Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebijakan Pembangunan Papua dalam Perspektif Historis Kebangsaan, Politik dan Ekonomi
Oleh : Opini
Rabu | 24-06-2020 | 18:06 WIB
HM-zaenuddin.jpg Honda-Batam
Dr H Muhammad Zaenuddin, S.Si., M.Sc.

Oleh Dr H Muhammad Zaenuddin, S.Si., M.Sc

INDONESIA merupakan negeri kaya yang dibahasakan dengan istilah 'gemah ripah loh jinawi'. Kekayaan yang dimiliki Indonesia, tidak hanya sebatas pada melimpahnya hasil alamnya saja, namun juga kekayaan yang 'tersembunyi yakni ragamnya suku, bahasa, agama, kepercayaan, dan adat istiadat.

Merujuk pada data sensus penduduk (BPS tahun 2010), Indonesia setidaknya memiliki sekitar 1.340 suku bangsa. Dilansir dari situs www. indonesia.go.id, bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan bahasa.

Mengelola keragaman ini tidak lah mudah, satu sisi bisa menjadi potensi namun satu sisi bisa menjadi ancaman perpecahan. Tidak sedikit dari negara di dunia ini yang 'hancur karena tidak mampu mengelola keberagaman ini.

Namun alhmadulillah, Indonesia merupakan satu dari sedikit bangsa yang berhasil mengelola keberagaman ini dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kaya dalam hal keragaman tetap mampu menyatu dalam kebangsaan sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun, tidaklah mudah memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi kebangsaan ini. Dari catatan historis, betapa beratnya para pejuang dan perintis bangsa ini untuk meraih kemerdekaan. Begitu juga beratnya mempertahankan kemerdekaan yang telah kita raih. Berbagai upaya dilakukan penjajah Belanda yang tidak 'rela' dengan kemerdekaan bangsa ini, mereka berupaya berbagai cara untuk menggagalkan atau setidaknya mengganggu kemerdekaan ini.

Padahal mereka sudah tahu bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tak bisa dihindari perang fisik dilakukan di mana-mana, ribuan bahkan jutaan pahlawan Indonesia berguguran dalam rangka membela kemerdekaan ini. Upaya perjanjian dan diplomasi internasional terus dilakukan oleh para pemimpin kita untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi internasional.

Pada akhirnya upaya diplomasi pemimpin kita membuahkan hasil. Agresi militer yang dilakukan Belanda mendapatkan kecaman dari dunia internasional terutama dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). DK PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda ke Indonesia.

DK PBB juga menyerukan diadakan perundingan antara Belanda dan Indonesia untuk penyelesaikan masalah. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), berbagai upaya diplomasi telah dilakukan oleh pemerintah kita dalam rangka untuk mempertahankan kemerdekaan, di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati 10 November 1946 di Cirebon dan Perjantian Renville yang ditandatangani pada 8 Desember 1947. Namun perjanjian-perjanjian tersebut belum mampu membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Puncaknya adalah digelarnya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November di Den Haag Belanda. KMB digelar sebagai tindak lanjut dari perundingan Roem-Royen yang secara eksplisit hasilnya menandakan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Konferensi Meja Bundar di Den Haag bertujuan untuk mempercepat 'penyerahan' kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Hasil dari persetujuan KMB adalah Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada bulan Desember 1949.

Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Secara politik, Melalui perjuangan panjang, akhirnya Indonesia diakui sebagai negara yang benar-benar berdaulat oleh Belanda.

Namun demikian masih ada masalah tersisa, yakni Irian Barat. Dalam rumusan perjanjian KMB tersebut, dijelaskan bahwa mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan. Pada proses selanjutnya, ternyata upaya penyatuan Irian Barat juga tidak lah mudah, membutuhkan proses dan perjuangan yang panjang.

Tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang upaya perjuangan dan pembangunan Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Papua dalam Perspektif Historis Kebangsaan

Menurut Rifai Shodiq (2017) pembebasan Irian Barat merupakan salah isu kedaulatan terbesar pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Konflik ini muncul ketika Belanda tidak bersedia untuk menyerahkan Irian Barat ke dalam bagian NKRI, dan memilih untuk menjadikan wilayah itu sebagai negara boneka. Konflik perebutan wilayah ini menguras banyak energi tokoh-tokoh NKRI untuk tetap menjaga kesatuan wilayahnya. Untuk mempertahankan Irian Barat, mereka berjuang melalui berbagai jalur mulai dari diplomasi hingga militer.

