Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hadapi Corona, Perlukah Indonesia Menerapkan Lockdown?
Oleh : Opini
Kamis | 19-03-2020 | 14:04 WIB
ilustasi-lockdown.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi lockdown. (Foto: Ist)

Oleh Mubdi Tio Thareq

"TEROR" mewabahnya virus corona sudah terjadi di 162 negara dengan korban tewas mencapai lebih dari 71.000 orang. Di Amerika Serikat, ada lebih dari 6.000 kasus Covid19 di 50 negara bagian.

Kemudian, Rusia mengonfirmasi di wilayahnya ditemukan 114 kasus Covid19 seperti dilaporkan Jhon Hopkins University. Sementara di Hongkong yang berpenduduk 7 juta jiwa ditemukan 170 kasus dengan 5 kematian termasuk dilaporkan ribuan orang lainnya terinfeksi.

Untuk mencegah mewabahnya 'eeror' tersebut beberapa negara telah menerapkan kebijakan lockdown. Amerika Serikat melakukan sejumlah langkah agar tidak terjadi kejatuhan ekonomi atau economic fallout.

Malaysia menyatakan melakukan lockdown selama dua pekan untuk menghentikan laju infeksi virus corona di negara tersebut. Keputusan lockdown itu diumumkan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin, Senin (16/3/2020).

Sedangkan pemberlakuan lockdown efektif mulai Rabu (18/3/2020) hingga 31 Maret 2020. Kemudian, China menerapkan karantina terbesar dalam sejarah manusia saat meredam grafik peningkatan virus corona.

Sebanyak 16 kota lalu berkembang menjadi 20 provinsi ditutup sejak akhir Januari 2020. Media CNN menganalisis pada pertengahan Februari, setengah dari populasi China, sekitar 780 juta, mengalami pembatasan perjalanan.

Setelah terjadi lonjakan pasien virus corona di Italia, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memberlakukan status lockdown pada 10 Maret 2020. Kebijakan itu menempatkan 60 juta warga Italia dalam kuncian.

Sayangnya, sebelum aturan lockdown betul-betul diberlakukan, beberapa jam sebelumnya belasan ribu warga dilaporkan kabur terlebih dulu menghindari karantina.

Aturan karantina di Italia semakin diperketat melihat jumlah infeksi dan korban meninggal yang masih tinggi. Warga yang keluar rumah tanpa izin yang jelas dapat didenda 206 euro.

Denmark Pemerintah Denmark menutup perbatasannya mulai 14 Maret hingga 14 April 2020. Pembatasan itu dalam upaya mencegah penyebaran penyakit. Kemudian, Irlandia memulai lockdown pada Kamis (12/3/2020) hingga 29 Maret 2020.

Spanyol Pemerintah Spanyol memerintahkan 47 juta penduduknya untuk tinggal di rumah mereka selama setidaknya 15 hari sejak 15 Maret 2020.

Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe mengumumkan pada hari Sabtu (14/3/2020) bahwa negaranya memberlakukan lockdown untuk memerangi penyebaran virus corona. Dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Philippe mengatakan bahwa mulai Sabtu tengah malam, semua tempat termasuk restoran, kafe, bioskop dan klub, akan ditutup.

Kebijakan karantina nasional juga diberlakukan di El Salvador, Polandia, Selandia Baru, Australia, Peru, Maroko, Kenya, Puerto-Rico dan Repubik Ceko.

Untuk diketahui bahwa lockdown diambil dari bahasa Inggris, artinya adalah terkunci. Jika dikaitkan dalam istilah teknis dalam kasus Corona atau COVID-19, arti lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara. Tujuan mengunci suatu wilayah ini agar virus tidak menyebar lebih jauh lagi.

Jika suatu daerah dikunci atau di-lockdown, maka semua fasilitas publik harus ditutup. Mulai dari sekolah, transportasi umum, tempat umum, perkantoran, bahkan pabrik harus ditutup dan tidak diperkenankan beraktivitas. Aktivitas warganya pun dibatasi. Bahkan ada negara yang memberlakukan jam malam.

