Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Urgensi Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU Ciptaker
Oleh : Opini
Senin | 13-04-2020 | 09:08 WIB
gedung-dpr-ri1.jpg Honda-Batam
Gedung DPR RI di Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh Mubdi Tio Thareq

BALEG DPR RI akan membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk memberikan masukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker). Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai NasDem Willy Aditya menyatakan Baleg akan melakukan uji publik.

Sehingga bisa menjadi fasilitator yang baik dari pemerintah yang ingin menerapkan basis demokrasi ekonomi dengan kemudahan perizinan dan aspirasi dari serikat pekerja.

Willy mengakui adanya kekhawatiran publik tentang keterbukaan pembahasan RUU yang mengadopsi skema omnibus law itu. Dalam tiga hari belakangan, ia mendapat sekitar 10 ribu pesan singkat dan pesan Whatsapp. “Kami mendapatkan pesan terkait adanya penolakan RUU Ciptaker.

Ini yang akan kami dialogkan, Baleg tidak kucing-kucingan. Partisipasi publik akan dilibatkan,” ucap Willy dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (9/4/2020).

NasDem, menurut Willy, mengusulkan klaster ketenagakerjaan dipisahkan dari omnibus law yang dimaksudkan untuk memacu investasi itu. Meski begitu, bila klaster ketenagakerjaan tetap dibahas dalam RUU Ciptaker, ia memastikan kalangan buruh akan dilibatkan untuk dide ngarkan pendapatnya.

Di kesempatan berbeda, Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda mengibaratkan DPR menaikkan 'penumpang gelap' di tengah status darurat kesehatan. Pasalnya, DPR berkukuh membahas RUU bermasalah, khususnya RUU Ciptaker, Rancang an UndangUndang Hukum Pidana (RKUHP), dan RUU Pemasyarakatan.

"Penyelundupan hukum mungkin terjadi dan berpotensi menghasilkan aturan yang melenceng dari konstitusi yang dapat merugikan publik secara luas," tutur Violla dalam konferensi video bersama sejumlah aktivis LSM lainnya.

DPR diminta lebih fokus pada penanganan wabah covid-19 dan pengawasannya. Violla mencontohkan legislatif Taiwan yang menyusun dan mengesahkan Special Act on Covid-19 Prevention, Relief, and Restoration. Undang-undang itu memberikan dasar hukum pendanaan khusus penanganan virus corona sebesar US$1,97 miliar.

Partisipasi Publik

Adam Grant dalam bukunya Give and Takes (2013) mengatakan, pendekatan revolusioner agar pemimpin sukses dan efisien harus didasarkan pada konsep giving dan receiving serta keduanya harus digunakan dua arah karena, "siapapun yang memiliki kebiasaan memberi, selain menerima akan memiliki jaringan hubungan solid dan dapat dipercaya dan karena itu akan mendapatkan kesuksesan yang lebih besar".

Mengutip pendapat Grant diatas, maka jelas bahwa partisipasi publik diperlukan untuk kesuksesan dan efisiensi, dimana hal ini cocok diterapkan dalam pembahasan sejumlah RUU di DPR RI dalam Prolegnas 2020-2024 terutama sejumlah RUU krusial dan strategis seperti RUU Ciptaker, RUU Penyadapan dan RUU revisi UU Otsus Papua.

Dibukanya partisipasi publik dalam setiap pembahasan di DPR RI dan pembuatan kebijakan oleh pemerintah jelas akan semakin memperbaiki mutu demokrasi Indonesia yang masih dinilai kurang baik, sebab Indonesia pernah menduduki peringkat baik dalam hal demokrasi pada kurun waktu 2005-2013.

Lembaga penelitian independen Freedom House menyematkan predikat negara bebas (free) kepada Indonesia, sejajar dengan Australia, Finlandia, Kanada, dan negara maju lainnya.

Sayangnya, peringkat itu merosot sejak 2014-2018, sehingga kini Indonesia hanya mendapat status "setengah bebas" (partly free). Artinya, dalam aspek hak politik dan kebebasan sipil, Indonesia mengalami penurunan dan butuh banyak perbaikan. Data Transparency International (2018) menunjukkan Indonesia masih menempati peringkat 89 dari 180 negara.

Disamping itu, dibukanya partisipasi publik juga meminimalisir dampak negatif seseorang dalam menjalankan kekuasaannya seperti di kemukakan oleh Montesuie, Lord Acton dan Mouirie Travali.

Montesquie, dalam tulisannya Le Esprit Des Lois, yang kemudian diterjemahkan dalam judul The Spirit of Law, menjelaskan bahwa orang berkuasa cenderung memiliki tiga hal yakni pertama, kecenderungan mempertahankan kekuasaan.

Kedua, kecenderungan memperbesar kekuasaan, dan ketiga, kecenderungan memanfaatkan kekuasaan. Relasi kekuasaan dan korupsi ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersandingan satu dengan yang lainnya.

Sementara itu, Lord Acton semasa hidupnya pernah mengeluarkan diktum "power tend to corrup, dan absolute power corrupts absolutely", dan sampai detik ini diktum tersebut semakin kuat terbukti.

Sedangkan, "teruslah bertanya supaya negara tetap terjaga”, demikian pernyataan Mouirie Travali yang hakikatnya meminta setiap elemen bangsa untuk tidak membisukan diri saat menyaksikan ada segolongan pilar negara sedang kehilangan komitmen terhadap tugas dan kewajiban negara.*

Penulis adalah pengamat politik dan kolumnis di beberapa media massa