Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Lupakan 'Utang' KPK
Oleh : Aan
Rabu | 09-02-2011 | 16:00 WIB

Pengawasan bagi rangkaian proses penegakan hukum pun tak lagi obyektif dan fair. Politisasi mencerminkan pengawasan penegakan hukum pun sarat kepentingan. Ricuh untuk masalah sepele, tapi bungkam saat diumpan kasus besar yang jauh lebih strategis bagi kepentingan bangsa.

Tidak mudah memulihkan dan menjaga independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, untuk saat ini, KPK-lah institusi penegakan hukum yang masih bisa diandalkan setelah Polri dan Kejaksaan Agung diberi kesempatan melakukan reformasi dan konsolidasi internal masing-masing.

DPR menyadari bahwa KPK tidak sekuat lagi pasca vonis terhadap mantan Ketua KPK Anthasari Azhar. Independensinya pun nyaris tak ada lagi pasca deponeering kasus Bibit-Chandra. KPK ibarat macan setengah ompong, yang hanya berani mengaum  tapi tak mampu mencabik-cabik komunitas koruptor di negeri ini. Begitu lemahnya sehingga menuntaskan skandal Bank Century pun KPK tak mampu. Bahkan, menyentuh korupsi skala masif oleh mafia pajak di kementerian keuangan, sebagaimana diungkap Gayus Tambunan pun, KPK tak berani. Publik mendesak penegak hukum membongkar mafia pajak, tapi tak mendapat respons apa pun dari KPK.

Lalu, untuk apa Indonesia memiliki KPK? Atau, haruskah kita terus berdiam diri melihat KPK dilemahkan dan direduksi independensinya untuk menjadi alat pencitraan penguasa? Tentu saja tidak. Semua pihak harus tetap dan selalu kritis terhadap KPK. Publik yang kritis, obyektif dan fair merupakan mesin penggerak cadangan bagi KPK tak pernah gentar dalam menghadapi muauh-musuh negara bernama koruptor.

Sebaliknya, pembelaan membabibuta bagi KPK akan menjadi bumerang bagi perang melawan korupsi itu sendiri. Memposisikan dan mencitrakan KPK sebagai institusi yang innocent adalah keluguan yang sama sekali tidak diperlukan. KPK bukanlah sebuah kesempurnaan. Karena itu, wajib hukumnya bagi semua elemen masyarakat untuk selalu mengritisi KPK. Terutama bagi mereka yang mengklaim lembaganya sebagai pengawas dan pemantau penegakan hukum serta pemberantasan korupsi.

Karena bukan sebuah kesempurnaan, KPK tentu memiliki masalahnya sendiri, terutama pada aspek kinerja. Tahun-tahun terdahulu, kinerja KPK dikritik karena tak sebanding dengan anggaran yang dihabiskannya. Kini , KPK dikritik karena takut pada kasus besar, tetapi sangat berani pada kasus korupsi skala kecil. Di hadapan KPK saat ini, tersaji beragam kasus korupsi skala masif, tetapi KPK seperti tidak terpanggil merespons semua kasus itu. Kalau pun ada respons, hanya sebatas jawaban seadanya kepada pers atau talk show di layar kaca. Kritik berkesinambungan sangat penting untuk mengingatkan KPK bahwa dia punya utang kepada rakyat. Utang berwujud pengungkapan kasus korupsi skala masif seperti skandal Bank Century, BLBI dan mafia pajak, serta mengembalikan semua kekayaan negara yang dicuri para koruptor.

Ketidaklaziman penanganan kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) patut diduga menjadi bukti KPK memang bersedia menjadi alat penguasa melakukan tebang pilih penegakkan hukum. Oleh komunitas pengawas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, keberatan Komisi III DPR atas Bibit-Chandra serta merta diterjemahkan sebagai balas dendam DPR kepada KPK atas penahanan 19 anggota DPR periode 1999-2004.

