

Ia mengatakan, keterlibatan TNI dalam BNPT sebetulnya sudah dicantumkan dalam regulasinya. Hanya saja peraturan pelaksananya belum turun juga hingga saat ini. Sehingga TNI pun belum banyak terlibat dalam pemberantasan terorisme.

"Mandeknya di mana? Saya juga tidak mengerti. Tapi yang namanya TNI kalau tidak ada perintah dari panglima tertinggi untuk operasi militer atau perang, dia tidak bergerak. Paling bantu-bantu saja secara sukarela," terang Tamliha.

Menurut Tamliha, perlu aturan yang jelas mengenai perlibatan TNI di luar operasi militer, dan itu dibenarkan. Hanya saja anggarannya tetap harus dari APBN, bukan dari APBD, karena masing-masing daerah mempunyai beban anggaran yang tidak sama.

Pelibatan TNI juga diatur dalam UU 34/2004, maka ada Operasi Tinombala antara Polri dan TNI.

"Jadi, DPR sudah setujui itu sejak dua setengah tahun yang lalu, hanya Perpresnya belum keluar," jelas Tamliha.

Diskusi 'Lawan Geliat Radikal-Terorisme di Tanah Air' ini juga menghadirkan narasumber lain, yaituAnggota Komisi III DPR Fraksi PKB, serta Pengamat Intelijen dan Terorisme dari Universitas Indonesia (UI)

Editor: Surya