Secara historis kita ketahui bahwa pada awalnya, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda dan bagian dari kesatuan dari pulau-pulau lain di Indonesia dalam Hindia Belanda. Ditinjau dari segi politis bahwa berdasarkan perjanjian international 1896 yang diperjuangkan oleh Prof. Van Vollen Houven (pakar hukum adat Indonesia) disepakati bahwa 'Indonesia' adalah bekas Hindia Belanda.

Sedangkan Irian Barat, walaupun dikatakan oleh Belanda secara kesukuan berbeda dengan bangsa Indonesia, tetapi secara sah merupakan wilayah Hindia Belanda. Ditinjau dari segi antropologi, bahwa bangsa Indonesia yang asli adalah Homo Wajakensis dan Homo Soloensis yang mempunyai ciri-ciri: kulit hitam, rambut keriting (ras austromelanesoid) yang merupakan ciri ciri suku bangsa Aborigin dan ras negroid (Papua).

Namun demikian, ketika penyerahan kemerdekaan kepada RI, Irian Barat belum disertakan di dalamnya. Hal ini menyebabkan kepemilikan wilayah itu menjadi permasalahan antara RI dan Belanda, sehingga munculah upaya pembebasan Irian Barat dari tahu 1945-1963.

Dalam sidang BPUPKI ditegaskan bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, ketika Indonesia merdeka maka Irian Barat sudah seharusnya ikut merdeka.

Namun, Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi justru melakukan agresi ke NKRI, sehingga berkobarlah perang kemerdekaan (1945-1949). Akibat perjuangan Indonesia dan dukungan forum internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Kendati Belanda telah mengakui, namun dalam penyerahan kedaulatan tersebut Irian Barat belum disertakan dan baru akan dirundingkan satu tahun kemudian. Pada kenyataannya masalah Irian Barat tidak mudah untuk diselesaikan, karena Belanda tetap bersikeras mempertahankan wilayah itu. Oleh karena itu, tuntutan yang dilancarkan pihak Indonesia terus mengalami jalan buntu.

Meskipun mendapati jalan buntu, namun pemerintah Indonesia tidak putus asa. Sebagai solusi pertama, Indonesia menggunakan jalur diplomasi untuk merundingkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia.

Setelah setahun, Irian masih tetap dikuasai oleh Belanda, dan usaha-usaha secara bilateral telah mengalami kegagalan, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1954 membawa permasalah Irian ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Persoalan Irian berulang kali dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif.

Pada sidang Majelis Umum tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Roeslan Abdulgani, menyatakan dalam pidatonya, ketika ikut dalam perdebatan bahwa Indonesia akan menempuh jalan lain yang tidak akan sampai kepada perang untuk menyelesaikan sengketa Irian dengan Belanda, jika sidang ke-12 PBB tidak berhasil menyetujui resolusi Irian Barat.

Sayangnya, pidato dari menteri luar negeri tidak dapat merubah pendirian negara-negara pendukung Belanda, sehingga resolusi yang disponsori 21 negara termasuk Indonesia tidak dapat dimenangkan karena tidak mencapai 2/3 suara.

Negara-negara Barat masih kokoh mendukung posisi Belanda, malah sikap itu bertambah kuat dengan adanya Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Dengan demikian pihak Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat, bahkan mereka tidak mempunyai keinginan untuk membicarakannya lagi.

Pembebasan Irian Barat merupakan sebuah tuntutan nasional yang didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Tuntutan itu didasarkan atas pembukaan UUD 45 bahwa untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sementara Irian adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia.

Setelah jalan damai yang ditempuh selama satu dasawarsa belum berhasil membebaskan Irian Barat, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Dalam rangka itu, pada tahun 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian di seluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambil-alihan perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan.

