Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peserta Mandiri Keluhkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Oleh : Hendra Mahyudi
Kamis | 31-10-2019 | 11:40 WIB
bpjs25.jpg Honda-Batam
Layanan BPJS Kesehatan. (Foto: Dok Batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Batam - Negara resmi menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), meski kenaikan ini banyak ditolak kalangan masyarakat pekerja dan juga legislatif.

Seperti sebelumnya Komisi IV DPRD kota Batam mengkritisi kenaikan iuran terutama untuk peserta kelas III, karena mereka meminta pemerintah harusnya terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan data peserta penerima bantuan iuran (PBI).

"Pemerintah harusnya mencari cara lain untuk mengatasi problem defisit dana jaminan sosial (DJS) kesehatan. Bukan malah membebankannya pada masyarakat," ujar Mochamat Mustofa anggota Komisi IV DPRD kota Batam dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) Rabu (31/9/2019).

Sementara di Batuaji dan Sagulung, beberapa masyarakat kelas pekerja non-upahan yang terdaftar sebagai peserta BPJS mandiri menolak kenaikan tersebut, sebab memberatkan secara finansial.

Bagi mereka yang tergolong pekerja non-upahan, kenaikan menjadikan beban finansial keluarga bertambah. Seperti Didit K (31), pekerja bangunan di Batuaji. Ia menggunakan BPJS mandiri karena program PBI pemerintah tidak sampai ke keluarganya.

Sementara dalam satu KK dia beserta istri dan anak ada 5 orang. Notabenenya kenaikan iuran BPJS Mandiri kelas III yang ia punya dari Rp 25 ribu menuju Rp 42 ribu hal yang sangat memberatkan, jika melihat uang yang dihasilkannya dari pekerjaan sebagai buruh bangunan.

"Pekerja formal yang bergaji mungkin tak masalah. Saya mandiri pasti berat. Kayak tadi abang bilang dari Rp 25 ribu naik jadi Rp 42 ribu, di rumah kami lima orang, jadi sudah Rp 225 ribu dalam sebulan untuk BPJS, belum lagi pengeluaran lainnya. Sekolah anak, kebutuhan harian dapur. Gak bisa naik kelas BPJS juga dong kami," ujarnya Kamis (31/9/2019).

Hal senada juga disampaikan Efendi, pedagang sayur mayur di kawasan SP Plaza. Naiknya biaya BPJS terang dia katakan menyusahkan masyarakat kalangan menengah ke bawah, sebab pergolakan ekonomi masih belum cukup stabil, dan perputaran uang di pasar yang juga semakin berkurang.

"Tak habis pikir dengan pemerintah. Kenyataan ekonomi masih lesu, dagangan tak menjamin karena yang belanja mulai sedikit. Apa gak kepikiran memberatkan masyarakat biasa. Kebutuhan hidup tak hanya tentang iuran BPJS Pak Presiden. Leher kami jangan terlalu dicekik," kesahnya kala ditanyakan perihal kenaikan iuran BPJS.

Bahkan sebagian warga mendengar kabar kenaikan iuran ini ada yang mengatakan untuk berhenti memakai BPJS. Tanggapan mereka hanya satu hal, negara seolah-olah melarang yang miskin sakit, kalau mau sakit harus banyak uang.

"Ya mau gimana lagi. Pasrahlah kalau sakit. Karena makan minum sehari-hari aja susah," terang Usman, seorang tukang ojek.

Secara garis besar, benang merah yang ingin disampaikan masyarakat hanyalah berharap agar pemerintah kembali mengkaji ulang kebijakan ini, karena situasi perekonomian masyarakat masih belum begitu membaik.

Diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019) kemarin. Kenaikan iuran akan diberlakukan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP).

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sesuai Perpres tersebut besaran iuran yang harus dibayarkan peserta mandiri kelas I dan II naik dua kali lipat dari semula Rp 80 ribu dan Rp 55 ribu menjadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu. Sementara iuran peserta kelas III, naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.

Editor: Yudha