Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Identitas, Genealogi dan Dinasti
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 17-08-2020 | 14:04 WIB
muchid-lagai5.jpg Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

MEMPERINGATI hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 (17 Agustus 1945) di era pandemi D-19, jangan dimaknai sebagai deraan. Justru peringatan ini mengharuskan kita memaknai ulang pesan dalam Pembukaan/Preambule UUD 1945.

Esensi pemaknaan era pendemi ini, sebagai bangsa yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa (bertauhid), dan atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa menjadi jastifikasi bahwa paham komunis (isme) yang tidak bertuhan (ateis), tidak mendapat tempat.

Dalam konteks ini menjadi jelas ihwal identitas yang dimaknai sebagai ideologi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertauhid (berke-Tuhan-an Yang Maha Esa).

Sementara di benua Amerika, menjelang suksesi presiden bulan November mendatang, ihwal identitas masih tetap menjadi isu seksi namun rentan.

Altarnya adalah calon prsieden dari Partai Demokrat, Joe Biden yang menggandeng, Senator Kamala Haris, perempuan keturunan Asia dan Afrika pertama, beritanya yang trending dan mengejutkan. Isu identitas, ihwal rasis (genealogi) yang masih mendominasi era kepemimpinan Presiden Donald Trump adalah pemicu keterkejutan tersebut.

Mereferensi fenomena identitas yang tak lakang sampai ke akhir zaman menjadi altar pentingnya menelaah-cermati hubungan identitas, gen dan dinasti. Dalam esai sebelumnya [lihat: 'Identitas, Rasis dan Iman', Esai Akhir Zaman (8/6/2020), dan 'Demokrasi Dajal', Esai Akhir Zaman (1/6/2020)], juga sudah mendiskusikannya.

BACA: Nobel vs Little Boy

Sebagai iktibar memperingati kemerdekan RI ke-75, memperoleh momentumnya manakala identitas menjadi fokus diskusinya. Apalagi persoalan genealogi (rasis) dan dinasti (politik atau politik dinasti) menjadi bagian integral terkait isu identitas. Sukar disangkal jika isu dinasti menyeruak menjelang suksesi kepala daerah bulan Desember mendatang.

Ihwal menyeruaknya isu rasis [+me] di Amerika, dan isu dinasti (politik) di Indonesia masih berhubungan dengan identitas. Bersandar hubungan ini, sebuah pertanyaan tentang kemanusiaan yang perlu diajukan adalah: Apakah manusia sebuah identitas, atau identitas itu adalah manusia? Ras [asal istilah rasis] adalah bagian dari identitas manusia yang dikenal dengan ke-gen-an.

Begitu pula dinasti yang merupakan derivasi dari gen (DNA) yang berafiliasi seseorang yang masih berhubungan darah (keluarga), kakek, bapak, anak, cucu dan cicit.

Dalam konteks ke-gen-an ini pula manusia dapat didefinisikan sebagai sebuah identitas. Identitas inilah bagian penting refleksi klarifikasi karakter yang inheren dengan sinyalemen perbedaan dan persamaan ihwal ke-manusia-an.

Manakala sama (identik), maka manusia akan saling berkolaborasi (bekerja sama). Sementara, jika berbeda manusia akan cenderung bersitegang (konflik). Esensinya manusia dan identitas (genealogi dan dinasti) adalah interaksi karakter yang saling melengkapi, bersitegang dan berdamai. Begitulah sunatullahnya.

Mencermati genealogi dalam hubungan identitas inilah istilah umum menyebutnya dengan rasis [+me] terkait diskriminasi warna kulit, dan politik dinasti atau dinasti politik terkait pewarisan (penerus) jabatan di kekuasaan.

Istilah ras (yang berhubungan dengan genealogi) terkait langsung dengan ke-gen-an [memahami identitas manusia bersumber dari gen biologisnya atau DNA-nya].

Ini dilatarbelakangi oleh karena identitas manusia yang terklarifikasi secara logis umumnya didasarkan kepada empat hal utama yakni, kesamaan [identik] karena ideologi [agama], genealogi [keturunan sandaran bialogisnya], budaya, dan kepentingan intristik [ke dalam] seperti: ekonomi, politik, sosial, hukum dan lainnya.

Sementara ihwal dinasti yang selalu diasosiasikan dengan genealogi (anak-beranak) dalam kekuasaan raja-raja yang memerintah yang masih satu keluarga. Istilah dinasti umumnya dihubung-kaitkan dengan kekuasaan (pemerintahan kerajaan kalau zaman era dinasti yang esensinya sebelum demokrasi dipraktikan mendunia.

Berupaya mencermat-telaahi hubungan Identitas, Genealogi dan Dinasti dengan kekuasaan adalah berjalan linier, simetris, dan kongruen (bentukya sama dan sebangun). Oleh karena itu ihwal Identitas, Genealogi, dan Dinasti jika dihubungakan dengan kekuasaan, sampai akhir zaman tidak terdapat perbedaan esensi. Yang berbeda hanyalah cara manusia menyikapi dan penyebutannya saja.

Apalagi dalam konteks kenegaraan, anak-beranak dan keluarga turut serta menjadi atau terlibat sebagai calon kepala daerah misalnya, sama sekali tidak melanggar konstitusi.

Justru sebaliknya, para pihak yang melarang atau yang judes terhadap keinginan anak-beranak ikut menjadi calon dinilai dapat menghilangkan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.

Lalu berhubungan dengan ke-dinasti-an ini yang menjadi masalah apanya? Politik Dinasti kah yang mempertahankan, meneruskan atau mengganti penguasa kepada anak, cucu, cicit dengan cara demokrasi?

Atau Dinasti Politik yang hanya memberikan hak kepada anak, cucu, dan cicitnya sebagai penguasa berdasarkan garis keturunan, seperti era kerajaan sebelumnya? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.