Untuk mencegah anarki dan menampung aspirasi rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Nasution memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Ketegangan antara Indonesia dan Belada mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agus 1960. Pada tahun itu Indonesia secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Pemerintah Belanda.

Kemudian, dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 1961 kembali masalah Irian diperdebatkan.Sekretaris Jenderal PBB, U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat, Ellsworth Bunker untuk mengajukan usulan penyelesaian masalah Irian.

Inti dari usulan Bunker secara singkat adalah "agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan itu dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun". Pemerintah RI pada prinsipnya dapat menyetujui usulan tersebut dengan catatan agar waktu penyerahan diperpendek.

Namun pemerintah Belanda mempunyai pendapat sebaliknya. Mereka mau melepaskan Irian dengan membentuk dulu perwakilan di bawah PBB untuk kemudian membentuk Negara Papua. Sikap Belanda disambut oleh Indonesia dengan membulatkan tekad untuk mengadakan perjuangan bersahabat. Presiden Soekarono memformulasikannya sebagai "Politik konfrontasi dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat".

Dalam rangka persiapan militer untuk merebut irian melalui jalur konfrontasi, Pemerintah Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya senjata diharapkan diperoleh dari negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika, tetapi tidak berhasil.

Kemudian usaha pembelian senjata dialihkan ke Uni Soviet, Pada Desember 1960, Jenderal Nasution bertolak ke Moskow untuk mengadakan perjanjian pembelian senjata.

Kemudian pada tahun 1961, Jenderal Nasution mengunjungi beberapa negara : India, Pakistan, Australia, Jerman, Prancis, Inggris dll untuk mendengar sikap negara-negara itu, jika terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda.

Kesimpulan yang diperoleh Kasad bahwa negara-negara tersebut tidak mempunyai keterikatan dengan Belanda dalam bidang bantuan militer, meskipun negara-negara tersebut menekankan supaya perang dihindari dan bahkan ada yang mendukung posisi Belanda.

Di pihak lain, Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak segera diserahkan kepada Indonesia, maka lawannya akan berusaha membebaskan Irian dengan kekuatan militer. Belanda tidak tinggal diam melihat persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Indonesia.

Awalnya mereka mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi. Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya di Irian dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian di antaranya kapal induk Karel Doorman.

Pada tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang berisi: gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, dan bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Dengan diucapkannya Trikora maka dimulailah konfrontasi melawan Belanda. Pada tanggal 2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan nomor 1 tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.

Awalnya Belanda meremehkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka menganggap pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Akan tetapi setelah operasi-operasi infiltrasi dari pihak Indonesia berhasil yang di antaranya terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan Indonesia, maka Belanda akhirnya bersedia untuk duduk di meja perundingan.

Tidak hanya Belanda, dunia luar yang dulunya mendukung posisi Belanda di Forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak main-main. Pemerintah Belanda juga banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat untuk berunding.

Desakan ini untuk mencegah terseretnya Unni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik, di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada Indonesia dan Belanda. Sehingga, pada tanggal 15 Agustus 1962, ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York.

Perjanjian New York dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Delegasi Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah.

Persoalan terpenting dari perjanjian ini adalah mengenai penyerahan pemerintahan di Irian Barat dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut maka dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang pada waktunya akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.

Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil referendum itu. Sedangkan pemulihan hubungan diplomatik keduanya akan dilakukan npada tahun 1963 itu juga, dengan pembukaan Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi provinsi ke-26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya (sekarang Papua).

Sebagai salah satu kewajiban pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah RI harus mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat akhir tahun 1969. Pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat memilih, ikut RI atau merdeka sendiri.

Penentuan pendapat Rakyat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi dua opsi, yaitu : bergabung dengan RI atau merdeka sendiri. Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia.

Hasil ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI.

Dari paparan singkat tentang historis Irian Barat tersebut di atas, setidaknya mengindikasikan 3 poin penting.

Pertama, bahwa pembebasan Irian Barat merupakan salah isu kedaulatan terbesar pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia dimana secara historis bahwa Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda dan bagian dari kesatuan dari pulau-pulau lain di Indonesia dalam Hindia Belanda.

