Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Antara Mayday 2020 dan Gelombang PHK
Oleh : Opini
Selasa | 28-04-2020 | 10:31 WIB
tolak-phk.jpg Honda-Batam
Para buruh sedang menggelar aksi demo menolak PHK. (Foto:Ist)

Oleh Daniel Filipus Kagawak

DAMPAK ekonomi akibat virus korona dirasakan 202.585 pekerja di DKI Jakarta. Mereka mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa digaji.

Menurut data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta, sebanyak 19.559 perusahaan melaporkan terkena dampak covid-19. Rinciannya, dari 16.198 perusahaan, terdapat 172.222 pekerja yang dirumahkan tanpa digaji.

Selain itu, hingga 6 April 2020, tercatat terdapat 3.618 perusahaan dengan 1.230.644 pegawai yang menyatakan bahwa telah bekerja dari rumah atau work from home. Selanjutnya, dari 19.559 perusahaan, sebanyak 3.361 perusahaan telah mem-PHK pegawainya sejumlah 30.363.

Hal itu menindaklanjuti Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor S-80/M. EKON/03/2020 tertanggal 29 Maret 2020 yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta perihal permintaan data serta memperhatikan hasil rapat koordinasi program kartu prakerja pada 1 April yang dipimpin langsung Menteri Ketenagakerjaan bersama seluruh kepala dinas provinsi bidang ketanagakerjaan.

Dalam media sosial @ prakerja.go.id, diterangkan bahwa bantuan yang akan diberikan secara nontunai melalui platform digital dan mitra pembayaran resmi kartu prakerja.
Bantuan akan diberikan delapan kali, yakni untuk biaya pelatihan senilai Rp1 juta, insentif pascapelatihan senilai Rp600 ribu selama empat kali, dan insentif survei kebekerjaan senilai Rp50 ribu sampai tiga kali.

Selain bidang kesehatan, dampak buruk pandemi COVID-19 juga telah menjalari dunia usaha. Terganggunya lini produksi sejumlah perusahaan berujung pada upaya merumahkan pekerja, dan bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan hingga 1 April 2020, terdapat 153 perusahaan yang merumahkan 9.183 pekerja. Adapun, total pekerja yang terkena PHK mencapai 2.311 orang dari 56 perusahaan.

Angka tersebut masih mungkin bertambah karena sejumlah daerah terus melaporkan terjadinya aksi merumahkan dan PHK pekerja akibat dampak negatif pandemi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta misalnya, melaporkan hingga 3 April 2020 terjadi PHK atas 3.611 pekerja dari 602 perusahaan. Ada pula 21.797 pekerja dari 3.633 perusahaan yang dirumahkan tetapi tidak menerima upah.

Pada 17 Maret 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah menandatangani Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Salah satu isi surat edaran yang ditujukan kepada para gubernur tersebut ialah imbauan untuk menjaga pengupahan pekerja tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Adapun perusahaan diminta untuk menyiapkan rencana kesiapsiagaan untuk menekan risiko penularan COVID-19 serta menjaga keberlangsungan usaha. Guna menangani persoalan ketenagakerjaan akibat pandemi, pemerintah juga menambah alokasi dana Kartu Prakerja.
Anggaran yang awalnya ditetapkan Rp10 triliun kemudian ditambah menjadi Rp20 triliun.
Diperkirakan terdapat 3,5 juta orang hingga 5,6 juta orang yang akan mendapatkan manfaatnya.

Masing-masing dari mereka akan menerima dana Rp3,5 juta, yang terdiri atas Rp1 juta dalam bentuk pelatihan, insentif langsung senilai Rp600.000 per bulan selama 4 bulan, dan Rp50.000 per survei sebanyak tiga kali.

Sekarang ini, dunia usaha dalam tekanan, sedangkan perlindungan pekerja wajib untuk dilakukan. Sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah cepat dan tepat untuk mengatasi persoalan tersebut agar keduanya tidak terjerembap di tengah situasi sulit akibat pandemi COVID-19.

Tanggal 1 Mei 2020 adalah hari buruh internasional. Situasi perburuhan dan perekonomian nasional, regional dan global seakan-akan “hidup segan, mati tidak mau” karena hantaman dan serbuan Covid-19 yang menjalar ke banyak negara.

