Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menganalisa Dampak Penundaan Pilkada Serentak 2020
Oleh : Redaksi
Jumat | 24-04-2020 | 14:38 WIB
pilkada-serentak-2020.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi PIlkada Serentak 2020. (Foto: Ist)

Oleh Nur Alim, MA

PILKADA serentak 2020 kabarnya akan diundur pada Desember 2020 akibat Pandemi Covid-19, atau mundur selama 3 bulan dari jadwal yang seharunya dilaksanakan pada September 2020.

Menurutnya Ketua KPU Pusat, Arief Budiman, pada video confrence tanggal 29/03/2020, opsi ini dipilih melihat situasi bangsa yang tidak menentu karena dampak dari pandemi Covid-19.

Dalam tahapan pemilihan tersebut, ada empat tahapan yang akan mengalami dampak pengunduran ini. Keempat tahapan itu yakni pelantikan PPS, verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, perekrutan petugas pencocokan penelitian (coklit), dan perekrutan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP).

Meskipun demikian, KPU secara keseluruhan tidak memiliki wewenang penuh terhadap pengunduran pemilihan dan tahapan pemilihan, karena itu merupakan wewenang Pembuat UU dan masih perlu kordinasi dengan Mendagri dalam memutuskan pengunduran Pilkada.

Oleh sebab itu, perlu adanya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar kebijakan pengunduran Pilkada 2020 memiliki payung hukum yang jelas.

Dalam situasi seperti ini, Presiden sebagai kepala negara memiliki wewenang mengambil keputusan karena dalam situasi yang genting dan memaksa. Sebagaimana disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 PUU/VIII/2009 tentang syarat untuk dapat dikeluarkannya Perppu.

Perppu juga berfungsi sebagai pegangan hukum alternatif bagi KPU dalam menjalankan tugas sebagai panitia pemilihan.

Selaras dengan itu, Mendagri Tito Karnavian sudah memerintahkan jajarannya untuk segera berkordinasi dengan kementerian terkait, utamanya dengan Sekretariat Negara untuk memulai penyusunan Perppu Pilkada 2020 sebagai perubahan atas UU 10/2016 yang mengatur Pilkada 2020.

Selain itu, pemerintah pusat juga perlu meninjau ulang SK Kepala Daerah yang akan habis di tahun 2020. Opsi yang bisa dilakukan adalah melakukan perpanjangan SK atau menyiapkan Pejabat Pelaksana Tugas sementara untuk menjalankan tugas kepala daerah.

Hal ini dilakukan untuk meminimalisir masalah-masalah yang akan muncul karena tidak adanya kepastian hukum yang melegitimasi status kepala daerah dan bisa jadi membuat birokrasi mengalami kebingungan.

Tidak hanya itu, partai politik pasti akan bergerak untuk menuntut kepala daerah dan pemerintah pusat untuk menindak SK Kepala Daerah karena dianggap bermasalah secara administrasi.

DPR RI dan Mendagri juga perlu memerhatikan kekosongan kepemimpinan kepala daerah yang akan muncul jika memang tidak opsi perpanjangan SK. Karena ketika tidak ada perpanjangan SK maka akan ada kekosongan kepemimpinan dan akan menghambat kinerja birokrasi.

Oleh karena itu dalam tiga bulan ini harus ada kepastian hukum agar kinerja yang bersinggungan langsung dengan pelayanan masyarakat.

Jangan sampai pelayanan masyarakat berhenti karena kepastian hukum yang belum ada soal opsi pergantian kepala daerah atau perpanjangan SK, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 yang merongrong banyak lini kehidupan masyarakat.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya tiga pilihan tanggal yang bisa digunakan sebagai hari pemungutan suara. Hal ini disampaikan oleh Arief Budinman setelah berkordinasi dengan Komisi II DPR dan Mendagri.

Opsi pertama pada 9 Desember 2020 dengan masa penundaan selama 3 bulan. Opsi kedua 17 Maret 2021 dengan penundaan 6 bulan. Opsi ketiga 29 September 2021 dengan penundaan 1 tahun lamanya. Namun opsi pertama yang dipilih dan bisa saja menjadi opsi yang diprioritaskan apabila kondisi pandemi Covid-19 berangsur pulih.

Selain itu, penundaan Pilkada 2020 ini juga akan berdampak pada rekrutmen petugas ad hoc pemilihan kepala daerah. Dampaknya bisa saja dengan perekrutan yang akan ditunda dan pemberhentian sementara kinerja petugas ad hoc serta tidak adanya honor yang akan diberikan karena tugas yang belum dijalankan.

Namun, tentu ada dampak konsekuensi dari penundaan pilkada serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tersebut. Penundaan bakal berimbas kepada anggaran yang telah digelontorkan dan kondisi sumber daya manusia (SDM) dari penyelenggara.

Sebenarnya pemerintah bisa saja menghemat anggaran negara dengan tidak memberikan atau menunda pemberian honor sejumlah yang telah diputuskan di surat keputusan.

Cukup negara hanya memperioritaskan anggaran setiap daerah dengan membayarkan kegiatan yang sudah dilakukan oleh KPU ditiap-tiap daerah.

Sisa anggaran lainnya bisa digunakan untuk mempersiapkan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 selesai atau bisa direlokasi ke anggaran bantuan penanggulangan pandemi Covid-19.

Apalagi ada prediksi yang mengatakan bahwa pandemi ini baru selesai paling cepat di bulan September 2020 dan paling lama bulan Januari 2021. Sehingga, bisa saja aktivitas KPU, khususnya perekrutan tenaga ad hoc dan tahapan pemilihan baru bisa dijalankan di tahun 2021.

Jika dicermati, keputusan penundaan Pilkada adalah keputusan terbaik agar konsetrasi negara tidak terbagi. Di situasi seperti saat ini, negara harus fokus pada penanganan Covid-19 yang konfirmasi positifnya sudah mencapai angka 6.000 lebih.

Jika konsentrasi terbagi, bisa saja kinerja KPU dan Pemerintah banyak yang terabaikan dan hasil kinerja yang dilakukan pemerintah bisa saja tidak menuai hasil maksimal.

Oleh sebab itu, penulis menilai pemerintah perlu untuk membuat Perppu sebagai acuan pengunduran Pilkada 2020 agar penanggulangan Covid-19 bisa dijalankan secara maksimal.

Karena diakui atau tidak, kunci pengunduran Pilkada 2020 terletak pada payung hukum yang melegitimasi dan hal inilah yang harus diprioritaskan oleh pemerintah serta pembuat undang-undang saat ini hingga beberapa waktu kedepan.*

Penulis adalah pemerhati politik dan pemerintahan, menetap di Kota Malang, Jawa Timur