Sesuai hasil sidang BPUPKI bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Artinya memperjuangkan pembebasan Irian Barat merupakan upaya mempertahankan kedaulatan NKRI.

Kedua, bahwa perjuangan pembebasan Irian Barat tidaklah mudah, membutuhkan perjuangan karena Belanda masih berupaya menghalangi Papua Barat masuk dalam NKRI. Upaya perjuangan fisik dan diplomasi telah dilakukan, Puncaknya adalah sejak keputusan sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969, maka secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI.

Ketiga, bahwa upaya keras Pemerintah RI merebut kembali Irian Barat bukanlah merupakan tindakan sepihak, tetapi juga mendapat dukungan dari masyarakat Irian Barat. Terbukti hasil Pepera yang dilaksanakan pada 4 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969 menyatakan rakyat Irian ingin bergabung dengan Republik Indonesia.

Papua dengan Nasionalisme Indonesia

Dari uraian historis di atas menunjukkan bahwa pihak penjajah Belanda tidak benar-benar berhasil melakukan isolasi kepada masyarakat Papua agar memusuhi Republik Indonesia atau menolak nasionalisme Indonesia.

Kenyataan historis memperlihatkan ada kemudian tokoh-tokoh Papua yang berhasil dipengaruhi oleh orang-orang Indonesia untuk membela kepentingan nasional Indonesia melalui interaksi yang cukup kompleks. Malah ada tokoh-tokoh adat Papua yang menerima nasionalisme Indonesia itu dengan amat mudahnya.

Beberapa Raja (Ondoafi) di bagian Barat wilayah Papua, yang terkenal misalnya M Singgirei Rumagesan bahkan telah memperjuangkan upaya integrasi tidak lama setelah Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara yang berdaulat. Juga beberapa tokoh penting lainnya. Pada tahun 1946, setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Marthen Indey dan Corinus Krey bahkan telah menuliskan surat kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang menunjukkan keberpihakan kepada NKRI.

Pada tahun yang sama, tepatnya 28 November 1946, didirikanlah Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) oleh Silas Papare di Serui. Sebagai Ketua PKII, Silas Papare menegaskan bahwa secara historis Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari Indonesia. Sebuah pernyataan yang secara substansi diulang kembali oleh Gubernur J.P Solossa di awal tahun 2001 (atau 55 tahun kemudian) saat memperjuangkan adanya Otsus Papua.

Pada masa-masa berikutnya, di tahun 1950-an, muncul pula tokoh-tokoh seperti Hermanus Wajoi, Agus Nenepath, Silas Kamaera, Willem Wajankau dan Mateus. Tokoh-tokoh tersebut di atas inilah yang kemudian turut menyemaikan semangat nasionalisme Indonesia.

Generasi penerus mereka kemudian bahu-membahu dengan pemerintah membangun sebuah jaringan politik yang efektif, yang pada akhirnya turut memungkinkan tanah Papua menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI pada Pepera tahun 1969. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, tanah Papua telah melahirkan kelompok yang pro-Indonesia dengan tulus.

Menurut Ode Jamal (Dosen Universitas Cenderawasih) dalam penelitian disertasinya menunjukkan bahwa kini mayoritas kelompok masyarakat Papua tetap mengingnikan dalam pangkuan NKRI dan secara tegas menolak ide dan aksi-aksi separatisme, yang dipandang telah memecah belah rakyat.

Pada level akar rumput, opsi merdeka ini bahkan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak relevan bagi kehidupan mereka sehari-hari. Wacana merdeka nampak lebih banyak berkembang di kalangan elit atau kelas menengah (termasuk kalangan terpelajar atau mahasiswa) yang punya orientasi politik kuat.

Papua dalam Perspektif Politik

Pada tahun 2009, tim peneliti LIPI meluncurkan buku Papua Road Map Negotiating the Past Improving the Present and Securing the Future. Buku itu ditulis berdasarkan hasil penelitian Konflik Papua sejak 2004 sampai 2008. Dari buku itu, disebutkan terdapat empat masalah yang terjadi di Papua, yakni marginalisasi dan diskriminasi, kegagalan pembangunan, kekerasan negara dan pelanggaran HAM 4, dan sejarah dan status politik Papua.

