Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Urgensi Pemulangan 600 WNI Kombatan ISIS dari Suriah
Oleh : Opini
Rabu | 05-02-2020 | 14:28 WIB
ilustrasi-isis.jpg Honda-Batam
Ilustrasi ISIS. (Foto: Ist)

Oleh Stanislaus Riyanta

WACANA pemulangan 600 WNI pendukung ISIS dari Suriah semakin kuat diperdebatkan. Hal ini terjadi pasca Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan memulangkan 600 warga negara Indonesia yang tergabug dalam ISIS dari Timur Tengah.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Fachrul Razi dalam acara deklarasi Organisasi Masyarakat Pejuang Bravo Lima di Ballroom Discovery Ancol Hotel, Taman Impian Jaya Ancol, Sabtu 1 Februari 2020.

Pada 2017 The Soufan Center menyebutkan ada 600 WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah, yang terdiri dari 113 perempuan, 100 anak-anak dan sisanya pria dewasa.
Selanjutnya pada 2018 BNPT menyebutkan terdapat 1.321 WNI yang berusaha bergabung dengan ISIS di Suriah. Jumlah tersebut tidak semua berhasil masuk ke Suriah. Sebagian dari mereka digagalkan di dalam negeri, dideportasi oleh negara transit seperti Turki, dan banyak pula yang berhasil memasuki Suriah dan bergabug dengan ISIS.

Jika dibandingkan maka jika jumlah WNI pendukung ISIS di Suriah dan sekitarnya saat ini adalah 600 orang cukup realistis.

Dari jumlah 600 WNI pendukung ISIS di Suriah tersebut sebagian besar diperkirakan adalah anak-anak dan perempuan yang menjadi pengungsi. Untuk pria dewasanya menjadi tahanan di otoritas setempat karena kasus terorisme.

Tidak semua dari 600 WNI tersebut adalah Foreign Terrorist Fighters (FTF), ada juga yang hanya simpatisan karena mengikuti suami atau keluarganya. Namun dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai ideologi radikal sehingga mau meninggalkan Indonesia untuk bergabung dengan kelompok trans nasioanal ISIS.

Terkait dengan wacana pemulangan 600 WNI pendukung ISIS tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pendukung ISIS dengan jumlah kira-kira 600 orang tersebut sudah meninggalkan tanah airnya untuk bergabung dengan kelompok teroris, yang sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Selain itu sebagian besar dari mereka juga sudah membakar dokumennya seperti paspor. Pembakaran paspor ini menjadi bukti bahwa mereka memang tidak niat untuk kembali ke Indonesia. Tentu sangat sulit untuk memulangkan mereka jika tidak mempunyai bukti-bukti kewarganegaraan, dan masalah yang bisa muncul adalah jika orang tanpa dokumen dipulangkan ke Indonesia maka rawan terjadi penyusupan yang dampaknya tentu akan menyulitkan pemerintah Indonesia.

Saat ini belum ada aturan atau prosedur yang jelas untuk menangani kasus seperti di atas. Jika pemerintah bisa melakukan pencabutan kewarganegaraan karena seseorang meninggalkan tanah air, dengan sengaja menghilangkan dokumen kewarganegaraan, dan bergabung dengan organisasi terlarang, tentu akan disambut baik oleh masyarakat.

Hal tersebut juga bisa menjadi bukti bahwa negara tidak memberikan toleransi terhadap warga negara yang terlibat dalam organisasi teroris trans nasional. Jika status pencabutan kewarganegaraan ini bisa dilakukan maka pemerintah tidak perlu repot untuk memulangkan 600 WNI pendukung ISIS di Suriah.

Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan, mengingat tekad kuatnya untuk bergabung dengan ISIS hingga rela meninggalkan tanah airnya, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang telah menjual harta bendanya di tanah air, belum tentu WNI pendukung ISIS tersebut mau untuk dipulangkan ke Indonesia.

