Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Tele Haru Kemungkaran
Oleh : DR Muchid Albintani
Kamis | 31-12-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID13.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

KESADARAN pertaubatan tidak semestinya datang di akhir tahun. Begitu pun penyesalan, seharusnya tidak datang kemudian. Pepatah klasik mengatakan, "Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna".

Akhir tahun menyambut awal kehidupan yang berulang dalam remik-ritme, senda-gurau, senang-susah, galau-bahagia hanyalah episode penantian menunggu akhir pada sebuah zaman. Itulah di akhir tahun, bukan tahun yang akan berakhir.

Bertumpu-pijak pada kesadaran tersebut mahfum diakui jika kaleidoskop adalah representasinya. Sesuai rujukan kamus besar bahasa Indonesia (KKBI), kaleidoskop dimaknai dua hal.

Pertama, alat optik yang bentuk luarnya seperti keker (teropong), dilengkapi dengan dua kaca persegi panjang yang dipasang pada lapisan dalam pada salah satu ujungnya.
Sehingga dapat memperlihatkan pelbagai gambaran yang indah dan simetris dari kepingan barang berwarna yang diletakkan di antaranya apabila dilihat dari ujung yang lain. Kedua, aneka peristiwa yang telah terjadi disajikan secara singkat.

Sebuah kaleidoskop adalah ulas-kaji gambaran indah (elak nan nyaman) dan simetris (kesejalanan, tanpa benturan) pelbagai peristiwa kejadian dalam kesatuan waktu tertentu. Satu tahun adalah waktu yang bersatu itu.

Yang dalam realitas ulas-kaji sesungguhnya tidak harus indah nan elok serta sejalan (simetris). Ulas-kaji meneropoang-deteksi, perlahan-pasti terkait semua dinamika haru-kelabu, duka-sedih, zalim-menzalimi terkadang penyebab alergi hati.

Berpancang-sagang kaleidoskop masa lalu itu, walaupun tak sama berbeda ada, Tele Haru Kemungkaran merefleksi sandaran identfikasi ke-nubuwah-an (eskatologi) masa depan setelah perdetik-menit-jam, hari yang lalu. Berulang-kali sepanjang tahun melodrama kehidupan terekam pada kemera zaman.

Dalam hubungan ini, percaya atau tidak adalah sebuah kalkulasi transenden jika azab berdampak kolektif walaupun orang per orang (personal) yang berlakon mungkar (tindakan zalim) kepada orang per orang atau sekelompk orang.

Implikasi lakon mungkar, tidak salah jika ada yang berpendapat hanya berpedoman pada hukum positif. Tidak melanggar hukum dimaknai tidak berbuat kemungkaran dalam kezaliman. Itulah realitasnya minimal dalam perspektif penguasa.

BACA JUGA: Kapital-Komunisme?

Refleksi Tele Haru Kemungkaran akhir tahun memberikan cara pandang antisipatif terhadap datangnya azab (sebuah bala balasan) akibat berlangsungnya terus menerus kemungkaran.

Dalam persepktif Tele Haru Kemunkaran, minimal terdapat tiga sandaran hukum yang berdimensi masa (waktu) kejadian. Sandaran ini terimplementasi dari lakon sedetik masa lalu, belum semenit masa depan: antara detik-menit.

Pertama, Hukum Aksi Plus Reaksi. Boleh jadi banyak yang belum jika enggan mengatakan tidak tahu apabila kemungkaran (akan) mengahsilkan perlawanan. Kemungkaran yang terelaborasi menjadi bagian penting dari lakon zalim mendatangkan perlawanan secara langsung (hukum responsif).

Apabila diformulasi menjadi pengetahuan lakon yang dapat disebut dengan kemungkaran memproduksi perlawanan. Esensi hukum ini dalam hubungan dengan Tele Haru Kemeungkaran memberiakan iktibar kepada penyelenggara negara untuk tidak melakukan tindakan kezaliman. Hukum ini mentesisikan, "jika kezaliman diteruskan hanya akan menghasilkan perlawawan."

Kedua, Hukum Aksi Minus Reaksi. Samahalnya dengan Aksi Plus Rekasi, hukum ini merupakan tindak lajut yang dikenal dengan perlawanan diam. Pepatah lama selalu mengatakan, "Air yang tenang menghanyutkan".

Diam jangan dianggap tidak melawan (merespon balik). Dalam hubungan Aksir Minus Rekasi lakon kezaliman (mungkar), akan menghasilkan perlawawan melalui doa-doa panjang selama tujuh belas rakaat sehari semalam.

Esensi ini memperingatkan jangan sampai kezalim-mungkaran 'memaksa' orang-orang tertindas (Mustadh'afin) si empunya hak langsung untuk "melawan". Kaum ini mendapatkan legas standing langsung (dalam makam doa) untuk menghancurkan para penzalim.

Ketiga, Hukum Kolektif ke-Azab-an. Kalau aksi plus reaksi memberikan perlawanan langsung. Aksi Minus Reaksi perlawanan diam dalam doa. Sementara Hukum Kolektif ke-Azab-an adalah pemberi peringatan (warning). Akumulasi manakala terus dizalimi dalam perlawanan dan doa yang dinilai belum berhasil. Tunggulah azabnya.

Referensi Qurani menceritakan yang dapat dinilai sebagai nubuwah, kezaliman akan tumbang. Kisah Namrud dan Firaun seorang penguasa zalim adalah referensi yang berdimensi ke-nubuwah-an. Enggan beriktibar? Silakan.

Ulas-catat terakhir, terserah untuk dimaknai sebagai apa: nasihat, peringatan atau apapun namanya esai ini. Silakan. Penulis di penghujung tahun ini menyusun jari, mengulur tangan bersandar kalam akhir: mohon maaf atas semua khilaf dalam niat, pikir dan tulis.

Tuai padi antara masak
esok jangan layu-layuan
laman negeri tak lagi berpasak
penghulu marwah hilang panutan

Rupanya palsu penghias kata
kata diungkai penulis sejarah
topeng wajah susah dibeda
ketika rasuah menjadi darah

Takut tertinggal berlarilah kencang
mengunyah pisang badan perkasa
tindakan rasuah menjadi sagang
tunggu waktu negeri binasa

Menepuk angin terpercik wajah
pudarnya cincin tanpa permata
tiadalah negeri menjadi gagah
tanpa rasuah berjaya kita.

Budi luhur hati berseri
kapal belayar tanpa sekoci
laku lakon penghuni negeri
belakang bersih wajah suci.

Wallahualam. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.