Meski muatan buku menimbulkan pro dan kontra, namun setidaknya memberikan perspektif akademik mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Meski demikian, banyak kalangan yang menilai bahwa analisis buku bukanlah hal baru, namun lebih pada pengulangan analisis sebelumnya.

Namun demikian, sejak digulirkannya reformasi telah terjadi perubahan yang drastis tentang bagaimana kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua. Dimulai dengan sejak diterapkannya UU Otonomi Daerah pada tahun 1999, maka telah ditandai dengan terbentuknya sebuah pemerintahan daerah yang memiliki lebih banyak kewenangan ketimbang masa-masa sebelumnya.

Perubahan model pemerintahan dan dampaknya itu, dalam konteks Papua, pertama-tama harus dilihat sebagai bagian dari adanya paradigma baru Pemerintah RI dalam melihat wilayah Papua. Sejak era pemerintah Abdurrahman Wahid, yang mengizinkan dikibarkannya Bendera Bintang Fajar/Kejora, mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua dan dilaksanakannya Kongres Rakyat Papua II, wilayah Papua semakin mendapat perhatian dan tidak lagi semata dilihat sebagai 'wilayah belakang rumah' (backyard) yang dapat diurus sekadarnya.

Pendekatan yang dikembangkan pun lambat tapi pasti tidak lagi semata pendekatan keamanan (security approach), yang bersifat militeristik, melainkan telah memasukkan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Perhatian pemerintah dan bangsa Indonesia juga tercermin jelas dari TAP MPR RI Nomor IV tahun 1999 tentang GBHN (1999-2004) yang memberikan kewenangan masyarakat Papua untuk mengatur dirinya sendiri melalui sebuah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang. Dalam ketetapan MPR itu juga disebutkan pelanggaran HAM di Papua harus diselesaikan dengan jujur dan bermartabat.

Seiring perjalanan waktu, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menunjukkan kepedulian terhadap Papua, daerah marginal dan juga wilayah perbatasan atau terpencil/tertinggal pada umumnya.

Terbit kemudian seperangkat UU seperti UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua, UU Wilayah Negara dan UU tentang Desa, Peraturan Presiden tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan/BNPP (2010), maupun Peraturan Presiden tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat/UP4B (2011), yang jika ditelaah secara seksama memuat nilai-nilai dan landasan kebijakan yang berorientasi kuat untuk turut makin menyejahterakan wilayah.

Terkait dengan UU Otsus Papua, pemerintah pusat memberikan kewenangan yang luas kepada rakyat Papua dan pemerintah daerah Papua untuk memegang kendali bagi jalannya pemerintahan di wilayahnya. UU ini disusun oleh rakyat Papua dengan mengikutsertakan banyak pihak.

UU ini dilandasi oleh tujuh nilai dasar yakni, (1) perlindungan hak-hak dasar penduduk asli Papua, (2) demokrasi dan kedewasan berdemokrasi, (3) penghargaan terhadap etika dan moral, (4) penghormatan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), (5) penegakan supremasi hukum, (6) penghargaan terhadap pluralisme dan (7) persamaan kedudukan, hak dan kewajiban warga negara.

Menurut Frans A Wospakrik, Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen), UU ini menandai adanya kesepakatan luhur untuk mengatasi konflik berkepanjangan yang telah berlangsung selama 39 tahun.

Sementara Agus Sumule melihat bahwa kandungan UU ini merupakan jalan tengah dan mencakup berbagai dimensi pokok yang diharapkan oleh rakyat Papua termasuk di antaranya perlindungan dan pemberdayaan hak-hak identitas orang asli Papua, penyelesaian HAM dan upaya mencari rekonsiliasi melalui klarifikasi sejarah Papua, peningkatan SDM manusia hingga penataan berbagai aspek pembangunan, kehidupan bermasyarakat dan hukum.

UU ini demikian spesial karena hanya dalam Undang-undang inilah hak untuk menjadi kepala daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota) khusus dimiliki oleh orang asli Papua, bukan pendatang atau dari suku non-Papua. Ketetapan semacam itu tidak ditemui di daerah lain.

