Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Polemik Ahmadiyah: Pembiaran yang Salah Kaprah
Oleh : Tunggul Naibaho
Selasa | 08-02-2011 | 12:12 WIB
latif.jpg Honda-Batam

Pengamat politik Yudi Latief dan Direktur Maarif Institute, Fajar Riza ul Haq. (Foto: Ist).

Batam, batamtoday - Polemik panjang antara Islam dan Ahmadiyah, yang berujung pada kekerasan pisik, terakhir terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, semata-mata terjadi karena salah kaprah negara dalam menjalankan politik pembiaran.

Terhadap kekerasan, negara melakukan pembiaran, yang seharusnya melakukan pencegahan. Namun sebaliknya, atas polemik dan perbedaan pandangan antara Islam dan Ahmadiyah, negara ikut turut campur. lewat penerbitan SKB 3 Menteri.

Padahal seharusnya, atas polemik dan perbedaan keyakonan, negara tidak perlu ikut campur dan masuk ke wilayah keyakinan warganya, dan baru ikut campur dan bersikap tegas jika akan timbil kekerasan yang akan dilakukanl sebuah kelompok atas kelompok lain, karena negara bertujuan menjaga keselamatan harta benda dan nyawa para warganya.

Pengamat politik, Yudi Latief menyesalkan pembiaran yang dilakukan negara yang diperlihatkan aparat Polri di lokasi kejadian, sehingga mengakibatkan 3 jiwa melayang seketika di lokasi kejadian (dan korban bertambah lagi, 1 orang meninggal di RS Pertamina Pusat), dan puluhan jamaah Ahmadiyah lainya mengalami luka-luka.

"Negara telah melakukan pembiaran. Negara telah tidak melindungi warganya sendiri," tandas Yudi.

Menurut Yudi, negara tidak perlu terlalu tunduk pada kekuatan apa pun, karena tugas negara bukan bernegosiasi soal keyakinan, apakah keyakinan  itu sah atau tidak.

"Kewajiban negara adalah melindungi warganya, dan itu tidak bisa ditawar-tawar," tegasnya ketika dihubungi batamtoday di Jakarta, Selasa 8 Februarai 2011.

Yudi menyesalkan, pemerintah baru memberi reaksi ketika korban sudah jatuh. Dan terkesan pemerintah melakukan pembiaran atas kekerasan yang dilakukan sebuah kelompok terhadap kelompok lain, tegasnya.

Sebaliknya, Direktur Maarif Institute, Fajar Riza ul Haq, meminta negara tidak perlu masuk dan ikut campur dalam soal keyakinan beragam yang dianut warganya.

Fajar menyesalkan, pemerintah yang selalu gagal belajar dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjado pada masa lalu, terutama antara Umat Islam dengan jamaah Ahmadiyah. Fajar menyebut kekerasan Ciampea, Bogor, dan juga Tasikmalaya.

Menurut Fajar, kasus-kasus semacam ini tetap akan muncul jika pemerintah mengabaikan akar persoalannya dan solusi komprehensif yang adil.
 
Akar persoalnya sebenarnya, menurut Fajar, adalah ketidaknetralan aparat negara dalam menyikapi perbedaan pandangan di kalangan umat Islam terkait posisi Ahmadiyah.

Solusinya, menurutnya, negara jangan campur tangan dalam polemik keagamaan. Ia mengimbau, pemerintah untuk melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional warga Ahmadiyah serta mengadili semua pihak yang terlibat dalam tindakan kekerasan karena itu merupakan tindakan kriminal.
 
"Solusinya, negara jangan campur tangan dalam polemik keagamaan," tandasnya.