Cara pandang seperti itu tidak seluruhnya benar. Itulah contoh pembelaan membabibuta dari mereka yang tidak obyektif. Di mata mereka, KPK saat ini adalah sebuah kesempurnaan. Publik dicekoki beragam argumentasi tentang KPK yang super suci dan publik 'dipaksa' memercayai keyakinan mereka. 

Pertanyaannya sederhana saja; kalau perkara dua wakil KPK dikesampingkan oleh penegak hukum yang dikontrol penguasa, apakah keduanya masih kredibel untuk menjadi bagian dari kepemimpinan Kolektif KPK? Kalau keduanya masih menjabat Wakil ketua KPK, apa jaminannya bahwa independensi KPK tidak terkooptasi oleh tangan-tangan kotor penguasa yang meminta balas jasa karena telah mengesampingkan perkara kedua orang itu? Dari sudut pandang etika dan moral, kepemimpinan mereka tak layak lagi dipercaya.

Seperti diketahui, dalam lampiran surat Ketua DPR kepada Jaksa Agung RI No.PW.01/9443/DPRRI/XII/2010 secara jelas disampaikan 7 fraksi (Golkar, PDIP, PPP, Hanura, Gerindra, PKS dan PAN) bahwa deponeering atau pengenyampingan perkara tidak menghapus status tersangka Bibit dan Chandra. Bahkan Fraksi Partai Demokrat menyatakan: Dengan deponeering, maka penghakiman rakyat bahwa perkara bibit dan Chandra adalah hasil rekayasa seolah-olah telah berkekuatan hukum tetap. Lebih lanjut Fraksi Partai Demokrat di komisi III menyatakan bukankah dengan deponeering ini maka negara dan kita semua telah menyandera kedua orang itu menjadi tersangka seumur hidup?

Politisasi sikap Komisi III DPR oleh sejumlah kalangan itu sebagai upaya menutup-nutupi kelemahan KPK. Juga mengalihkan titik sentral perhatian publik, yakni utang KPK menuntaskan skandal Bank Century, mafia pajak dan kasus-kasus megakorupsi lainnya seperti BLBI.

Pemerintah dan KPK sendiri patut diduga menunggangi kasus penahanan 19 mantan anggota DPR itu untuk mengalihkan isu tentang keengganan KPK dan institusi penegak hukum lain membongkar mafia pajak dan kasus Century. Gebrakan KPK menahan 19 mantan anggota DPR dilakukan ketika kemarahan rakyat mencapai puncaknya akibat karut marut penanganan kasus Gayus Tambunan dan jaringan mafia pajak.

Virus Diskriminasi

Kepada semua penegak hukum serta komunitas pengawas penegakan hukum dan pemberantasan Korupsi, telah diberikan banyak data permulaan tentang sejumlah kasus yang diduga bermuatan tindak pidana korupsi, di luar skandal Bank Century. Namun, responsnya amat minim, bahkan nyaris tidak dipedulikan. Padahal, skala kasusnya tidak kecil dan diduga melibatkan beberapa nama besar.

Karena melibatkan nama-nama besar yang dekat dengan kekuasaan, penegak hukum mungkin harus melihat-lihat dulu sebelum menyentuh kasus demi kasus, karena mereka memang dikendalikan penguasa. Anehnya, komunitas yang mengawasi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pun tidak peduli. Padahal, kepedulian bersama amat diperlukan sebagai daya dorong tambahan kepada Polri, KPK dan Kejaksaan.

Rupanya, perilaku tebang pilih sudah menular kemana-mana, termasuk untuk urusan mengomentari kasus sekalipun. Karena tebang pilih, komentar atau pendapat mereka seringkali tidak obyektif lagi dan tendensius seperti pekerja yang menerima pesanan. Selain itu, tersirat adanya agenda tersembunyi merubuhkan kepercayaan rakyat kepada Polri dan Kejaksaan. Mereka ulet mendorong pengungkapan kasus rekening gendut sejumlah perwira Polri, tapi melempem ketika disodori data kasus lain. Mereka terlihat seperti orang-orang yang bersembunyi ketika publik menuntut pemberantasan mafia pajak.

