Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mungkinkah Masifnya Dampak Virus Corona Tanda Bentuk Perang Dunia Ketiga?
Oleh : Redaksi
Rabu | 04-03-2020 | 14:40 WIB

Oleh: Agung Elisa Hermawan)*

VIRUS CORONA yang dimulai dari tiitk awal kota Wuhan, kota yang dikenal sebagai pusat pengembangan Sains dan Teknologi terbaik di dunia berada di negara Tiongkok (RRC), menyebar dengan cepat ke sejumlah negara.

TIBA-TIBA bisa muncul juga di Iran dan hampir semua negara adidaya (kekuatan ekonimi dunia) dan kini muncul di Indonesia. Meskipun peristiwa ini di nyatakan sebagai bencana dunia oleh WHO dan merupakan Bencana Kemanusiaan, tetapi marilah kita bersama-sama telaah pelajaran apa yang bisa kita dapat dari peristiwa ini.

Pada era pengembangan teknologi dan masifnya dampak media sosial di era Milenial generasi 4.0 atau generasi selanjutnya 5.0 hingga 9.0, peralatan militer,senjata dan bentuk dampaknya fisiknya (kasat vmata) mulai bergeser, tetapi benang merah strategi perangnya tidak berubah.

Pada dunia modern era medsos dan teknologi senjata atau peralatan militer tidak terpaku pada senjata berat (alutsista). Ternyata senjata biologi yang sudah puluhan tahun kita tonton dalam film fiksi ilmiah, mulai menunjukkan wujud dan polanya.

Disengaja atau tidak kita tidak akan pernah melihat dengan kasat mata, bagaimana bentuk senjata biologi ini dan sulit untuk memprediksi dari mana datang dan dimana mulainya,

Kejadiannya tiba-tiba dan langsung masif, Cara kerjanya seperti serangan pasukan penembak gelap yang menyerbu tiba-tiba. Pada serangan penembak gelap pasukan yang waspada dan solid akan tetap bisa bertahan dan balik menyerang jika memahami situasi, pengenalan medan dan sejumlah elemen penting lainya yang tentu telah dipersiapkan dengan baik pada latihan perekrutan pasukan.

Perhatikan apa yang terjadi pada dampak masifnya virus Corona.

Virus corona datang dengan tiba-tiba, tetapi sebelum virus ini muncul, berbagai upaya perang Proxy / Opini telah dilakukan dengan masif, perang awal dilakukan tanpa terlihat kasat mata tetapi dampaknya sangat mengejutkan.
Tahap awal sebagai pasukan pembuka, yang dilakukan adalah menanamkan” kekwatiran” dalam pikiran bawah sadar publik dengan berbagai bentuk disuatu/wilayah negara termasuk indonesia, kemudian ditingkatkan menjadi 'ketakutan' sebagai upaya penguasaan opini publik, rumus ini oleh ahli psikologi disebut sebagai 'Panic Buying'

Saat publik telah dikuasi penuh maka tindakan publik yang terpapar 'Panic Buying' ini akan berdampak pada seluruh sektor dan sulit dikendalikan.

Perhatikan peristiwa demo massal di Natuna, wilayah kecil di pulau yang jauh dari kota besar dan minimnya akses transportasi, jika merujuk pada perang fisik tentu pulau ini tak mudah dikuasai atau di intervensi asing karena saat ini sejumlah instrumen pertahanan telah cukup lengkap, tetapi menghadapi perang era digital Natuna ternyata bisa kita jadikan contoh bagaimana perang baru ini bisa berdampak menjadi Bencana Sosial atau Bencana Kemanusiaan.

'Kepanikan publik/ histeria massa' merupakan perwujudan dari 'Panic Buying' yang berhasil menguasai publik di Natuna, dari semua lini.

Rumus yang bisa kita baca dari jejak digital kita bisa melihat polanya :

1. Menimbulkan kekawatiran

Ribuan jejak digital kita bisa melihat pola menanam 'kekawatiran' pada publik, melalui media medsos dan sejumlah group pertemanan baik Facebook dan whattsap. Bentuknya bisa narasi, vidie pendek, atau status copy paste yang dengan sukarela disebarkan publik menjadi 'Viral'. Silahkan cek jejak digital dimulai tanggal 31 Januari 2020 ke belakang.

Polanya tebarkan kekawatiran dalam berbagai bentuk untuk turunkan kepercayaan publik kepada otoritas Negara, (pemerintah dan instrumen negara)

2. Meningkatkan menjadi 'ketakutan' jejak digital pertanggal 31 Januari itensitasnya mulai meningkat dengan cepat dan pub;ik mulai histeris masal, bentuk fisik yang terlihat adapah publik sudah mulai menghimpun diri , berlaku tidak realistis, dan panic . sangat sulit menerima penjelaan Realistis, umumnya pikirannya telah terblokade prasangka buruk, kondisi ini menunjukkan polanya/tandanya bahwa kekawatiran sudah meningkat eskalasinya menjadi menurunnya kepercayaan diri (individu) publik secara masal , hilangnya kepercayaan bukan saja kepada otoritas pemerintah dan instrumen negara tetapi lebih kepada kepercayaan diri masing masing. (kehilangan kesadaran diri massal).

