Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hilirisasi Biji Bauksit di Bintan Kepulauan Riau
Oleh : Opini
Selasa | 07-07-2020 | 11:48 WIB
sebayang11.jpg Honda-Batam
Tino Rila Sebayang.

Oleh: Tino Rila Sebayang

Awalnya wacana, kini menjadi 'wahana'. Mungkin, kalimat itu yang paling cocok untuk menggambarkan wacana keresahan yang mencuat sejak pengesahan RUU Minerba pada bulan Mei lalu, yang kini Bintan menjadi 'wahana' pertamanya. Tak sedikit pengamat, para ahli, influencer politik, hingga masyakarat luas menyuarakan kegelisahaanya.

Pertanyaan besar yang mengundang kecurigaan adalah Ada motif apa, sehingga RUU Minerba harus disahkan oleh parlemen di tengah Pandemik Corona saat ini?. Para politisi yang terhormat pastinya tidak diam.

Tentu mereka menangkal pertanyaan itu; dengan gaya bicara lantang, cerdas, dan seolah pantas untuk diluapkan, dan menjawab masyarakat yang berkicau tak hentinya. Belum usai wacana itu surut ke tengah pembahasan di parlemen dan publik, ternyata Bintan telah disiapkan sebagai 'wahana' untuk mengujicoba UU Minerba tersebut. Di mana, kunjungan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang didampingi oleh Menteri KKP Edy Prabowo menggelar Rapat Kerja, bersama para stakeholder di Batam, Kepulauan Riau, pada Kamis 2 Juli 2020 lalu.

Salah satu output pembahasan Rapat Kerja tersebut adalah, berkaitan dengan rencana proyek hilirisasi industri biji bauksit menjadi alumunia di Kabupaten Bintan. Menurut Luhut Binsar Panjaitan, rencannya akan dibangun perusahaan yang akan mulai beroperasi pada awal tahun 2021 mendatang. Proyeksinya, aktivitas industri pengolahan biji bauksit ini, berpotensi menyerap tenaga kerja hingga 20.000 orang banyaknya.

Tak salah pula dikatakan, selain Bintan menjadi 'wahana' dari wacana kegelisahan UU Minerba, kini dijadikan pula sebagai 'tempat penampungan' TKA Tiongkok yang tak hentinya menjadi polemik di negeri ini. Bukan hal yang baru memang, bahwa persoalan TKA Tiongkok kerap dijadikan sebagai isu perbincangan dan komoditas politik di Indonesia. Bahkan polemik ini terkadang, 'terkonversi' menjadi kegelisahan masyarakat yang dikaitkan dengan isu-isu ideologis.

Sungguh ironi, masyarakat justru hanya disibukkan dengan kicauan ideologi Komunis akibat arus masuk TKA Tiongkok. Padahal, dampak yang paling signifikan adalah berkaitan dengan aspek ekonomi politik luar negeri Indonesia, baik di ranah regional maupun global. Belum lagi, ketidak-adilan yang sering muncul akibat jalinan kerjasama dengan Tiongkok, bisa saja berpotensi merugikan posisi Indonesia khususnya pada aspek ekonomi, politik, sosial, kepemerintahan, hingga posisi tawar terkait konstelasi power di level internasional.

Di sisi lain, tentu kegiatan industri merupakan salah satu motor penggerak perekonomian nasional. Apalagi, di tengah situasi dan kondisi ekonomi sosial saat ini, proyek tersebut akan berdampak positif bagi pemulihan domestik pasca Pandemik Corona nantinya. Membayangkan tingginya tingkat pengangguran akibat wabah Covid-19, tentu akan mendatangkan 'angin segar' bagi masyarakat di Kepri, khususnya di Bintan. Bahkan, porsi untuk tenaga kerja lokal juga akan dikuotakan sebanyak 2.300 orang demi pengerjaan proyek hilirisasi industri tersebut semakin lancar.

Dapat dipastikan, proyek ini tentu dipenuhi oleh lobi-lobi ekonomi dan politik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan para stakeholder yang terlibat di dalamnya. Namun, dari sekian banyak agenda yang ada, opini ini hanya akan menyoroti dua fokus utama, yakni; berkaitan dengan posisi tawar politik Indonesia terhadap Tiongkok, serta potensi ancaman TKA Tiongkok yang akan berdampak kepada pasar tenaga kerja lokal di Bintan.

Bercermin dari orientasi kebijakan luar negeri One Belt One Road (OBOR) milik Tiongkok. Memperlihatkan bahwa kawasan Asia Pasifik menjadi target pasar Tiongkok, sebagai upaya dominasi ekonomi politik internasionalnya.

