Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bantuan Sosial Berbasis Pendidikan Siswa Miskin
Oleh : Opini
Rabu | 30-10-2019 | 18:52 WIB
zul-halim.jpg Honda-Batam
ulfikar Halim Lumintang, SST.

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Kemiskinan merupakan 'penyakit' yang dinilai wajar diderita oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, manusiawi rasanya ketika setiap orang tidak ingin menjadi orang miskin.

Harapan bagi negara berkembang tentu realistis, yaitu mengurangi persentase penduduk miskin pada setiap periode. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin Indonesia per Maret 2019 berada pada kisaran 9,41% atau setara dengan 25,1 juta jiwa.

Angka kemiskinan Indonesia mencapai satu digit sebenarnya sudah semenjak Maret 2018 yang lalu. Di mana pada Maret 2018 mencapai 9,82% atau setara dengan 25,9 juta jiwa kemudian menurun 0,12 poin menjadi 9,66% atau setara dengan 25,6 juta jiwa pada September 2018.

Dari tren persentase penduduk miskin tersebut, sebenarnya pemerintah 'masih' berhasil mencapai target mereka yang realistis tersebut. Namun, nampaknya pemerintah ingin mencapai lebih dari itu.

Hal itu, tampak dari bermacamnya program bantuan untuk mengentaskan penduduk dari jurang kemiskinan. Presiden telah menunjuk Kementerian Sosial sebagai lembaga yang 'mengurusi' penduduk miskin. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial. Di mana Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, dan inklusivitas.

Hal tersebut langsung direspons oleh Kementerian Sosial dengan menerbitkan program Rastra atau Beras Sejahtera pada 28 Agustus 2015. Dari segi historis, bantuan sosial berupa pemberian subsidi kepada masyarakat miskin tersebut sudah dilaksanakan berupa Raskin atau Beras Miskin.

Namun, Menteri Sosial pada waktu itu, Khofifah Indar Parawansa, mengubah nama Raskin menjadi Rastra dengan alasan agar beras yang disubsidi pemerintah untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Tujuan utama dilaksanakannya Program Bansos Rastra adalah untuk mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan akses masyarakat miskin dan rentan dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok (dalam hal ini beras) yang menjadi hak dasarnya.

Program Bansos Rastra sendiri menyasar keluarga dengan kondisi sosial ekonomi 25% terendah di wilayah kabupaten/kota yang namanya termasuk dalam Daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial. Daftar KPM Bansos Rastra bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh Pemerintah Daerah. Mereka yang menerima Bansos Rastra mendapatkan beras kualitas medium dengan jumlah 10 Kg setiap bulannya tanpa biaya.

Seiring berjalannya waktu, bantuan sosial yang digagas pemerintah tersebut kembali berevolusi menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Sama dengan Bansos Rastra, BPNT bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan, hal mendasar yang membedakan adalah pemerintah juga memberikan perhatian kepada usaha eceran rakyat untuk memperoleh pelanggan dan juga memberikan akses jasa keuangan kepada usaha eceran tersebut. Dengan BPNT para KPM bisa mendapatkan beras dan atau telur yang nilainya setara maksimal Rp 110.000.

Yang jadi permasalahan adalah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2019 sejumlah 25,1 juta jiwa, tentu saja jumlah tersebut sangat besar. Masih banyak ditemukan di lapangan bahwa bantuan sosial masih salah sasaran, orang yang tidak berhak menerima bantuan masih mendapatkan bantuan, karena menerima kartu tersebut.

Indonesia sebagai negara yang berdaulat memang harus melindungi hak para warga negaranya terutama penduduk miskin. Bantuan Sosial dari pemerintah tidak mungkin bisa diharapkan terus menerus oleh masyarakat. Pemerintah harus memberikan bantuan lain berupa beasiswa untuk para siswa yang masuk dalam keluarga miskin.

Dengan begitu, anak-anak yang berasal dari keluarga miskin bisa melanjutkan pendidikannya. Sehingga, dalam jangka panjang anak tersebut bisa mengangkat keluarganya dari kemiskinan karena telah mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak.

Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan selalu dekat dengan putus sekolah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, pada tahun ajaran 2017/2018 terdapat 32.127 siswa Sekolah Dasar (SD) yang putus sekolah. Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 51.190 siswa putus sekolah.

Untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) jumlah siswa putus sekolah sebanyak 31.123 siswa. Sedangkan untuk pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 73.384 putus sekolah pada tahun ajaran 2017/2018. Oleh karena itu bantuan sosial harusnya terus ditambah fokusnya ke pendidikan siswa miskin.

Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.