Sudah dimunculkan perkiraan ke ruang publik bahwa mafia pajak merugikan negara sekitar Rp 300 trilyun per tahunnya. Perkiraan itu untuk memperkuat pengakuan Gayus bahwa mafia pajak itu memang eksis di tubuh birokrasi negara. Bahwa jaringan mafia itu terbentuk dari eselon atas hingga eselon bawah, dimunculkan kasus pencurian uang pajak dengan modus restitusi.

Pada era kepemimpinannya di Ditjen Pajak, Darmin Nasution (kini Gubernur BI) diduga pernah mengabulkan restitusi pajak trilyunan rupiah yang diminta  PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA) milik Wilmar Group. Mayoritas atau 96 persen saham WNI-MNA dikuasai Tradesound Investment Ltd yang beralamat di PO BOX 71, Craigmuir Chamber Road Town, Tortola, British Virgin Island.

KPP Besar Dua mengendus dugaan pidana dalam pengajuan restitusi WNI-MNA. Ada indikasi direksi WNI - MNA  merekayasa laporan transaksi jual-beli demi mendapat restitusi. Pada Oktober dan November 2009, Kepala KPP Besar Dua Mohammad Isnaeni mengajukan Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan (penyelidikan) atas dugaan tindak pidana oleh WNI dan MNA.Tetapi usul ini tidak digubris Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak Pontas Pane maupun Dirjen Pajak M. Tjiptardjo.

Dua kasus yang melibatkan mantan menteri keuangan Sri Mulyani juga tidak mendapatkan respons. Baru-baru ini, dimunculkan dugaan bahwa Sri Mulyani menyalahgunakan wewenang dan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri.

Menurut mantan penasehat PM Thailand Thaksin, Justiani atau Liem Siok Lan. Sri Mulyani  ternyata merangkap sebagai sales promotion girl-nya IMF, karena mendapat fee 1 persen dari setiap pinjaman. Modus itu jelas koruptif, karena tidak ada ketentuan perundang-undangan yang membolehkan pejabat negara mendapatkan fee dari setiap negosiasi pinjaman.

Sebelumnya,  KPK didesak menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pelanggaran prosedur anggaran renovasi rumah dinas mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Anggaran renovasi rumah  itu menelan biaya Rp1,32 milyar, namun tidak mengikuti persyaratan tender yang semestinya. Anggarannya pun  diambil dari pos Dana Taktis Operasional Kementerian Keuangan. Padahal,  penggunaan dana dari pos itu tidak dapat dibenarkan karena melanggar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 31/PMK.06/2006. PMK ini menetapkan bahwa Dana Taktis Operasional Kementerian Keuangan hanya boleh digunakan untuk kepentingan yang berkait langsung dengan pengelolaan anggaran negara atau kebijakan fiskal lainnya yang bersifat mendesak.

Baru-baru ini, terungkap bahwa Mafia pajak di Kementerian Keuangan diduga mengaburkan data-data pajak perusahaan pelaku penggelapan pajak yang dituturkan Gayus Tambunan. Hingga saat ini Polri masih kesulitan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan akibat minimnya informasi karean kementerian keuangan berlindung pada ketentuan UU kerahasian wajib pajak.

Ketika publik ramai-ramai mengecam ketidakwajaran penetapan harga IPO  saham Krakatau Steel (KS), penggiat antikorupsi pun tidak peduli. Padahal, penetapan harga itu terindikasi sarat rekayasa dan konspiratif. Tujuannya, mengorupsi dana KS.

Seperti dalam skandal Bank Century, DPR pun butuh dukungan publik yang solid untuk mengungkap semua kasus besar tadi. Berbahaya jika kita semua tak bisa mencegah penularan virus tebang pilih kasus.


Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar