Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tembakau, Antara Rokok dan Obat
Oleh : Opini
Senin | 11-11-2019 | 18:52 WIB
zhl-opini-tembakau.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Tembakau adalah rokok. Mungkin itu kalimat ringkas yang selama ini menjadi penghias di telinga kita. Sebagian mungkin risih mendengarnya, namun sebagian yang lain tentu sangat menikmatinya.

Tembakau adalah produk pertanian semusim yang bukan termasuk komoditas pangan, melainkan komoditas perkebunan. Produk ini dikonsumsi bukan untuk makanan tetapi sebagai pengisi waktu luang atau 'hiburan', yaitu sebagai bahan baku rokok dan cerutu.

Tembakau juga dapat dikunyah. Kandungan metabolit sekunder yang kaya juga membuatnya bermanfaat sebagai pestisida dan bahan baku obat.

Jumlah Perokok Tinggi

Namun, penggunaan tembakau sebagai obat masih belum dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kebanyakan kita berpikir kalau tembakau adalah bahan baku pembuatan rokok, di mana hal ini justru berlawanan dengan manfaatnya sebagai obat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah perokok di Indonesia sangat banyak.

Kita berjalan di gang sempit pun kita jumpai asap rokok yang mengepul. Tentu ini sangat mengganggu para pejalan kaki.

Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang. Angka tersebut setara 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016.

Sekitar 79,8% dari perokok membeli rokoknya di kios, warung, atau minimarket. Adapun 17,6% membeli rokok dari supermarket. Di Indonesia terdapat 2,5 juta gerai yang menjadi pengecer rokok. Angka ini belum memperhitungkan kios penjual rokok di pinggir-pinggir jalan.

Filipina adalah negara Asean dengan jumlah perokok terbanyak kedua, yakni 16,5 juta orang atau 15,97% dari jumlah penduduk. Vietnam di posisi ketiga dengan jumlah perokok 15,6 juta orang atau 16,5% dari jumlah penduduk.

Di Filipina, 96,4% perokok membeli rokok di supermarket. Adapun di Vietnam 68,4% perokok membeli rokoknya di kios, warung atau minimarket dan 28,8% membelinya di pedagang kaki lima.

Dengan latar belakang tersebut, pasar konsumen rokok di Indonesia tentu sangat besar. Para konsumen rokok tidak memiliki rasa takut sedikitpun dari penyakit yang nantinya akan dia derita yang diakibatkan oleh perilaku merokok. Padahal, Kementerian Kesehatan sudah memberikan himbauan tentang bahaya merokok di wadah rokok tersebut.

Kalau sudah begini, tinggal faktor kemauan dalam diri saja yang bisa memaksa untuk berhenti merokok.

Pemanfaatan Tembakau

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Produksi Tembakau di Indonesia selama lima tahun terakhir, 2015-2019, selalu berada di atas 100.000 ton. Tahun 2015 produksi tembakau di Indonesia mencapai 193.790 ton, kemudian turun drastis, 67.062 ton pada tahun berikutnya hingga mencapai 126.728 ton. Namun pada tahun 2017 produksi kembali mengalami peningkatan menjadi 181.142 ton.

Peningkatan tersebut diprediksi akan terus berlanjut pada tahun 2018 dan 2019. Direktorat Jenderal Perkebunan memperkirakan produksi tembakau pada tahun 2018 mencapai 181.308 ton dan pada tahun 2019 mencapai 183.360 ton.

Jawa Timur menjadi produsen tembakau terbesar selama periode tahun 2015 hingga tahun 2019. Tercatat produksinya selalu melebihi 70.000 ton. Namun dalam trennya, produksi tembakau selalu mengalami penurunan. Produksi paling tinggi diperoleh pada tahun 2015 yang mencapai 99.743 ton.

Tingginya produksi tembakau di Provinsi Jawa Timur dipengaruhi salah satunya oleh tingginya luas tanam di Jawa Timur. Luas tanam tembakau di Jawa Timur selalu melebihi 100.000 Ha. Kecuali pada tahun 2016 yang hanya mencapai 64.143 Ha. Dan hal itulah yang menyebabkan turunnya produksi tembakau nasional pada tahun 2016.

Dengan adanya potensi tembakau yang besar di Jawa Timur tersebut, menyebabkan banyak berdiri pabrik rokok di Jawa Timur. Salah satunya adalah pabrik rokok milik PT Gudang Garam, Tbk. Pabrik rokok tersebut terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Luas pabriknya kurang lebih mencapai 514 are.

PT Gudang Garam Tbk juga menjadi salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Pemilik Grup perusahaan rokok Gudang Garam Susilo Wonowidjojo mencatatkan total harta kekayaan saat ini mencapai US$ 9,2 miliar atau sekitar Rp 133 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per dollar AS).

Susilo kini menjadi orang terkaya kedua di Indonesia versi majalah Forbes, naik satu peringkat dari tahun lalu. Harta Susilo naik dari tahun lalu sebesar US$ 8,8 miliar. Kenaikan harta tersebut seiring melesatnya harga saham Gudang Garam.

Susilo sendiri merupakan anak ketiga dari Surya Wonowidjojo pendiri Gudang Garam. Hingga kuartal ketiga tahun ini, Gudang Garam mencatatkan keuntungan mencapai Rp 5,76 triliun, naik 6,46 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan laba tersebut seiring kenaikan pendapatan yang mencapai 13,58 persen dari Rp 61,52 triliun menjadi Rp 69,88 triliun.

Ekspektasi

Lagi dan lagi tembakau hanya dikenal sebagai bahan baku rokok saja. Jarang ditemui pemanfaatan tembakau yang digunakan sebagai obat. Indonesia harus belajar banyak dari India. Secara demografi, Indonesia memiliki kesamaan dengan India, yaitu sama-sama memiliki penduduk terbesar di dunia. Namun, rasa ingin tahu masyarakat India sangat tinggi, khususnya mengenai tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat.

Dan ternyata, India juga telah memanfaatkan tembakau sebagai obat. Di India, tembakau dipakai sebagai pereda nyeri untuk sakit telinga, sakit gigi, dan sebagai tapal (obat cair kental).

Profesi medis tidak akan membiarkan nikotin menjadi pengobatan untuk masalah kesehatan atau penyakit mental karena risiko kesehatan, tetapi mereka mempelajari manfaat tembakau.

Pergeseran pemanfaatan tembakau menjadi obat tentu juga akan sedikit demi sedikit mengurangi pemanfaatan tembakau sebagai rokok. Meskipun rokok menjadi barang konsumsi favorit kaum pria, tetapi nyatanya rokok juga menjadi penyumbang penyakit bagi masyarakat di Indonesia.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian hendaknya bekerja sama untuk mengoptimalkan pemanfaatan tembakau sebagai obat.

Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.