Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kongres Pancasila

Pluralisme Masih Menjadi Masalah Kebangsaan
Oleh : Surya Irawan/Dodo
Rabu | 30-05-2012 | 16:57 WIB

JAKARTA, batamtoday - Permasalahan kebangsaan yang terjadi sekarang terutama masalah pluralisme dan jaminan bagi kelompok minoritas, sesungguhnya secara normatif Pancasila bisa menjadi jalan keluarnya karena mengandung nilai-nilai luhur dan cita-cita bangsa.

Padahal, Indonesia ini mempunyai kesamaan kesatuan dengan Amerika Serikat yang disebut “The American Dream” maka Pancasila adalah “The Indonesia Dream” atau cita-cita bangsa Indonesia yang bisa menyatukan masyarakat Indonesia yang plural.

“Jadi, pada dasarnya Pancasila sebagai dasar kebangsaan dan jawaban dari masalah kebangsaan bisa dianggap telah selesai pada tahapan normatif. Sementara kajian normatif yang tajam dan mendalam telah dilakukan dengan menggalakkan Badan Penyelenggaraan Pelaksanaan Pendidikan P4 (BP7) dan pusat-pusat pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Apakah itu perlu dihidupkan kembali?” tandas Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dalam kongres Pancasila di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Rabu (30/5/2012) bersama Wakil Ketua MPR RI HM. Lukman Hakim Saifuddin, Sadli Isra, Musa Asyari dan lain-lain.

Karena itu lanjut Akil, yang dibutuhkan saat ini adalah perencanaan dan pelaksanaan dalam tahapan impelementasi dari norma Pancasila tersebut dengan memebenhi sistem politik dan pemerintahan yang mencerminkan nilai Pancasila.

“Bisa jadi yang dibutuhkan menghidupkan BP7 dengan mengurangi kewenangan yang dimiliki yaitu ‘tafsir tunggal’ atas Pancasila. Sebab, Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bisa didominasi oleh satu lembaga penfasir tungga,” ujarnya.

Yang pasti menyadari betapa pentingnya upaya internalisasi nilai-nilai 4 pilar bangsa ini pada setiap warga negara saat ini menurut Lukman Hakim Saifuddin, MPR melihat pentingnya lembaga khusus dengan kewenangan besar yang khusus bertugas melakukan kajian, pemasyarakatan, pendidikan dan pembudayaan 4 pilar secara lebih sistematis, terstruktur dan massif ke segenap anak bangsa.

“Gagasan itu ternyata mendapat respon positif dari berbagai elemen masyarakat termasuk Presiden SBY, kalangan akademisi dan tokoh masyarakat, guna menyerap aspirasi sekaligus mengkaji urgensi dan kelayakan lembaga khusus itu. Karena itu MPR terus mematangkan lembaga khusus tersebut, namun apakah akan membentuk lembaga baru atau memanfaatkan lembaga yang ada dengan menambah tugas dan kewenangannya, itu akan kami kaji,” tutur Lukman.

Yang jelas dalam menegakkan konstitusi itu harus hadir pemimpin yang kuat, berani dan tegas. Dan, ini katanya, peluangnya sudah dibuka dengan memberlakukan sistem presidensil melalui pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung. “Dengan dipilih langsung itu konsekuensinya ada tanggung jawab pribadi karena presiden didukung mayoritas rakyat seluruh Indonesia. Tapi, faktanya kekuatan politik itu ada di DPR RI,” katanya.

Padahal, kekuatan DPR dengan segala kebijakan dan putusan yang dilakukan belum tentu diterima oleh rakyat. Oleh sebab itu, banyak masalah Pemilukada dengan segala akibatnya dan adanya konflik selama ini, pemilihan langsung itu dipertanyakan lagi. “Dan, parpol seharusnya bisa menjawab konflik di Pemilukada itu, karena hal itu tak ada hubungannya dengan konstitusi. Sementara masyarakat menilai konflik itu akibat perubahan konstitusi, yaitu pemilu secara langsung,” tambah guru besar Universitas Andalas, Sumatera Barat itu.

Dengan demikian Sadli Isra berharap penyelenggara negara khususnya DPR ini konsisten dengan sistem pemilu langsung tersebut, dengan meningkatkan kinerja yang baik. Bahkan, kalau bisa rekruitmen kader di parpol untuk menjadi anggota DPR, DPRD dan sebagainya mesti ada jenjang seperti dalam pendidikan. “Misalnya ada S1, S2 dan S3, jika kadernya belum mencapai jenjang tersebut maka belum layak menjadi anggota DPR, tapi tepatnya sebagai anggota DPRD I atau DPRD II dan seterusnya. Sebab, sudah terbukti kader partai yang di legislatif maupun eksekutif banyak yang tidak optimal dalam menjalankan tugasnya, sehingga kinerja pun buruk,”  kata Sadli menyarankan.