Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Abaikan Saja Seruan Doa Bagi Bangsa dari ULMWP
Oleh : Opini
Kamis | 28-11-2019 | 14:40 WIB
free-papua.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Aksi demo seruan merdeka Papua Barat. (Foto: Ist)

Oleh SV Farrah

MEMPERINGATI 58 Tahun manifesto politik West Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) melalui Filipus Robaha dan Bazoka Logo mengeluarkan himbauan agar tanggal 1 Desember 2019, rakyat Papua diajak berunjuk rasa yang dibungkus dalwm kegiatan ibadah syukur di lapangan Trikora-Abepura, Jayapura-Papua. Ajakan atau seruan ini beredar di media sosial.

Sayangnya, ULMWP dalam ajakannya tersebut melakukan pembohongan terhadap masyarakat Papua dengan memutar balikkan fakta. Diantarnya, menulis bahwa sejarah 58 tahun lalu, tepatnya 1 Desember 1961 - Dewan Perwakilan Nasional Bangsa Papua yang pertama saat itu disebut (Nieuw Guinea Raad) bersama Pemerintah Kerajaan Belanda atas nama Ratu Yuliana secara resmi telah mendeklarasikan Embrio Negara West Papua.

Hal itu ditandai dengan pengibiran bendera West Papua Bintang Fajar dan diiringi lagu kebangsaan Hai Tanaku Papua di seantero West Papua, yang kemudian ini disebut sebagai manifesto plitik bangsa Papua diperingati setiap tanggal 1 Desember.

Melalui deklarasi ini, untuk pertama kalinya sejumlah atribut Negara West Papua telah diumumkan adalah: (1). Bendera Negara – Bintang Fajar, (2). Lambang Negara-Burung Mambruk, (3). Semboyan Bangsa-One People One Soul, (4) Lagu Kebangsaan-Hai Tanaku Papua, (5). Batas Teritori-Sorong-Merauke.

Melalui ajakan tersebut, semakin jelas pengurus ULMWP termasuk Benny Wenda tidak tahu sejarah integrasi Papua dalam NKRI termasuk tidak menyadari "politisasi dan agenda terselubung" pemerintah kolonial Belanda saat itu yang tetap menginginkan Papua menjadi wilayah jajahannya melalui Ratu Yuliana "berpura pura" mendukung kemerdekaan Papua.

Belajar dari sejarah, maka tidak mengherankan jika ada sikap ambigu Belanda terkait Papua, disatu sisi pemerintah Belanda secara bilateral dan di forum internasional menyatakan mendukung integrasi Papua dalam NKRI.

Namun, di sisi yang lain Belanda membiarkan banyak buronan politik (political fugitives) asal Papua yang bebas hidup walaupun mereka selalu mendramatisasi dan mengapitalisasi nasib Papua untuk membiayai gaya hidup Papuan political fugitives yang hedonis tidak hanya di Belanda, namun juga di Inggris, Jerman, Selandia Baru, Australia dan Pasifik Selatan.

United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang terus memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti ocehan Pilipus Robaha dan Bazoka Logo jelas patut dipertanyakan apa motif mereka mengklaim tersebut.

"Pemusatan" peringatan HUT OPM di Jayapura disebabkan karena acara 1 Desember 2019 "tidak laku jual" di luar Papua, sebab masyarakat Papua yang sekolah bahkan bekerja di provinsi lainnya menyatakan, mereka tidak mau ikut merayakan manifesto politik OPM.

Karena mereka sudah menikmati kenyamanan dan keindahan hidup dalam harmonisasi NKRI. Bahkan, banyak mahasiswa Papua di Jawa Timur misalnya sudah mengikuti "Sekolah Pancasila" yang dilakukan salah satu Parpol, dan outcomenya jelas yaitu nasionalisme mereka menguat.

Sebenarnya, kasihan Benny Wenda, AMP, ULMWP, KNPB dan lain lain yang kurang mengerti prinsip prinsip "color revolutions" dan prinsip "free cheese on the plate just only for mouse" yang sama artinya dengan "no free launch".

Sehingga mereka mau menjadi komprador (kaki tangan) kepentingan asing di Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

So, kawan kawan dan saudara kita di Papua, Papua Barat dan di provinsi lainnya di Indonesia bahkan diluar negeri, abaikan saja ajakan Benny Wenda cs.

Semoga. Indonesia adalah Papua dan Papua adalah Indonesia. Forever. You're not walk alone. *

Penulis adalah pemerhati Papua