Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memanfaatkan Medsos Sebagai Instrumen Kontra Radikalisasi
Oleh : Opini
Rabu | 29-01-2020 | 14:52 WIB
Ilustrasi-medsos.jpg Honda-Batam
Ilustrasi media sosial. (Foto: Ist)

Oleh Firda Wahyuni

DUNIA era teknologi telah berhasil menghilangkan dimensi ruang dalam komunikasi dainformasi. Semunya mengalir begitu cepat dan mampu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hal tersebut turut dimanfaatkan kelompok radikal untuk menyebarkan pahamnya.

Pesatnya perkembangan media sosial di Indonesia tentu sudah tidak bisa dipungkiri lagi, dilihat dari hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet aktif tahun 2015 di Indonesia sebanyak 88,1 juta dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 252,4 juta dan pengguna aktif menggunakan media sosial 87,4%.

Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia banyak yang menggunakan media massa di kehidupan sehari-harinya, hal ini tentu banyak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu seperti contohnya penyebaran propaganda radikalisme melalui media sosial.

Hans Spier mengatakan bahwa propaganda adalah aktivitas komunikasi dari pemertintah kepada warga negaranya, warga negara lain di negara itu dan juga negara asing secara pemerintah. Terdapat tiga jenis propaganda yaitu, propaganda putih, abu-abu, dan hitam.

Propaganda putih dilakukan media yang berpihak pada kepentingan politik atau kebijakan tertentu. Kemudian propaganda abu-abu adalah kegiatan yang dilakukan secara tertutup. Contohnya dengan memanfaatkan wartawan untuk menulis pesan tertentu yang ditujukan ke public agar mereka tergerak dan memercayai dan bergerak melakukan apa yang diinginkan.

Terakhir ada propaganda hitam yang merupakan kegiatan penyebaran informasi tertutup yang menyesatkan. Tujuannya untuk memberikan informasi yang meruntuhkan kredibilitas lawan.

Istilah radikalisme berasal dari kata radical yang berarti akar atau dasar. Sebagai kata benda, radikal berarti seseorang yang berpandangan radikal dalam politik maupun agama. Radikalisme berarti suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Radikalisme seringkali dikaitkan dengan istilah terorisme yang menurut KBBI adalah menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme berhubungan erat dengan media. Pelaku teror membutuhkan media untuk menyampaikan ancamannya ke publik.

Propaganda putih sering dilakukan kelompok radikal agama. Biasanya mereka membuat situs di internet dengan berkedok sebagai situs berita atau portal tentang agama.

Tulisan-tulisan di situs tersebut berisi substansi yang cenderung menjurus pada narasi atau pesan tertentu. Pesan-pesan tersebut dapat berupa ajakan membenci agama atau kelompok lain atau juga menyebarkan paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang sebagaimana seharusnya.

Sementara propaganda hitam banyak terlihat di dunia maya melalui tulisan-tulisan menyesatkan yang memeilintir ayat-ayat suci dan kemudian menjadikannya pembenaran dalam pesan-pesan dan aktivitasnya.

Penyebaran informasi mengenai radikalisme oleh kelompok radikalisme memanfaatkan media internet sebagai sarana efektif bagi kelompok radikal untuk menyebarkan paham-paham radikalisme.

Perkembangan media sosial yang cukup pesat dimanfaatkan oleh kelompok radikal dengan cara melakukan duplikasi dari website ke dalam jariangan blog. Berbagai ide, wacana, narasi, dan materi yang sebelumnya ada di dalam website dipindah kedalam jaringan blog.

Penggunaan blog disadari bahwa para blogger memiliki jaringan yang luas, sehingga dipastikan penyebaran radikalisme akan berjalan cepat. Bukan hanya di blog, tapi di seluruh media sosial yang tentu saja penyebaran paham radikal melalui dunia maya menjadi ancaman bagi pertahanan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan data hasil suvey oleh APJII diatas juga menunjukan bahwa radikalisme sangat rentan disebarkan melalui pengguna internet atau pengguna media sosial lainnya.

Kelompok-kelompok radikal menggunakan beragam situs seperti Blogger, YouTube, Twitter dan Facebook untuk tujuan-tujuan seperti penyebaran, pemikiran, dorongan, bahkan perekrutan anggota kelompok.

Penyebaran konten propaganda yang bersifat radikal ini tentu memberikan dampak yang begitu besar bagi masyarakat Indonesia. Kebanyakan masyarakat Indonesia langsung mempercayai apa yang mereka baca dan menyebarluaskan tanpa mengetahui sumbernya atau mengecek kembali validitas sebuah tulisan atau informasi yang diperoleh.

Terutama bagi anak-anak muda yang mudah terpengaruh oleh informasi yang belum pasti kebenarannya, sebagai penikmat internet terbanyak di Indonesia mereka sering kali langsung menjadikan dalil sebagai legitimasi untuk tindakan radikal.

Hal ini menandakan bahwa generasi penerus bangsa terancam terkontaminasi oleh paham-paham radikal yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia.

Untuk menghadapi konten propaganda radikal di dunia maya, pemerintah tentu harus menutup situs-situs terkait atau memblokir akses ke jaringan sosial. Pemerintah juga perlu mengupayakan eksistensi pendidikan islam yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, mengawasi penggunaan media sosial oleh masyarakat melalui patroli dunia maya.

Namun demikian, sebagai penguna aktif layanan internet maka cerdas dan bijak merupakan kunci utama dalam menggunakan internet. Dengan solusi dan pencegahan di atas, maka diharapkan masyarakat yang didukung kebijakan pemerintah secara otomatis dapat memfilter konten-konten yang bersifat radikal dengan falsafah negara Indonesia yang cinta akan perdamaian.*

Penulis adalah Pegiat Pertiwi Media