Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Deradikalisasi Menangkal Persebaran Paham Radikal
Oleh : Opini
Selasa | 03-03-2020 | 14:29 WIB
deradikalisasi2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi deradikalasi terorisme. (Foto: Ist)

Oleh Edi Jatmiko

PEMERINTAH Indonesia tidak pernah gentar untuk tetap memerangi gerakan radikal di Indonesia. Untuk itu, upaya deradikalisasi haruslah dilakukan secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir.

 

Radikalisasi yang terjadi di Indonesia sudah memberikan berbagai bukti akan keporak-porandaan dan kehancuran maupun permusuhan. Jika kita artikan, radikalisasi merupakan transfer cara berpikir untuk toleran terhadap kekerasan dengan tujuan tertentu.

Sehingga apabila ada yang menyebut nama Tuhan untuk menghancurkan sesama manusia, hal itu tidak dapat disebut dengan Jihad, melainkan wujud nyata dari radikalisme.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Allus menjelaskan, proses persebaran pikiran radikal tersebut dibagi menjadi 5 tahapan, yakni adanya pesan, pengirim, media, penerima dan konteks sosial.

Beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk mencegah paparan radikalisme di Indonesia diantaranya yaitu dengan menghidupkan kembali upacara bendera di sekolah dan instansi, memasang CCTV di seluruh tempat ibadah, sertifikasi bagi khotib, memasang CCTV di seluruh tempat ibadah dan adanya tes seleksi CPNS dan pegawai BUMN yang dapat mengindikasikan seseorang terpapar radikalisme dan terorisme.

Upaya penanggulangan radikalisme khususnya di dunia maya, tidak hanya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Generasi muda penerus bangsa dalam hal ini para pelajar juga memiliki peran penting. Karena bagaimanapun juga, generasi muda saat ini merupakan mayoritas pengguna sosial media.

Sehingga kampanye tolak radikalisme semestinya dilakukan secara sinergis oleh banyak pihak. Karena akar dari radikalisme tersebut tidak berdiri sendiri, tentu saja tidak bisa jika upaya deradikalisasi hanya dilakukan oleh 1 lembaga saja.

Sebelumnya, Wakil Presiden RI Maruf Amin mengatakan deradikalisasi terhadap warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan jaringan kelompok radikal bukanlah praktik yang mudah. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pertimbangan pemerintah dalam memutuskan untuk tidak memulangkan ratusan anggota ISIS eks WNI.

Menurut Maruf Amin, Melakukan deradikalisasi dari yang sudah terpapar paham radikal bukanlah sesuatu yang mudah, mengawal terpidana teroris yang ada di Indonesia saja tidak mudah. Oleh karena itu, lebih aman dan lebih mashlahat jika pemerintah memilih untuk tidak memulangkan anggota ISIS EkS WNI.

Apalagi mereka telah dengan sengaja menyobek pasport mereka, tentu saja secara simbolis hal tersebut menujukkan bahwa mereka telah menjadi eks WNI dan anti terhadap pancasila.

Salah satu upaya deradikalisasi dilakukan oleh Ali Fauzi seorang mantan perakit Bom dalam kelompok Jemaah Islamiyah, yang menjalani pelatihan militer di Filipina Selatan pada Pertengahan 90an.

Ali melakukan deradikalisasi bersama teman-temannya mulai tahun 2016. Ia juga menyebutkan di seputar tempat tinggalnya di pantai utara jawa khususnya Jawa Timur, terdapat puluhan orang yang berangkat ke Suriah dan Irak, sementara penangkapan anggota terkati JAD, masih terus berlangsung selama beberapa tahun terakhir.

Ia mengatakan, selama masih ada rekrutmen dan pelatihan, pasti ada aksi, perekrutan yang menurutnya berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya deradikalisasi.

Data dari BNPT juga menunjukkan bahwa saat ini ada sekitar 600 orang mantan narapidana terorisme (napiter) di Indonesia, dengan ratusan anggota keluarga mereka, termasuk anak istri yang diperkirakan juga dapat terpapar radikalisme.

Sementara dalam empat tahun terakhir, mantan napiter yang dinaungi oleh Yayasan Lingkar Perdamaian yang dipimpinnya masih dibawah 100 orang, termasuk mereka yang masih berada di balik jeruji besi karena keterkaitannya dengan JAD.

Selama ini Ali menggunakan pengalaman pribadinya dalam meninggalkan kekerasan untuk membujuk para mantan napiter agar meninggalkan pemikiran destruktif.

Selain itu, Ali Fauzi juga kerap mengikuti acara rutin yang diberi nama pengajian jalan terang. Dimana pengajian itu mempertemukan para korban ledakan bom seperti Bom Bali maupun Bom JW Mariot.

Dalam pertemuan tersebut, para napiter akan berkaca-kaca setelah mendengar kisah korban pengeboman, yang tidak hanya mengalami cedera fisik maupun psikis, tetapi juga harus kehilangan mata pencahariannya.

Tentu saja, upaya deradikalisasi juga bisa dilakukan kepada mereka napiter yang akan bebas dari hukuman atau kepada para napiter yang mendapatkan remisi. Harapannya kelak mereka dapat mengajak kawan-kawannya untuk menghilangkan pemikiran destruktif dan lebih toleran terhadap perbedaan.*

Penulis adalah pengamat sosial politik