UU ini juga mewajibkan pemerintah pusat memberikan sejumlah dana pembangunan yang dikelola langsung oleh orang Papua sendiri, yang diatur secara detail pada Bab IX tentang Keuangan. Di sisi lain, UU ini mengatur bahwa wilayah Papua akan mendapatkan bagi hasil sumber daya alam dengan proposi yang besar, yakni (1) kehutanan 80%, (2) perikanan 80%, (3) pertambangan umum 80%, (4) pertambangan minyak bumi 70%, dan pertambangan gas alam 70%.

Dalam UU ini pula masyarakat Papua memiliki hak untuk membentuk institusi demokrasi yang mewakili aspirasi politik maupun kepentingan adat mereka. Untuk itu dibentuklah kemudian Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. MRP dibentuk sebagai representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Sementara DPR Papua memiliki kewenangan politis untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua layaknya badan legislatif. Selain itu, UU ini juga mengatur persoalan perlindungan masyarakat adat yang secara khusus diatur dalam Bab XI dan persoalan HAM pada Bab XII. Pada bagian HAM ditegaskan komitmen pemerintah untuk menuntaskan masalah HAM di Papua. Pada Pasal 45 Ayat 2 disebutkan tentang keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dimana salah satu tugasnya, yang disebutkan dalam Pasal 46 Ayat 2, adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua.

Meski dalam pelaksanaannya muncul berbagai persoalan dan kritik tajam, UU ini dapat dikatakan telah menjadi jawaban legal-formal atas banyak persoalan. Menurut Sumule, UU Otsus layak disebut sebagai "jalan tengah yang cukup adil dan beradab" yakni, antara sikap ingin mempertahankan cengkraman tangan pusat kepada wilayah Papua dengan cara-cara lama, dengan keinginan memisahkan diri secara total dari NKRI.

Secara umum, UU ini telah mengatur semua aspek yang dituntut oleh Rakyat Papua. Dengan berbagai aturan dan dimensi di atas, UU Otsus telah memberikan peluang yang besar bagi orang asli Papua untuk memegang kendali pemerintahan di wilayahnya dan membuat kebijakan sesuai dengan berbagai kepentingan dan aspirasi. Oleh karena itu, menganggap bahwa Jakarta adalah pengendali utama dan penentu satu-satunya kehidupan masyarakat Papua adalah sebuah pandangan yang tidak lagi sesuai kenyataan.

Implikasi dari keberadaan UU itu dalam konteks politik telah menyebabkan masyarakat relatif lebih memiliki hak dan kekuatan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah di daerah. Aspirasi itu disalurkan melalui tokoh-tokoh ataupun kelompok-kelompok tertentu, termasuk LSM, cendekiawan, gereja maupun mahasiswa.

Saat ini, pers, baik cetak maupun elektronik, dan social media pun semakin marak dan bebas menyuarakan berbagai macam aspirasi dan kepentingan. Sikap pro atau kontra akan suatu hal didiskusikan secara bebas dan tanpa adanya upaya-upaya untuk melakukan sensor. Lepas dari itu, dalam konteks mempengaruhi kebijakan, saat ini pula semakin terbuka kesempatan bagi rakyat Papua untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan yang bersifat kultural ataupun keagamaan, baik dalam konteks identitas adat maupun keyakinan tradisional dengan seluas-luasnya.

Sementara dalam soal perlindungan hak asasi manusia (HAM), saat ini pemerintah berupaya menjalankannya secara lebih proporsional, profesional dan komprehensif. Saat ini peran Komnas HAM dan aktivis LSM yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia di Papua relatif tidak lagi mengalami pembatasan ketat sebagaimana yang dulu terjadi di era Orde Baru.

Bahkan salah satu komisioner pada lembaga Komnas HAM (Periode 2012-2017) adalah Natalius Pigai seorang putra daerah Papua. Keberadaan Pigai memperlihatkan kesungguhan pemerintah tidak saja dalam soal penegakan HAM, namun pula memberikan kesempatan bagi orang Papua melengkapi keberadaan tokoh-tokoh Papua yang telah berkiprah dalam lembaga-lembaga penting di level nasional

Papua dalam Perspektif Ekonomi

Papua merupakan salah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam di Indonesia. Namun, kekayaan tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Kekuasaan beberapa pihak asing serta belum mampunya penduduk lokal dalam mengelola aset lokal Papua mengakibatkan angka kemiskinan di Papua mencapai angka 27,43% pada semester kedua tahun 2018 yang merupakan angka tertinggi dari 34 provinsi di Indonesia (BPS, 2018).

