Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Antara Omnibus Law dan Mayday 2020
Oleh : Opini
Senin | 20-04-2020 | 13:48 WIB
may-day2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi aksi demo May Day. (Foto: Ist)

OMNIBUS Law yang sejatinya hendak menjadi penyederhana regulasi saat ni sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020. Omnibus Law merupakan salah satu dari program unggulan Pemerintahan Joko Widodo yang awalnya diinisiasi untuk menindaklanjuti peraturan yang menumpuk satu dengan lainnya (hiper regulasi). Sasarannya adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun di beberapa pihak, Omnibus Law tak ayal dipandang akan menimbulkan sebuah ketidakpastian hukum yang menyulitkan beberapa pihak pelaku ekonomi, terutama kelompok tenaga kerja.

Ini yang dirasakah oleh kelompok buruh, yang kemudian berniat tetap melakukan aksi unjuk rasa pada 30 April 2020, tanpa mempedulkan pandemik korona yang sedang terjadi.

Mereka membawa isu Omnibus Law bersama dengan penyataan sikap untuk menolak PHK, pemberlakuan upah dan THR penuh meskipun terjadi perumahan karyawan. Presiden KSPI Said Iqbal bahkan mengatakan akan secara hukum menuntut judicial formil ke Mahkamah Konstitsional untuk membatalkan semua isi dari Omnibus Law, bukan hanya pasal-pasal tentang ketenagakerjaan.

Apakah kekhawatiran tentang Omnibus Law benar-benar patut kita jadikan sebagai momok yang mencegah pembangunan ekonomi Indonesia? Mari kita perhatikan beberapa pasal yang sebenarnya memberikan dampak positif pada negara.

Peningkatan Investasi

Penerapan omnibus law akan memberikan kepastian hukum kepada investor. Sebab, patut diakui, saat ini aturan-aturan terkait perizinan belum selaras. Ada berbagai jenis perizinan yang dikeluarkan pemerintah pusat, tapi ada juga perizinan yang dikeluarkan pemerintah daerah.

Masalahnya bukan saja pada banyaknya perizinan, tapi tidak selarasnya antara perizinan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu, istem perizinan di Indonesia masih memungkinkan terciptanya peluang aparat untuk menundanunda keluarkan izin, sehingga menyuburkan praktik suap. Apabila tidak diambil langka, maka investor yang sudah berinvestasi di Indonesia akan hengkang dan masuk ke negara lain yang memberikan banyak kemudahan. Sebut saja misalnya Vietnam, Malaysia, dan Thailand.

Perlindungan Upah Buruh melalui Pengaturan Jenis Upah

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan disinformasi terkait Omnibus Law, salah satunya adalah penghilangan upah minimum. Omnibus Law justru mengenalkan program jaminan kehilangan pekerjaan.

Program itu mencakup pemberian uang saku, pelatihan vokasi, dan jaminan atau akses penempatan. Poin-poin baru tersebut justru belum diatur dalam UU no. 13 tentang Ketenagakerjaan.

Selain itu, tenaga kerja lokal pun tidak perlu khawatir dengan serangan gelombang tenaga kerja asing, karena Omnibus Law tidak mempermudah rekrutmen tenaga kerja asing tanpa adanya perlindungan tenaga kerja lokal.

Di dalam RUU, dijelaskan bahwa TKA hanya diberikan untuk jabatan tertentu yang sesuai ahlinya, sehingga ada transfer of knowledge kepada pekerja lokal.

Masa istirahat pekerja pun diatur dalam Omnibus Law. Dalam pasal 79, dinyatakan bahwa perusahaan harus mengatur libur dan waktu istirahat pekerja, bukan hanya mengatur mengenai cuti tahunan saja.

Pekerja mendapatkan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu dan istirahat antar jam kerja minimal setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus. Istirahat ini tidak termasuk jam kerja.

Optimis Menyambut Omnibus Law

Melihat beberapa sisi positif Omnibus Law, rasanya kita harus menggali lebih dalam lagi pasal demi pasalnya sebelum menyampaikan kontra pendapat atas apa yang sedang diupayakan Pemerintah demi ekonomi nasional melalui Omnibbu Law. Namun, ini juga tidak berarti mengebiri hak buruh untuk beraspirasi.

Hari Mayday di tahun 2020 memang terasa tidak sama dengan tahun-tahun lalu, bukan hanya karena adanya pandemik korona yang menyebabkan ruang gerak tenaga kerja semakin sempit, namun juga tentang perjalanan ratifikasi Omnibus Law yang terus dikebut di DPR.

Buruh memiliki haknya untuk menyalurkan aspirasi, terutama yang berkaitan dengan hak ketenagakerjaan dalam Omnibus Law, namun sebelum melakukan aksi, ada baiknya dipelajari lebih mendalam lagi makna keberadaan Omnibus Law ini dan tdak bersikap gegabah tetap melakukan aksi di tenga kebijakan physical distancing dari Pemerintah.

Menciptakan kerumunan massa di massa seperti ini tidaklah bijak, bukan hanya baik kaum buruh, namun juga bagi masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sedang melawan penyakit global yang sudah menjadi pandemik.*

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana di Bogor