3. Publik yang kehilangan kesadaran massa ini menjadi kehilangan kontrol diri, hingga dengan mudah dimanfaatkan oleh aktor yaag tidak kasat mata. Jika tidak tertangani dengan baik maka kan dengan mudah menjadi Bencana Sosial sekaligus Bencana Kemanusiaan yang memang menjadi target perang dunia ke 3/jenis perang baru era teknologi 4.0.

Natuna ternyata telah dijadikan atau tidak disengaja menjadi kasus uji coba perang modern 'Perang proxy dan biologi'.Alhamdulilah Pemerintah RI berhasil menangani situasi ini dengan baik.

Peran 'Kolaborasi Tim Kemanusiaan selama di Natuna' menunjukan bahwa pertahanan NKRI sangat solid dan berhasil melampoi fase serangan pembuka perang 'Proxy dan Biologi ini'.

Kita bisa belajar ketenangan /kewaspadaan jajaran Pemerintah RI dalam mengendalikan kepanikan massa dalam kasus ini, tentu bukan ujug-ujug atau tiba-tiba.

Berbagai kegaduhan sejak pilres pertama era Jokowi/Kalla hingga Jokowi Makruf dan hari ini telah menempa Seluruh instrumen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKI) siap dan terbukti sukses menghadapi perang, 'Proxi dan Biologi' pada fase ini.

Pola metode perang modern telah bergeser:

1. Sasaran utamanya bencana sosial dan bencana kemanusian yang akan memporak porandakan pertahanan ekonomi, pertahanan sosial, pertahanan budaya dan pertahanan instrumen sebuah Negara

2. Metodenya menggunakan media sosial dan jaringan komunikasi publik dengan menyebarkan kekawatiran, secara bertahap meningkat menjadi ketakunan, dengan bentuk mengikis kepercayaan publik kepada institusi negara hingga puncaknya, menurunkan kepercayaan publik kepada diri sendiri (kehilangan kendali diri secara massal) sehingga bisa dikuasai dan digerakkan sesuai target aktor/pengendali perang.

Saran :

1. Indonesia sudah waktunya membentuk pasukan siber (Siber Army) yang punya kemampuan mengendalikan informasi publik dan melakukan serangan proxi war berbagai bentuk tanpa mengabaikan kebebasan pers dan kekebasan menyatakan pendapat yang dijamin Konstitusi.

2. Pola serangan perang ini bisa di tangkal dengan memahami rumus pola alogaritma yang dianut semua aplikasi medsos modern.

3. Kerjasama teriintegrasi BNPB yang memikili kemampuan migitasi bencana (Pusdiklat Kebencanaan) , Mahkamah Konstiusi yang memiliki kemampuan pemahaman Konstitusi (Pusdiklat konstitusi) Negara, Kementerian Pertahanan yang diberi kewenangan negara menjalankan pendidikan pertahanan Semesta sesuai UU RI no 34 Tahun 2004, TNI dan Polri solid, dan seluruh Instrumen negara telah teruji dalam peristiwa ini. (Perhatikan pola kerja jaringan muda Nadhatul Ulama ( NU) dalam menhadapi serangan 'proxy war' kaum radikal, yaiutu dengan memperbanyak conten positif /dakwah para Kyai Nu melaui media digital).

Catatan :

1 : Dalam setiap bencana yang terpenting adalah 'Migitasi Bencana' hingga ditemukan pola pencegahan dan pola kewaspadaan dini, hingga ditemukan rumus sesuai kondisi guna meminimalisir korban jiwa akibat bencana sosial bencana sosial bencana kemanusiaan dalam bentuk fisik.

2 : Bentuk kepanikan publik atau 'Panic Buying' berbeda disetiap tempat. Panic buying di Natuna : publik dibuat tak sadar diri (lepas kendali diri) dengan stuasi hingga menganggap solusi termudah dari ketakutannya adalah usir WNI dari Wuhan yang datang di Natuna.

Untuk tingkat Nasional kepanikan publik secara tak sadar menbganggao sokusi ketakutannya adalah Masker Hijau sekali pakai. Sehingga panic buying menyebabkan kelangkaan dan harga melambung.

Untuk Jakarta kepanikan publik atau 'Panic Buying' menganggap bahwa solusi ketakutannya adalah sembako, Sehingga masyarakat berbondong bondong membeli sembako.

Tindakan 'Panic Buying' publik ini bisa berbeda beda disetiap wilayah. Maka solusimya adalah informasi pencerahan yang humanis seperti yang dicontohkan Kepala BNPB Letjen Doni Monardo berikut ini :

Pemakaian masker hijau sekali pakai bukan solusi satu satunya dalam mengahadapi Corona, sapu tangan ternyata juga sangat ampuh dan malah banyak keuntungannya untuk dijadikann masker. Selain harganya relatif murah, saputangan bisa di tetesi aroma terapy yang menyehatkan sehingga penggunanya aman dan nyaman.

Penulis adalah Direktur Kajian Kebijakan Publik pada lembaga Kajian Strategis NATUNA INSTITUTE