Selain itu, menurut survei Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR RI) dengan indikator Indeks Daya Saing Infrastruktur PUPR dari tahun 2010-2014, Papua konsisten berada di peringkat terbawah dengan skor 50,13 dan berada di bawah rata-rata nasional yang memiliki skor 67,04.

Indeks Daya Saing Infrastruktur sendiri dibangun oleh indikator kualitas jalan, ketersediaan air minum yang layak, kepemilikan rumah, indeks kawasan permukiman tidak kumuh dan perkotaan, serta kesediaan akses sanitasi yang layak. Begitu juga nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua merupakan yang terendah dari 34 provinsi di Indonesia, yaitu 60,06 dan berada di bawah rata-rata nasional dengan nilai 71,39. Data BPS (2018).

Ketertinggalan Papua terasa nyata apabila dilihat berdasarkan data-data yang telah disampaikan sebelumnya. Oleh karena itu kebijakan pembangunan di Papua merupakan salah satu fokus utama pemerintah dalam beberapa waktu terakhir. Dengan konsep Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap daerah-daerah terluar di Indonesia termasuk Papua.

Perhatian pemerintah direalisasikan dengan anggaran khusus yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan Dana Otsus (Otonomi Khusus) dan dana khusus untuk infrastruktur pada pemerintahan Jokowi Presiden Jokowi tingkatkan perhatian kepada Papua dibandingkan 50-an tahun sebelumnya.

Hal ini ditunjukkan dengan kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke tanah Papua sebanyak belasan kali, sejumlah mega proyek jalan dan jembatan, penerangan, bandara udara, pelabuhan, pasar, pembagian sertifikat tanah, pembagian Kartu Indonesia Sehat, pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan dan pembangunan pasar tradisional, penerapan BBM satu harga dan program lainnya.

Proyek jalan, misalnya, hingga akhir 2014 (sebelum era Jokowi) jalan Trans Papua yang sudah dikerjakan sepanjang 3.263 KM, yang terdiri dari Provinsi Papua Barat sepanjang 2.343 KM dan Provinsi Papua sepanjang 920 KM dari total jalan Trans Papua sepanjang 4.330 KM. Sepanjang 3.263 KM ini dikerjakan dalam kurun waktu puluhan tahun.

Sisa jalan trans Papua yang belum tembus sepanang 1.067 KM. Pada era Jokowi (2014-2019), pembangunan jalan trans Papua dikerjakan secara masif sehingga telah dikerjakan sepanjang 1.066 KM dengan menelan anggaran pemerintah mencapai Rp 18 triliun.

Selain itu juga dibangun banyak jembatan, di antaranya adalah Jembatan Holtekamp sepanjang 732 meter dengan lebar lebar 17 meter yang menghubungkan Hamadi, Distrik di Jayapura Selatan dengan Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, yang sebelumnya membutuhkan waktu 2,5 jam menjadi 60 menit.

Jembatan ini dibangun dengan total biaya 1,7 triliun. Selain itu, Jokowi membangun pelabuhan baru serta revitalisasi pelabuhan lama untuk perkuat tol laut. Jokowi juga memberikan perhatian pada pembangunan bandara, antara lain Bandara Domine Eduard Osok di Sorong, Bandara Nop Goliat Dekai di Yahukimo, Bandara Wamena, Bandara Utarom, Bandara Sentani, Jayapura, dan bandara Internasional Nabire. Jokowi juga membangun bendungan, infrastruktur energi PLN, telekomunikasi dan lainnya.

