Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menanti Kolaborasi DPR-Kementerian Revisi UU Otsus Papua
Oleh : Opini
Kamis | 30-04-2020 | 16:24 WIB
gedung-dpr-ri11.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Gedung DPR RI di Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh Stanislaus Riyanta

PERUBAHAN UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua sudah sangat mendesak.

Alasan utamanya, adalah karena UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut berlaku selama dua puluh tahun dan akan selesai pada tahun 2021. Tahun 2020 ini adalah kesempatan terakhir untuk melakukan pembahasan atas revisi UU tersebut.

Mendagri Tito Karnavian menyebutkan bahwa ada dua skenario dalam pembahasan RUU Otsus Papua. Pertama otonomi khusus dilanjutkan dengan alokasi dana dari Dana Alokasi Umum.
Kedua adalah revisi bertolak dari amanat Presiden tahun 2014 tentang pemerintahan otonomi khusus bagi Propinsi Papua.

Dalam skenario kedua ada delapan poin yang akan dibahas antara lain masalah kewenangan, kerangka keuangan fiskal, ekonomi pembangunan, dan lainnya yang berujung pada percepatan pembangunan di Papua dan mereduksi isu-isu yang bisa merusak keutuhan NKRI.

Saat ini Revisi UU Otsus Papua masih dalam tahap pembahasan dan dapat disebut masih jauh untuk selesai dan diundangkan. UU Otsus Papua sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, namun pelaksanaannya masih banyak kendala.

Untuk mendorong revisi UU Otsus Papua perlu dilakukan dorongan kepada Kementrian dan Lembaga yang menjadi pemangku kepentingan atas isu-isu Papua untuk segera menyelesaikan revisi UU Otsus Papua.

Meskipun saat ini Kemendagri dan DPR bekerja keras untuk menyelesaikan revisi UU Otsus Papua tersebut, namun tanpa bantuan dan kerjasama dari Kementrian dan Lembaga lain, revvisi tersebut mustahil selesai tepat waktu.

Pendekatan tata kelola kolaboratif sangat perlu dilakukan untuk menyelesaikan revisi UU Otsus Papua.

Ansel & Gash (2008) menyebutkan bahwa tata kelola kolaboratif adalah suatu pengaturan (governing arrangement) dimana satu atau lebih badan publik secara langsung melibatkan pemangku kepentingan non-negara (non state stakeholders) dalam suatu proses pengambilan keputusan bersama yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah, bertujuan untuk menyusun atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengelola program atau aset publik.

Dalam konteks permasalahan revisi UU Otsus Papua yang harus dilakukan segera dalam tahun ini, maka pendekatan tata kelola kolaboratif sangat tepat untuk dilakukan.

Proses revisi UU Otsus Papua yang melibatkan banyak aktor seperti aktor negara yaitu Kementrian dan Lembaga, DPR, dan aktor non negara seperti tokoh adat, tokoh agama, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri perlu dikelola dengan baik untuk membentuk suatu kolaborasi yang konstruktif dan positif.

Mengingat waktu yang semakin sempit hingga berakhirnya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua maka leading sector dari program revisi UU Otsus Papua harus segera bertindak untuk mendorong Kementrian, Lembaga dan pemangku kepentingan lain yang berhubungan dengan isu Papua untuk segera bersama-sama menyelesaikan pekerjaan revisi tersebut.

Tanpa ada dorongan yang kuat maka Kementrian/Lembaga dan pemangku kepentingan lainnya akan mengabaikan tugas untuk revisi UU Otsus Papua tersebut.

Jika diperlukan, mengingat kepentingan Kementrian, Lembaga, dan pihak lainnya dalam isu Papua yang berbeda-beda, maka perlu ada suatu dorongan khusus yang memastikan revisi UU Otsus Papua harus segera diselesaikan.

Dorongan yang paling memungkinkan sehingga Kementrian/Lembaga dan pihak lain termasuk aktor non-negara untuk segera bergerak adalah dari Presiden.*

Penulis adalah pengamat kebijakan publik