Sederhana saja, dalam praktiknya, konsep Ekonomi Politik Internasional bermuara pada strategi politik yang mendatangkan keuntungan ekonomi, serta sebaliknya penguasaan ekonomi menjadi sumber bagi penguatan politik negara di level internasional. Hal inilah yang samar terlihat oleh masyarakat di Indonesia. Alih-alih ingin menginvestasikan sejumlah dana segar ke suatu negara, Tiongkok tentunya membawa misi kepentingan politik di dalamnya. Hal yang wajar tentunya bagi Tiongkok untuk melakukan itu. Namun, menjadi sangat miris, apabila politisi di tingkat Pusat dan Daerah kecolongan atas kepentingan Tiongkok ini.

Melalui strategi OBOR, Tiongkok menginginkan adanya penguatan sisi tawar politik di kawasan Asia Pasifik, yang dapat dicapai dengan memposisikan negara berkembang pada situasi ketergantungan secara ekonomi. Bagi beberapa kalangan, mungkin hal ini terdengar sangat berlebihan. Namun, di era post-modernisme hari ini, sisi tawar politik tidak lagi hanya diraih melalui jalur militeristik saja. Melainkan, ada sektor ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan propaganda media yang dijadikan sebagai sumber untuk dikonversikan menjadi kapital bagi penguatan politik Tiongkok di kawasan maupun tatanan global.

Sisi tawar politik Indonesia memang kurang mumpuni, apabila harus berhadapan secara langsung dengan Tiongkok untuk hari ini. Selain itu, tentu bukan menjadi masalah, apabila ambisi Tiongkok untuk meningkatkan posisi tawarnya di kawasan, sebagai pemenuhan kepentingan nasionalnya.

Tetapi, yang menjadi persoalan krusial adalah, Indonesia tidak menyadari akan hal itu, sehingga nantinya apabila sudah berada pada tahapan 'bergantung' dengan Tiongkok, maka rezim-rezim berikutnya akan sulit untuk melepaskan diri dari cengkraman ketergantungan tersebut. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aktor terdepan dalam praktik ekonomi politik internasional. Sedangkan untuk tingkat pemerintah daerah, tidakkah salah pula apabila lebih peka dalam penguasaan taktik politik internasional, yang dapat saja dibawa ke level yang lebih kecil lagi, katakanlah Bintan pada saat ini.

Bintan, sebagai salah satu halaman terdepan Indonesia tentu memiliki sumber ekonomi yang pontesial bagi perekonomian nasional. Dengan letak geografis, keindahan pantai, serta sumber daya alam yang cukup, pastinya mendatangkan ketertarikan investor asing untuk mengelolanya secara beneficial. Pada posisi ini, seolah Bintan sudah memiliki sisi tawar yang terikat oleh hukum takdir yang dianugerahi oleh semesta untuk dimanfaatkan bagi manusia di dalamnya. Sehingga, harapannya seluruh anugerah itu dapat dimanfaatkan secara optimal bagi penghidupan bangsa Indonesia, masyarakat Kepri, khususnya warga Bintan.

Namun, seolah semua potensi itu tak terlihat oleh mata masyarakat di Bintan. Atau, masyarakat menutup dan ditutup matanya sehingga tidak sadar, bahwa betapa kayanya negeri Lancang Kuning ini. Ditambah lagi, yang lebih mirisnya adalah wacana proyek industri biji bauksit yang dikelola dan dikuasi langsung oleh Pemerintah Pusat, mendatangkan rasa yang tidak berkeadilan. Pemerintah Pusat menarik investor asing, dan memberikan Bintan selayaknya 'wahana' bermain bagi mereka untuk dikeruk dan dieksplorasi seisi tanahnya.

Sungguh, sangat memilukan hal ini harus disuguhkan kepada jutaan mata rakyat Indonesia, khususnya mata rakyat di Bintan.

Sekali lagi, opini ini bukannya tidak memahami - bahwa kegiatan industri pengolahan jenis mineral biji bauksit, akan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Tak perlu diperdebatkan tentunya, apabila membahas berapa pundi Rupiah dan Dollar yang akan dihasilkan dari proyek industri tersebut. Namun, dengan janji sebanyak 2.300 tenaga kerja lokal, saya rasa tidaklah cukup dijadikan sebagai 'hadiah' bagi rakyat di Bintan. Janji ini mungkin saja dinilai sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat lokal, sehingga tingkat kesejahteraan diharapkan meningkat di kemudian hari. Secara kalkulasi ekonomi makro, benar saja bahwa serapan tenaga kerja dan pangsa pasar industri ini dapat diandalkan sebagai motor pemulihan ekonomi pasca pandemik Covid-19 nantinya.

