Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Pola Pergerakan HTI Setelah Dibubarkan Pemerintah
Oleh : Opini
Sabtu | 25-04-2020 | 12:36 WIB
hti-dibubarkan.jpg Honda-Batam
Ilustrasi pelarangan HTI di Indonesia. (Foto: Detik.com)

Oleh Iqbal Fadillah

SURAT edaran Pemprov Jabar yang mencantumkan nama organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam upaya penanggulangan Covid-19 menuai kontroversi.

Dikutip dari suarajabar.id, dalam surat bernomor 443/1799/Pemkasm yang dikeluarkan 6 April 2020 ditandatangani oleh Sekda sekaligus Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jabar, menerangkan Pemprov Jabar mengajak organisasi masyarakat untuk bahu membahu menanggulangi Pandemi Covid-19.

Dan dalam lampirannya, tertulis Pimpinan/Ketua DPD HTI Jabar sebagai salah satu penerima surat tersebut bersama pimpinan organisasi lainnya.

Pemprov Jabar telah mengklarifikasi sekaligus meminta maaf menanggapi hebohnya surat yang mencantumkan nama HTI dalam upaya penanggulangan Pandemi Covid-19, bahwasanya ada kekeliruan dalam penulisan lampiran surat tersebut.

Sekda Jabar, Setiawan Wangsaatmaja meminta masyarakat untuk tidak mempermasalahkan hal itu kembali.

Pemerintah Indonesia melalui penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 secara resmi menyatakan sikap membubarkan Ormas yang mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setiap Ormas yang berniat mengancam eksistensi NKRI, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan melalui jalur hukum. Meskipun HTI adalah organisasi kemasyarakatan yang mendapat persetujuan legalitas Keputusan Menkumham Nomor : AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan badan hukum perkumpulan HTI.

Setidaknya ada tiga alasan Pemerintah membubarkan HTI, yakni : 1) Sebagai Ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

2) Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

3) Aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI.

Namun, dalam konteks pembubaran HTI, tantangan sesungguhnya dari Pemerintah Indonesia adalah memastikan ideologi Khilafah ikut terkubur seiring pembubaran organisasi tersebut.

Pembubaran HTI tidak sama dengan upaya menghapus paham yang dianggap Pemerintah sebagai ajaran radikal serta tidak langsung membubarkan seluruh aktivitas kegiatan HTI.

Bagi Hizbut Tahrir, bergerak di bawah larangan Negara bukan hal baru dan di sejumlah Negara lain seperti Mesir, Turki, Bangladesh, dan Pakistan, Hizbut Tahrir mampu bertahan meski dilarang dan bahkan meskipun para Tokoh Hizbut Tahrir di Negara tersebut ditangkap, tetapi mereka bertahan melalui kampanye di media dan pertemuan-pertemuan tertutup.

Terbukti di Indonesia, gerakan dakwah HTI pasca dibubarkan oleh Pemerintah masih tetap eksis, melalui berbagai kegiatan secara tatap muka maupun virtual melalui jejaring sosial maupun channel youtube, meskipun secara terbuka tidak mengedepankan lambang dan logo HTI, seperti penyebaran buletin Kaffah yang disinyalir merupakan buletin Eks-HTI pengganti buletin Al-Islam milik HTI.

Selain itu, kajian-kajian Khilafah melalui jejaring sosial masih aktif dilakukan oleh para anggota Eks HTI. Bukti lain HTI masih eksis adalah konsolidasi dengan Ormas Islam lain, dan memanfaatkan momentum Pilkada Serentak 2018, guna menggalang kekuatan menolak Perppu Ormas, serta memunculkan perspektif kepada masyarakat bahwa Eks-HTI diterima di kalangan Ormas Islam lainnya.

Hal tersebut yang menjadi tugas lanjutan dari langkah awal pembubaran, yang jelas jauh lebih sulit, karena membubarkan organisasi tak sama dengan upaya menghapus paham yang dianggap Pemerintah sebagai ajaran radikal.

Bagaimana konstruksi gerakan Islamisme HTI pasca pembubaran oleh Pemerintah dan upaya mengantisipasi gerakan dakwah Khilafah Islamiyah oleh HTI yang semakin tertutup pasca pembubaran oleh Pemerintah.

Islam dan Islamisme merupakan dua istilah yang berbeda. Islam adalah sebuah keyakinan, Sedangkan islamisme adalah politik keagamaan (Tibi, 2016:1). Islamisme merupakan sebuah pemahaman yang ditanamkan oleh sekelompok orang yang mengganggap Islam sebagai sebuah ideologi.

Secara historis latar belakang munculnya pandangan tersebut salah satunya karena tertanamnya semangat permusuhan antara Islam dan barat, yang mengakibatkan munculnya reaksi terhadap hal tersebut.

Kelompok Islamisme memperluas konseptual pemahamannya dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengatur semuanya, baik itu politik, sistem hukum, perekonomian, hingga kebudayaan dan pendidikan.

Cita-cita gerakan Islamisme adalah meraih kemerdekaan dan menegakkan Negara Islam (Daulah Islamiyah) dengan menerapkan hukum syariat Islam.

Ciri mendasar gerakan Islamisme ditandai dengan pemahaman bahwa setiap Muslim yang baik tidak hanya menjalankan shalat lima waktu, tetapi harus ada aplikasi terhadap kehidupan politik, sosial bahkan militer (Fealy, 2007:27).

Salah satu gerakan Islamisme yang tumbuh dan berkembang subur di kalangan umat Islam dengan pemberlakuan syariat di bawah suatu kekhalifahan global adalah Hizbut Tahrir.

Disamping itu, eksistensi ajaran dan ideologi HTI yang masih dihidupkan dan dikembangkan oleh para suporternya jelas akan membahayakan eksistensi negara hukum di Indonesia.

Negara hukum adalah konsep baku yang selalu saja mengalami simplifikasi makna menjadi dalam Negara berlaku hukum. Padahal filosofi Negara hukum meliputi pengertian, ketika Negara melaksanakan kekuasaannya, maka Negara tunduk terhadap pengawasan hukum.
Artinya, ketika hukum eksis terhadap Negara, maka kekuasaan Negara menjadi terkendali dan selanjutnya Negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).

Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan Negara tidak memadai, pengertian substantif Negara hukum akan terperosok ke dalam kubangan lumpur Negara yang kuasa. Jika kondisi demikian berlangsung terus, maka Negara itu lebih tepat disebut sebagai Negara dengan nihilnya hukum.

Dalam Negara seperti ini bila dipandang secara kasat mata memang terdapat seperangkat aturan hukum. Tetapi hukum itu tidak lebih dari sekedar perisai kekuasaan yang membuat kekuasaan steril dari hukum dan melahirkan Negara yang semata-mata dikendalikan oleh kekuasaan.

Lihat, Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, cet. I, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hal 55.

Inilah bahaya mendalam keberadaan eks HTI, disamping dapat menggerus kepercayaan dan kesetiaan rakyat Indonesia dari ideologi Pancasila.*

Penulis adalah peneliti POLKASI Jakarta