Sehingga menyebabkan lockdown dimana-mana dan ancaman krisis politik serta krisis ekonomi bisa terjadi kapan saja, tidak hanya di Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia, Afrika dan Asia bahkan Indonesia.

Oleh karena itu, peringatan Mayday 2020 adalah kemungkinan merupakan peringatan yang paling buruk, dan akan semakin memburuk keadaannya jika ada aksi unjuk rasa buruh memperingati Mayday 2020 apakah akan dilaksanakan 30 April 2020 atau 1 Mei 2020 kemudian berakhir anarkis, jelas situasi kehidupan buruh akan semakin keteteran dan kelabakan, dan ancaman PHK terhadap mereka akan menganga jika terlibat aksi anarkis dan ditangkap aparat keamanan karena melanggar Maklumat Kapolri.

Sejauh ini, masih 1 organisasi buruh yang akan melakukan aksi pasang spanduk di pintu pagar perusahaan bertema “Tolak Omnibus Law” dan akan berunjuk rasa ke DPR RI dan Kemenko Perekonomian juga dalam menolak Omnibus Law. Mereka “menggertak” akan membawa massa sebanyak 18.000 orang, sehingga jelas merupakan pelanggaran terhadap Maklumat Kapolri yang akan diterapkan semakin tegas dan tanpa pandang bulu.

Alasan beberapa kelompok buruh dalam menolak RUU Omnibus Law juga disebabkan karena adanya disinformasi. Setidaknya ada 8 disinformasi terkait RUU Omnibus Law seperti dikutip dari rilis resmi Kemenkominfo yaitu : pertama, disinformasi: cluster tiga soal ketenagakerjaan, upah minimum tidak turun atau ditangguhkan. Faktanya: tidak, semangat upah minimum tidak turun. Karena UU Cipta Kerja terkait tentang upah.

Kedua, disinformasi: pesangon PHK dihapuskan. Faktanya: tidak mungkin, kalau disesuaikan iya dengan cara perhitungan yang pas sesuai masa kerja diatur secara teknis di dalamnya.

Ketiga, disinformasi: mempermudah masuknya tenaga kerja asing. Faktanya: ada kebutuhan tenaga kerja asing yang belum tersedia dan dibutuhkan kehadirannya untuk memastikan investasi berjalan dengan baik.

Keempat, disinformasi: cuti hamil, cuti tahunan, cuti besar dihapus. Faktanya: tidak, tetap ada dan diatur dengan baik untuk memastikan kelancaran investasi agar lapangan pekerjaan itu tidak terhambat.

Kelima, disinformasi: isu lingkungan seperti bangunan gedung, penghapusan izin, lingkungan hidup dan amdal dsb. Faktanya: tidak mungkin karena kita paru paru dunia, tetap harus jadi perhatian, proses amdalnya yang dipercepat dan dipermudah.

IMB dipermudah, tidak perlu duplikasi rumah yang bersebelahan semua harus ber-IMB.
Keenam, disinformasi: jaminan produk halal. Faktanya: jaminan tidak hilang tapi dipercepat dan tetap harus ada campur tangan MUI juga lembaga lain yang bisa membantu mempercepatnya.

Ketujuh, disinformasi: sentralisasi kewenangan hanya di tangan presiden. Faktanya: Indonesia memang sistem presidensial, kekuasaan eksekutif ada di presiden dan terdistribusi ke Pemprov/Pemkab/Pemkot sesuai undang-undang.

Kedelapan, disinformasi: pemerintah pusat bisa mengubah peraturan perundang undangan dengan PP. Faktanya: Tidak seperti itu, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mungkin PP mengatur PP. PP menerjemahkan untuk lebih teknisnya.

Pertanyaannya apakah buruh masih akan melakukan unjuk rasa tanggal 30 April atau 1 Mei 2020 mendatang dengan risiko yang akan dihadapi di PHK dan ditangkap aparat Kepolisian karena melanggar Maklumat Kapolri? Jawaban yang bijaksana adalah jangan berunjuk rasa.

Jangan mau dikapitalisasi kelompok kepentingan tertentu. Soal Omnibus Law masih dapat diperbincangkan, kalau di PHK atau ketangkap, tamat sudah riwayat dan kasihan anak-anak dan istri dirumah. Jadi, sebaiknya, waspada dan pikirkan.*

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan kolumnis di beberapa media massa