Di bidang pertambangan, pemerintahan Jokowi mendesak Freeport Indonesia untuk mendivestasikan sahamnya sebesar 51 persen dan berhasil ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 27 Agustus 2017. Dari perjanjian ini, pemerintah daerah Papua mendapatkan saham 10 persen sesuai kesepakatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua yang diwakili oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, pada tanggal 12 Januari 2018. Dengan dukungan dan topangan dana yang demikian besar, mulai semakin terasa menggeliat di tanah Papua.

Penutup

Uraian di atas menggambarkan bagaimana kondisi pembangunan Papua Sekarang ini. Situasi di Papua tidak dapat dikatakan sebagai situasi dimana tidak ada sama sekali kebijakan yang mendukung terjadinya perbaikan kehidupan ekonomi dan akses sosial bagi penduduk setempat. Lebih dari itu, seiring dengan adanya kebijakan-kebijakan baru, identitas masyarakat Papua pada dasarnya juga semakin terangkat dan mendapatkan tempat yang layak.

Dengan situasi ini, sebenarnya apa yang diidentifikasikan oleh LIPI dan banyak kalangan sebagai masalah-masalah utama di Papua, termasuk diskriminasi, stagnansi pembangunan, dan pelanggaran HAM, sedikit banyak telah teratasi atau setidaknya sudah dalam kondisi yang lebih kondusif. Atas dasar situasi kekinian itulah ide bahwa kemerdekaan Papua merupakan solusi bagi perbaikan kehidupan masyarakat Papua adalah salah kaprah.

Dalam merespons perkembangan yang terjadi di wilayahnya, Masyarakat Papua, layaknya masyarakat Indonesia lainnya, memiliki keragaman pandangan. Dalam keragaman ini tidak dapat dipungkiri ada sebagian yang bersikap amat kritis terhadap pemerintah, bahkan di antara mereka menuntut referendum penentuan nasib sendiri sebagai cerminan ketidakpuasan terhadap pemerintah dan keinginan kuat untuk memisahkan diri dari NKRI.

Namun, pandangan sedemikian tentu saja tidak dapat diklaim sebagai pandangan seluruh rakyat Papua. Kenyataannya Papua adalah entitas multi-kultural dan kompleks dengan keragaman yang luar biasa.

Mambangun Papua menjadi lebih bermartabat, beradab dan aspiratif, yang pada gilirannya dapat lebih resisten terhadap upaya-upaya separatis, tentu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Semua pihak harus ambil bagian dan memiliki kesungguhan untuk terus menjalankan komitmen, melakukan evaluasi, pengawasan dan melakukan perbaikan-perbaikan.

Prinsipnya, upaya tersebut harus mendapat perhatian ekstra serius dari semua pihak. Sehubungan dengan itu, maka tepat apa yang dikatakan oleh Dr. Adriana Elisabeth bahwa persoalan Papua harus menjadi bagian dari perjuangan dan diplomasi jangka panjang. Untuk itu dia menyarankan memperkuat hubungan bilateral dengan negara-negara yang berpotensi mencegah terjadinya internasionalisasi masalah Papua, termasuk misalnya Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara di kawasan Pasifik.

Selain itu nampaknya perlu pula ditumbuhkan sikap sensitif dan bersedia berkontribusi di kalangan Warga Negara Indonesia yang berada diperantauan dalam merespon perkembangan di Papua.

Melalui berbagai media seperti kegiatan akademis, promosi atau misi-misi kebudayaan, peringatan hari-hari besar kenegaraan, atau curah pendapat umum pesan-pesan mengenai kepedulian bangsa Indonesia terhadap perbaikan kondisi masyarakat di Papua dan di seluruh wilayah yang masih tertinggal pada umumnya dapat disebarluaskan.

Penggalangan tokoh-tokoh terpelajar, aktivis sosial, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda ataupun pelaku sejarah, hingga akademisi berkaliber nasional ataupun internasional untuk mengungkap apa yang terjadi di Papua tentu menjadi bagian tidak terpisahkan di dalamnya.

Menjaga kedaulatan Papua dengan memberikan perhatian dalam kebijakan politik dan ekonomi, sejatinya juga mempertahankan eksistensi dan kedaulatan NKRI. (Disarikan dari banyak sumber).

Penulis adalah Ketua PW ISNU Kepri/Anggota FKPT Kepri/Dosen Politeknik Negeri Batam