Ketika virus Corona menyebar di kota Wuhan, Cina, pemerintah setempat memberlakukan kebijakan lockdown, disusul kota-kota lainnya di Cina yang penyebaran virusnya begitu massif. Sementara di Eropa, Italia jadi negara yang menerapkan kebijakan lockdown setelah penyebaran virus Corona di sana meningkat tajam dan menjangkiti ribuan orang.

Meskipun begitu, tidak semua negara mengunci wilayahnya setelah penyebaran virus Corona masuk ke wilayahnya. Korea Selatan memilih tidak mengunci wilayahnya, namun mengambil kebijakan lain untuk mencegah penyebaran virus Corona. Begitupula dengan Indonesia, pemerintah menilai opsi tersebut belum dibutuhkan untuk saat ini.

Tidak Perlu Lockdown

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan karantina wilayah atau lockdown merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dia tidak ingin ada daerah yang secara sendiri-sendiri menetapkan status lockdown.

Tito menegaskan pemerintah daerah harus melakukan konsultasi dengan gugus tugas percepatan penangana virus corona yang dikepalai oleh Kepal BNPB Doni Monardo, apabila mau melakukan ataupun mempertimbangkan lockdown.

Menurut Tito lockdown harus tetap mempertimbangkan aspek ekonomi. Hal tersebut menurutnya berkaitan langsung dengan masalah moneter dan fiskal yang merupakan urusan pemerintah pusat.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Edhie Purnawan menyampaikan pendapatnya terkait persoalan tersebut.

Menurut Edhie, beberapa hal perlu diperhatikan jika Indonesia memutuskan lockdown atau mengunci/isolasi wilayah yaitu kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, sehingga tidak terjadi kelangkaan di pasar, toko tradisional, toko modern, dan supermarket.

Kemudian jika melihat UU Nomor 6/2018 mengenai Karantina, persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menetapkan status darurat kesehatan nasional dan memberlakukan karantina/isolasi, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, hingga karantina wilayah.

Pasal 53, 54, dan 55 UU tersebut mengamanatkan jika dilakukan karantina wilayah (lockdown), maka persyaratannya harus terjadi penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. Syarat ini sudah terpenuhi.

Lockdown sendiri memang berimplikasi pada terhentinya kegiatan ekonomi. Dampaknya, negara harus bersiap dari sisi ekonomi, seperti memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan pokok di wilayah yang di-lockdown. Sektor-sektor yang mengandalkan teknologi tradisional akan terkena dampak paling buruk.

Peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi Indonesia bisa terkena krisis ekonomi apabila Jakarta diisolasi, sebabnya 70% pergerakan uang dalam perkonomian nasional berada di Jakarta. Akan sangat beresiko bila aktivitas perekonomian di Jakarta lumpuh karena melakukan lockdown di Jakarta.

Belum lagi pasokan bahan baku pokok bagi masyarakat Jakarta akan terhambat, utamanya pangan. Sejauh ini, menurut Bhima, Jakarta mengandalkan pasokan pangan dari luar daerah.

Sementara itu Jakarta juga menyumbang 20% angka inflasi nasional. Kalau barang langka di Jakarta dan berujung pada kenaikan harga secara lokal, maka angka inflasi nasional bisa saja terkerek hingga 6%.

Sedangkan, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menambahkan, jika terjadi lockdown di Jakarta akan memberikan hantaman keras bagi pekerja sektor informal.

Dia menyebut banyak masyarakat kecil penjual makanan ringan akan menjadi yang pertama kehilangan pendapatan. Itu sebabnya jika lockdown terjadi, pemerintah harus menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal.

Untuk itulah, penulis sepakat pemerintah tidak perlu melakukan lockdown, karena sudah ada tanda-tanda masyarakat semakin meningkat kewaspadaannya menghadapi wabah Covid19, dan terus terang saja masyarakat Indonesia dan kondisi negara Indonesia belum siap jika di lockdown.*

Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia dan Peneliti Polkasi Jakarta.