Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Autis
Oleh : Opini
Sabtu | 06-06-2020 | 13:27 WIB
iyad-palestina.jpg Honda-Batam
Iyad Halak penderita autisme yang tewas ditembak polisi Israel. (Foto: Ist)

Oleh: Dahlan Iskan

"SAYA tidak bisa bernafas!"

Teriakan George Floyd di Minnneapolis itu tidak bisa diucapkan Iyad Halak di Israel. Iyad ketakutan luar biasa: laras senjata mengarah ke dirinya.

Ia lari. Ditemukan tewas di ruang persembunyian.

Polisi memang sudah memperingatkannya: untuk membuang senjata di tangan Iyad. Polisi juga memerintahkan agar Iyad angkat tangan.

Tapi Iyad tidak memahami itu. Ia seorang pemuda berkebutuhan khusus: mengalami autisme.

"Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!...." tujuh tembakan mengarah ke dirinya. Ia tewas.

Itulah yang dialami Iyad Halak. Di kota lama Jerussalem Timur. Saat Iyad hendak berangkat mengikuti pendidikan untuk orang berkebutuhan khusus.

Koran-koran Israel pun menjadikan peristiwa itu berita besar. Berhari-hari. Apalagi beberapa hari kemudian ada peristiwa di Amerika itu: George Floyd itu.

Yang sudah berteriak "Saya tidak bisa bernafas" tapi terus saja lehernya ditindih dengkul polisi kulit putih di Minneapolis. Floyd yang kulit hitam tewas di dengkul polisi.

Iyad yang Palestina tewas di moncong senjata polisi Israel. Kini polisi Israel itu ditahan. Untuk dilakukan pengusutan. Atasan regu itu semula juga ditahan. Tapi dilepas hari itu juga --mengaku sudah melarang penembakan itu.

Si polisi juga ingin selamat. Ia membantah keterangan atasannya itu. Ia juga beralasan di tempat penembakan itu sering terjadi perlawanan orang Palestina pada polisi.

Hari itu si polisi takut orang yang lagi lewat itu membawa senjata. Terbukti posisi tangannya di dada.

"Tiap hari ia memang kami minta membawa ponsel. Agar kalau perlu pertolongan bisa menghubungi keluarga," ujar ayah Iyad, seperti dikatakan pada harian The Times of Israel.

Iyad yang mendekap ponsel itu dikira menyembunyikan senjata. Iyad yang mengalami autisme dikira tidak patuh pada perintah. Keluarga Iyad hanya bisa marah-marah.

Apalagi lantas ada demo anti-rasis di Amerika. Maka di Jerussalem pun muncul demo pro-Iyad. Meski jumlahnya hanya sekitar 100 orang. Yang juga dengan mudah dibubarkan.

Koran-koran di Israel terus memberitakan peristiwa ini. Sampai kemarin. Ketua rabbi (ulama Yahudi) di Jerussalem, Aryeh Stern, sampai datang ke rumah Iyad. Untuk menunjukkan simpati dan duka umat Yahudi. Kepada sang rabbi ayah Iyad minta keadilan.

Sang ayah juga sudah membuat video yang beredar luas. Isinya: tidak akan mau didatangi pejabat pemerintah --sebelum polisi itu dijatuhi hukuman.

Padahal salah satu menteri kabinet sudah merencanakan ke rumah Iyad. Setelah melihat video itu rencana pun dibatalkan. Peristiwa itu terjadi di ruang terbuka tidak jauh dari Lion's Gate tembok Jerussalem.

Kota tua Jerussalem memang dilindungi pagar tembok tinggi. Yang dibangun tahun 1500-an. Panjang tembok itu sekitar 6 Km --diberi 9 pintu gerbang masuk kota. Masing-masing gerbang ada namanya. Yang masih berfungsi sekarang tinggal 7 gerbang.

Di lokasi Iyad terbunuh itu memang ada kampung padat. Penghuninya banyak yang Palestina. Beragama Islam. Masjid Al Aqsa tidak jauh dari lokasi penembakan itu.

Saya menyesal tidak membuat video ketika dulu menelusuri liku-liku gang di kampung ini --sebuah kota tua yang sangat unik.

Saya bisa membayangkan Iyad lagi keluar dari gang yang naik turun itu. Lalu berjalan menyeberangi pelataran terbuka dekat gerbang. Dan tewas akibat takdir autismenya.

Saya mengikuti perkembangan di Israel karena ada tender raksasa di sana: pembangunan instalasi penjernihan air laut terbesar di dunia. Untuk menjadi air minum negara itu.

Tentu saya tidak ikut tendernya. Bukan bidang saya. Pun bukan kelas saya. Hanya saja tender itu sarat dengan muatan politik.

Terutama ketika menentukan siapa pemenangnya. Tinggal dua perusahaan besar yang masuk "final": perusahaan Tiongkok dan perusahaan Amerika.

Seminggu sebelum penentuan pemenang Menlu Amerika Mike Pompeo ke Tel Aviv. Untuk mengingatkan agar Israel jangan sampai memenangkan perusahaan Tiongkok. Benar saja: perusahaan Amerika yang menang.

Itulah proyek penjernihan air laut terbesar di dunia. Yang akan selesai tahun 2023. Yang akan menghasilkan 200 juta m3 air minum per tahun.

Nama proyek itu: Sorek-2. Lokasinya di selatan kota Tel Aviv. Biaya proyeknya sekitar Rp 26 triliun. Dengan proyek ini kapasitas produksi air minum Israel menjadi 600 juta m3 per tahun.

Semua diambil dari air Laut Tengah. Presiden Donald Trump sendiri yang mengutus Pompeo ke Israel. Jangan sampai perusahaan Tiongkok yang menang.

Padahal perusahaan Tiongkok itu maju tender sudah menggunakan perusahaan Hongkong, Hutchison.

Akhirnya perusahaan IDE Technologies dari Amerika yang menang. Amerika tidak mau kalah kali ini. Sudah mulai banyak proyek di Israel yang dikerjakan Tiongkok.

Pekerjaan utama Amerika kini memang itu: memblokade Tiongkok. Di mana-mana. Dan Israel pasti tidak akan seperti Iyad --bila yang meminta Amerika.*

Penulis wartawan senior dan mantan Menteri BUMN