Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Rahmatullah dan 'Makarullah'
Oleh : Oleh DR Muchid Albintani
Senin | 14-12-2020 | 13:52 WIB
A-HANG-MUCHID11.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

PERNYATAAN "negara tidak boleh kalah dengan preman", belakangan ini walaupun tidak trending, namun aktual dus bernuansa sensi. Menarik adalah yang melingkupi pernyataan tersebut diawali dengan kata negara.

Berklindan dengan pernyataan itu, kata "kepentingan negara" selalu berada disebaliknya. Kata ini pula justru yang trending di media sosial termasuk menjadi liputan utama salah satu "majalah nasional terkenal", manakala peristiwa KM 50 adalah objek laporan pemberitaannya.

Esai akhir zaman mengulas-kilas dua konsep Rahmatullah dan 'Makarullah' sebagai upaya menyandingkan pernyataan antara, 'negara tidak boleh kalah' dengan 'kepentingan negara'.

Sebagai pembanding yang juga menjadi tagline (di-tagline-kan) adalah pernyataan, 'negara tidak boleh kalah dengan prilaku oknum aparat negara yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power)'.

Indonesia sebagai negara penganut demokrasi "super liberal", cara pandang penyeimbang antara warga negara dengan penyelenggara (pemerintahan) negara, amat sangat diperlukan.

Ini disebabkan bersandar pada konvensi internasional Montevideo 1933, ihwal syarat negara dalam konsepsi konstitusional memiliki unsur: warga negara (penduduk), wilayah (lokasi tinggal warga negara), pemerintahan (penyelenggara negara), relasi internasional, dan pengakuan negara lain.

Hemat Saya, konvensi ini memberikan jastifikasi sekaligus legitimasi konstitusional jika pemerintah dalam hubungan negara, tidak dapat berdiri sendiri. Secara sadar, tentu kedua pernyataan sebelumya berlaku simetris, imparsial, objektif, arif nan bijak. Sebab, mustahil negara ada tanpa ada warga negara. Sumber referensi akademis tak terhingga banyaknya yang menjelaskan. Silakan untuk ditelusur.

Menengok sejarah perjuangan bangsa ini antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dengan warga negaranya, bukan ideal, namun wajib dan bijak jika cara bernegaranya merujuk kembali pembukaan UUD 1945 sebagai dasar konstitusional.

Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ketiga dan keempat menjastifikasi minimal dua pesan penting. Pertama, bahwa kemerdekaan adalah atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.

Kedua, bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Berpedoman pada kedua pesan tersebut, istilah Rahmatullah memberikan inspirasi konstitusional yang begitu relevan untuk saling menyadari bahwa pemerintah ada karena ada rakyat. Begitu pun sebaliknya. Antara rakyat dan pemerintah menjadi unsur utama syarat kehadiran sebuah negara. Tugas pemerintah jelas melindungi seluruh tumpa darah.

BACA JUGA: Identitas Ideo-Biologis

Oleh karena itu maka pengalaman objektif dalam kredo Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), belajar dari cara bernegara orde lama, dan orde baru yang otoritarian adalah pengalaman penting untuk dipelajari. Pengalaman ini adalah standarisasi kehidupan bernegara.

Pesan esensinya tentu yang tidak baik jangan diikuti (diulangi) lagi. Yang baik untuk dilanjutkan. Sementara yang kurang, perlu dibenahi. Kesemunya berklid-klindan antar warga dan penyelenggara negara sebagai anak bangsa.

Oleh karenanya menjadi esensi manakala kata Rahmatullah wujud iktibar rasa syukur yang bertitik tolak pada dua pesan esensi pembukaan UUD 1945 sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Sedangkan istilah "Makarullah" dapat dimaknai secara filosofis yang dalam sumber Qurani sebagai "peringatan dini sebuah tindakan-upaya". Peringatan dimaksud lebih tertumpu pada tindakan zalim yang Allah Maha Tahu terhadap tindakan tersebut.

Dalam bahasa orang-orang alim, bijak nan cerdik, istilah makar, tidak salah dimaknai sebagai antisipasi (strategi) menghindar dari upaya makar. Sementara, tidak jarang pula dalam kancah global, makar disamakan dengan konspirasi. Lain pula dalam istilah politik, makar yang diartikan "upaya mengambil-alih kekuasaan dengan kekerasan bersenjata".

Menurut hemat Saya yang menarik untuk ditelaah-cermati justru manakala makar populer dihubung-kaitkan dengan tindakan kezaliman. Tindakan zalim (kejahatan) inilah yang banyak bahkan menjadi vilar dalam perbincangan akhir-akhir ini. Sebagai negara demokrasi, tentu saja istilah makar dalam tindakan zalim, dapat dilakukan oleh siapa saja. Oleh oknum aparat negara atau pun warga negara.

Misalnya saja yang paling anyar adalah tindakan korupsi pada instansi pemerintahan negara yang sudah banyak diberitakan media. Ini adalah peristiwa makar terhadap keuangan negara. Bahkan kejahatan ini menjadi topik utama diskusi rutin mingguan di media televisi terkenal ikhwal sang koruptor, perlu atau tidak mendapat 'hukuman mati'.

Pendekatan Rahmatullah dan "Makarullah" memberikan cara pandang baru khusus bagi siapa saja (warga atau oknum penyelenggara negara) untuk reintropeksi (bertaubah). Makar yang dimaknai sebagai tindakan zalim dapat direncanakan oleh siapa saja.

Oleh karenanya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi siapa saja yang ingin merencanakan berbuat zalim (makar), khusus bagi seorang muslim beriman, referensi Qurani menuntun pesan tegas:

"Mereka membuat makar, dan Allah pun membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baiknya pembalas makar". (QS, 3:54).

Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.