Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah RI Siap Mempertahankan Perairan Natuna
Oleh : Opini
Kamis | 09-01-2020 | 14:07 WIB
jokowi-natuna.jpg Honda-Batam
Presiden Jokowi saat berada di Natuna. (Foto: Kalit)

Oleh Alfisyah Kumalasari

UPAYA Pemerintah dalam menghadapi kapal China di Natuna semakin meningkat. Pemerintah pun tegas dalam mempertahankan kedaulatan di Natuna dengan mengirimkan nota protes kepada pemerintah China hingga menambah kekuatan militer di Natuna. Pemerintah Indonesia tegas menolak keberadaan Kapal China di perairan Natuna.

Hal ini terjadi seiring insiden pelanggaran ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) yang dilakukan China di perairan Natuna, kepulauan Riau. Termasuk menolak klaim china atas wilayah Natuna ini.

China yang dinilai cukup nekat masuk ke wilayah teritori Indonesia dan melakukan ilegal fishing memang harus ditindak secara tegas. Pelanggaran ini juga masuk kategori kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing serta kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai China di perairan Natuna.

Negeri tirai bambu ngotot atas wilayah Natuna dengan alasan bahwa nelayan China telah lama melangsungkan aktivitas disana karena bersifat unilateral dan tak memiliki dasar hukum serta tak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.

Namun, Argumen tersebut, menurut Kemenlu RI, telah dibahas dan dimentahkan oleh keputusan SCS Tribunal tahun 2016. Indonesia juga menolak istilah "relevant waters" yang diklaim oleh China karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB ialah lembaga yang menetapkan batas terkait ZEE.

Kemenlu juga menegaskan Indonesia tidak mempunyai overlapping jurisdiction dengan China. Indonesia pun tidak akan pernah mengakui nine dash-line karena penarikan garis tersebut telah bertentangan dengan keputusan UNCLOS 2016 lalu.

Sebagai informasi, Nine dash-line China adalah garis yang digambar di peta pemerintah China. Di mana negara tersebut mengklaim wilayah Laut China Selatan, dari Kepulauan Paracel (yang diduduki China namun diklaim pihak Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang permasalahkan dengan Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan dan juga Vietnam.

Polemik ini agaknya menjadi suatu topik yang menarik. Pasalnya, China merupakan salah satu mitra strategis Indonesia di kawasan. Sehingga Menjadi kewajiban kedua belah pihak untuk terus meningkatkan hubungan yang saling menghormati dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Kendati demikian sikap tegas Jokowi yang menyatakan tak kenal kompromi layak didukung. Mengingat, hal ini telah menyangkut kedaulatan suatu negara.

Sementara itu, Menlu Retno Marsudi menyampaikan 4 poin sikap resmi terkait respons atas tindakan China yang melakukan pelanggaran di perairan Natuna, kepulauan Riau.
Poin Pertama ialah telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok (China) di wilayah ZEE di Indonesia.

Kedua, wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional secara sah yakni melalui UNCLOS 1982.

Ketiga, Tiongkok merupakan salah satu wilayah part (anggota) dari UNCLOS 1982. Maka dari itu adalah suatu kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati, implementasi dari UNCLOS 1982.

Keempat, Indonesia secara tegas tidak akan pernah mengakui Nine-Dash Line. Yaitu, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak mempunyai alasan hukum dan diakui oleh hukum Internasional terutama UNCLOS 1982.

Pelanggaran China ini makin diperkuat dengan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam putusannya, PCA menyebutkan tidak mengakui dasar klaim China atas sembilan garis putus-putus maupun konsep traditional fishing grounds. Menurut PCA, dasar klaim yang dilakukan oleh Pemerintah China tidak dikenal dalam UNCLOS, di mana Indonesia dan China adalah merupakan anggotanya.

Sebelumnya, Dasar klaim wilayah China atas hampir seluruh perairan Laut China Selatan sebenarnya telah dipatahkan putusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2016 lalu.

Yang bermula dari pengajuan gugatan Filipina kepada PCA. PCA telah mengeluarkan putusan terkait sengketa Laut China Selatan, meski wilayah Beijing tegas menolak putusan tersebut.

Secara garis besar putusan Mahkamah mengabulkan hampir semua gugatan Filipina, serta menihilkan klaim maupun tindakan RRT di Laut China Selatan. China juga kembali menyatakan tidak terikat akan putusan PCA itu.

Meski gugatan ke PCA diajukan oleh negara Filipina, putusan tersebut memiliki implikasi pada seluruh negara ASEAN yang selama ini bersengketa dengan China di Laut China Selatan, tak terkecuali dengan Indonesia.

Beragam upaya menghadapi China ini makin ditingkatkan termasuk menugaskan khusus TNI Angkatan Darat, hingga satu batalyon Raider di Natuna. Sementara itu, masing-masing akan diterjunkan satu kompi pasukan elite TNI AU Korps Pasukan Khas (Korpaskhas) beserta pasukan elite TNI AL Marinir. Ryamizard Ryacudu menambahkan akan ada tiga kapal Sea Reader yang siap kejar-jejaran di laut.

Langkah tepat ini perlu mendapatkan dukungan dari seluruh warga negara Indonesia. Mengingat hal tersebut sudah berkaitan dengan masalah kedaulatan. Apalagi dasar hukum Indonesia kuat dan diakui secara sah di dunia Internasional. Katakan tidak untuk pencuri! Maju terus Indonesia, pertahankan Natuna!*

Penulis adalah pengamat sosial politik