Dengan kekuatan ideologinya, maka kemungkinan mereka untuk tetap bertahan di Timur Tengah hingga titik darah penghabisan cukup besar. Pemerintah tentu akan kesulitan untuk memulangkan orang yang tidak mau pulang.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah WNI pendukung ISIS tersebut bersandiwara dengan berpura-pura tidak radikal, mengaku hanya sebagai korban, atau memanipulasi perilaku lainnya hanya untuk menyelamatkan diri dari tekanan situasi yang berat di Suriah (Timur Tengah).

Dengan sikap itu mereka berharap dengan pertimbangan kemanusiaan dapat dipulangkan oleh pemerintah. Manipulasi ini adalah mekanisme survival mereka agar bisa selamat karena memang tidak sanggup lagi untuk menjalani kehidupannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka ada beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam menyikapi wacana pemulangan 600 WNI pendukung ISIS di Suriah. Skenario pertama adalah tidak memulangkan WNI pendukung ISIS dari Suriah. Alasan paling kuat untuk skenario ini adalah kewarganegaraan telah dicabut.

Jika skenario ini yang terjadi sebaiknya pemerintah menyiapkan dasar hukum pencabutan warga negara terutama bagi orang yang telah meninggalkan negara dan bergabung dengan organisasi terlarang di negara lain. Jika aturan ini sudah dijalankan maka WNI pendukung ISIS di Suriah bukan menjadi tanggung jawab pemerintah lagi sehingga tidak perlu dipulangkan.

Skenario kedua adalah memulangkan sebagian WNI pendukung ISIS dari Suriah, yaitu hanya orang yang belum dewasa, menjadi korban karena dipaksa bergabung, atau karena memang sudah benar-benar sadar ingin kembali menjadi WNI. Untuk menentukan orang dengan kategori tersebut tentu tidak mudah karena perlu observasi yang cukup detail.
Observasi harus dilakukan dengan cermat dan ketat, dengan melibatkan banyak pihak seperti BNPT, Polri, Imigrasi, Kementrian Agama, dan psikolog untuk memastikan motif dan tingkat paparan paham radikalnya.

Jika skenario ini yang terjadi tentu syarat bahwa mereka masih mempunyai dokumen seperti paspor harus menjadi syarat wajib. Selain itu pemerintah tetap harus melakukan proses hukum karena mereka telah melanggar aturan keimigrasian, terlibat dalam organisasi terlarang, dan terorisme.

Tentu saja program deradikalisasi juga harus diikuti sehingga ketika selesai menjalani hukumannya mereka dapat dikembalikan ke masyarakat dalam kondisi tidak radikal.

Skenario ketiga adalah memulangkan semua WNI pendukung ISIS ke Indonesia. Hal ini adalah skenario terburuk karena dapat disebut bahwa Indonesia justru menjemput atau mendekatkan sumber ancaman terorisme ke tanah air. Skenario ini juga berarti pemerintah mengambil risiko besar untuk menerima ancaman radikalisasi dan terorisme secara masif di kemudian hari.

Jika skenario terburuk ini terjadi maka pemerintah harus melakukan proses hukum dengan cukup ketat, kemudian melakukan isolasi agar mereka tidak menyebarkan ideologinya ke masyarakat.

WNI pendukung ISIS yang sudah pergi ke Suriah tentu mempunyai ideologi radikal yang cukup kuat dan tidak mudah begitu saja menjadi tidak radikal, kecuali memang pura-pura tidak radikal untuk tujuan tertentu.

Dari ketiga skenario tersebut di atas maka diharapkan skenario pertama alias skenario terbaik yang terjadi dan dilakukan pemerintah. Dengan banyak pertimbangan maka sebaiknya skenario kedua dan ketiga alias skenario terburuk bukan menjadi pilihan.

Sikap tegas pemerintah kali ini perlu dilakukan agar sumber ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia tidak semakin bertambah dan berkembang.*

Penulis adalah analis intelijen dan terorisme