Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memahami Larangan Mudik Lebaran Idul Fitri 1441 H
Oleh : Opini
Sabtu | 25-04-2020 | 13:21 WIB
mudik-di-indonesia.jpg Honda-Batam
Ilustrasi kegiatan mudik di Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Almira Fadhillah

BISA dipahami bahwa upaya pemerintahan sekedar menghimbau masyarakat untuk tidak mudik, bukan melakukan pelarangan merupakan dalam rangka menenangkan masyarakat di masa pandemi covid-19.

Kekhawatiran ini berdasarkan pertimbangan pemerintahan apabila terjadi kepanikan di masyarakat bisa berakibat kericuhan yang justru lebih besar resiko buruknya. Namun bagai pisau bermata dua, himbauan larangan mudik ini justru mendapat kritik keras terhadap beberapa elemen masyarakat.

Kritik keras terutama keputusan ini menciptakan kebingungan beberapa pemerintahan daerah dalam menyikapi pemudik yang sudah terlanjur pulang kampung, mengingat rata-rata pemudik berasal dari daerah yang berzona merah.

Alhasil, kondisi ini memberikan dampak sosial dan ekonomi di daerah karena pemerintahan pusat bukannya membatasi pandemi tetapi malah terkesan membiarkan penyebaran pandemi covid-19 terjadi.

Ditambah, tidak semua daerah siap secara logistik dan kapasitas medis, baik tenaga maupun peralatan medis dalam menghadapi pandemi covid-19, sehingga menambah persoalan baru.

Hingga hari ini gelombang mudik masih saja terus terjadi. Memang tak semua pergerakan mudik terpantau. Di beberapa terminal tampak terlihat sepi sehingga terkesan tidak terlalu banyak pemudik.

Padahal mereka lebih memilih menggunakan angkutan pribadi untuk menghindari pendataan atau pemeriksaan pandemi covid-19 karena takut sampai di kampung asal mereka mendapat status ODP dan isolasi mandiri selama 14 hari.

Ini menunjukkan bahwa himbauan untuk tidak mudik terbukti belum mempan membatasi pergerakan masyarakat. Ditambah, lemahnya sosialisasi ke bawah terkait pandemi covid-19 juga menambah masalah baru sehingga pemudik takut melaporkan perjalanannya.

Kekhawatiran tidak digubrisnya himbauan mudik oleh sebagian masyarakat sudah terbukti membawa dampak. Di Wonogiri, salah satu sopir bus yang mengangkut para pemudik itu kedapatan positif COVID-19.

Pulangnya para pemudik juga menimbulkan konflik horisontal di daerah karena warga lokal takut tertular. Kondisi ini jelas menambah beban bagi pemerintah daerah. Lansia di cimahi positif covid-19 setelah anaknya pulang kampung dari Jakarta. Di sumedang, seorang warga positif covid-19 setelah berdagang dari Jakarta. Dan tentu banyak yang lainnya.

Pemudik yang kebanyakan daerah Jabodetabek yang merupakan daerah epicentrum pandemi covid-19 tentu berpotensi besar menyebarkan covid-19 ke daerah-daerah yang belum terinfeksi dan sangat berpotensi menciptakan epicentrum-epicentrum baru bila tak segera tertangani.

Maka sangat wajar bila tiap daerah memunculkan inisiatif sendiri-sendiri dalam membatasi penyebaran pandemi covid-19, seperti di beberapa desa melakukan lockdown sendiri atau melakukan penjagaan ketat area kampung dengan keterbatasan alat yang dimiliki.

Beraneka ragam inisiatif pencegahan muncul dibeberapa daerah juga dikarenakan belum adanya kerja sinergis dan sepemahaman antara pemerintah dan pemerintah daerah. Prosedur dan protokol bagaimana solusi menghalau pemudik masih kedapatan berjalan sendiri-sendiri.

Kalau demikian, upaya menghentikan pandemi covid-19 jelas akan sulit. Mengingat tidak adanya kerjasama sinergis pemerintah dan pemerintah daerah yang didukung segenap masyarakat.

Selain itu, keterlambatan pemerintah dalam mengambil sikap terhadap larangan untuk mudik juga menciptakan epicentrum-epicentrum baru penyebaran covid-19. Banyaknya epicentrum baru justru akan lebih menyulitkan pencegahan penyebaran covid-19.

Namun baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengubah keputusannya dengan menaikkan status himbauan menjadi larangan mudik, ketegasan dari pemerintahan untuk mencegah penyebaran pandemi covid-19 tidak semakin meluas lagi patut didukung.

Keputusan ini juga memberikan angin segar bagi daerah karena terkurangi kesulitan dalam menghadapi pandemi covid-19.

Akan tetapi tentu keputusan ini perlu disinergikan dan diakomodir kembali dengan berbagai pihak lebih khusus pemerintah daerah. Misal perhub mengatur sangsi bila kedapatan dalam perjalanan seseorang mudik.

Upaya berikutnya pemerintahan daerah perlu melakukan pendataan dan titik sterilisasi di setiap pintu-pintu masuk wilayah antisipasi warga yang terlanjur mudik atau kedapatan pemudik sampai di kampung halamannya.

Tidak lupa perlu juga menggerakkan perangkat desa hingga struktur yang paling bawah untuk bersiaga mendata bila ada warganya yang riwayat terakhirnya perjalanannya berada di daerah zona merah.*

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadharma Jakarta