Hal yang mengejutkan lagi adalah, belum lagi proyek dibangun, wacana arus TKA Tiongkok sudah mencuat ke permukaan publik dan media lokal. Dikatakan, bahwa nantinya ada sekitar 1.800 TKA asal Tiongkok yang bekerja pada proyek hilirisasi ini. Pemerintah Pusat pun memiliki dalih tentunya.

Alih-alih sebagai upaya transfer pengetahuan, TKA asal Tiongkok pun nantinya diizinkan masuk dan tinggal di Bintan. Seolah, dalih itu ingin mengatakan bahwa sumber daya manusia di Indonesia kurang cukup mapan untuk menjalankan proyek tersebut. Atau, Pemerintah Pusat harus menerima konsekuensi tersebut sebagai syarat dari para investor asing untuk membawa tenaga kerjanya dari negara asal. Kita tentu tak akan pernah tau, bahkan apabila ditanyakan -pun, mereka enggan terbuka dengan hal itu.

Sekali lagi, opini kecil ini bukan berupaya untuk menolak secara lantang dengan rencana proyek tersebut. Namun, esensi pentingnya adalah, di mana posisi tawar politik negara ini, sehingga bangsa yang dilimpahi oleh kekayaan alam - justru harus turut dan tunduk dengan syarat dari investor asing yang hendak berinvestasi. Dengan kata lain, bukankah menjadi aneh, apabila tuan rumah mengundang tamu ke rumahnya, namun banyaknya hidangan dan jumlah tamu yang akan datang justru ditentukan oleh tamu itu sendiri? Opini ini sekali lagi, merasa sangat prihatin dengan kondisi ketidak berdayaan tuan rumah yang dapat dikontrol oleh tamunya.

Membayangkan, dari total 20.000 serapan tenaga kerja, dan 2.300 di antaranya akan didatangkan dari Tiongkok, yang mana wacana itu muncul di saat kegiatan industri belum akan dimulai, tentu saja mempertegas, bahwa isi dari agenda Rapat Kerja di Batam tersebut bermuatan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Opini ini tidak mengatakan, bahwa Pemerintah harus menolak segala bentuk syarat yang diberikan oleh para investor. Namun, proses memilih dan memilah syarat mana yang harus dipenuhi menjadi sangat diharapkan oleh rakyat kepada para politisi-politisi cerdas yang terhormat di atas sana.

Opini ini menggantungkan asa, bahwa kepekaan serta kemampuan meningkatkan sisi tawar Indonesia harus lebih dioptimalkan sebagai tujuan pemenuhan kepentingan nasional.

Sedikit mengungkit dan mengingatkan, Presiden Jokowi di perhelatan Pilpres 2019 lalu sempat mengutarakan pernyataan di sesi debat Capres. Presiden Jokowi mengatakan bahwa, Pemerintah Indonesia nantinya akan mengoptimalkan pemberdayaan investor domestik, dengan cara mempersulit investor asing yang akan berinvestasi di negeri ini.

Bukan bermaksud menagih janji atau apapun itu, opini ini hanya ingin lebih mengingatkan bahwa janji itu pula yang dipegang oleh rakyat sebagai harapan untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dan mandiri. Di sisi lain, janji itu hendaknya perlu dipegang teguh hingga menjadi mandat bagi para Menteri yang turut membantu kinerja Presiden Jokowi. Karena, meskipun politik kerap dipenuhi oleh ingkar, namun harapan tidak akan pernah pupus demi membangun negeri untuk Ibu Pertiwi.

Sebagai narasi akhir dari ide dalam opini ini, saya mengatakan bahwa cukuplah sudah Jantung Ibu Pertiwi harus dilelang kepada si asing. Biarkan kita, kami, dan Anda yang melindungi jantung Ibu Pertiwi, untuk tetap berdetak di negeri Indonesia yang luhur ini.

Meskipun, seolah narasi ini terkesan berlebihan, setidaknya politisi yang cerdas mampu bekerja dengan taktis untuk tidak hanya larut dan tenggelam semakin dalam oleh syarat-syarat investor asing yang nantinya membawa petaka bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan biarkan Bintan, tanah kami, Bumi Lancang Kuning harus dilelang dengan harga yang murahan, dan si asing yang harus menentukan segala syarat atas isi dan tata kelola di dalamnya. Ya, opini ini memohon hal itu.


Penulis merupakan Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Fisip Universitas Pasundan Bandung & Founder Anthromedius Indonesia (Political and Media Consultant)