Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tenggat Perppu KPK, Sikap Diam Jokowi dan Isu Demo Besar
Oleh : Redaksi
Selasa | 15-10-2019 | 10:04 WIB
jokowi61.jpg Honda-Batam
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). (Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Tenggat waktu atau deadline yang diberikan mahasiswau untuk Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK jatuh pada Senin, (14/10/2019) kemarin. Ribuan personel polisi bersiaga di sejumlah titik strategis mengantisipasi demonstrasi mahasiswa.

Sejak malam hari sebelumnya, kabar bakal ada demo besar memang mengemuka mendesak Perppu KPK segera dikeluarkan.

Tenggat waktu itu disampaikan oleh perwakilan mahasiswa saat bertemu dan berdialog dengan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, di Istana Kepresidenan, 3 Oktober lalu.

Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dino Ardiansyah usai pertemuan itu menyebut akan ada demonstrasi dengan jumlah massa lebih besar bila Jokowi tak menerbitkan Perppu KPK hingga 14 Oktober.

Istana langsung merespons ultimatum yang disampaikan perwakilan mahasiswa. Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, memandang tuntutan itu sebagai ancaman.

"Jangan membiasakan diri melakukan tekanan. Mengancam itu tidak bagus. Jangan pernah memberikan batas waktu kemudian mengancam itu tidak bagus," kata Ngabalin sehari usai pertemuan mahasiswa dan Moeldoko.

Menurut Ngabalin, mahasiswa sebagai kelompok terdidik seharusnya membuka dialog dengan cara-cara yang menggunakan nalar atau pemikiran.

"Gunakan narasi-narasi yang bagus. Ruang-ruang diskusinya pakai pikir dan hati. Karena yang sedang dipikirkan itu adalah masa depan bangsa dan negara," kata Ngabalin.

Sementara itu Moeldoko menyebut telah meminta mahasiswa untuk tidak bersikap keras. Dia bilang dalam memutuskan sebuah kebijakan, Presiden Jokowi tak hanya mendengar masukan dari satu kelompok saja.

Dalam kasus Perppu KPK, lanjutnya, Jokowi tak hanya mendengarkan mahasiswa, tapi juga partai politik pendukungnya.

"Presiden itu banyak yang harus didengarkan, ada partai politik, ada masyarakat yang lain, ada mahasiswa, ada berbagai elemen masyarakat," kata dia.

Perppu KPK sendiri adalah satu dari tujuh tuntutan yang diusung gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil dalam gelombang demo pada akhir bulan lalu.

Tuntutan lain yang mereka usung antara lain pembatalan pimpinan KPK periode 2019-2023 pilihan DPR; menolak TNI & POLRI menempati jabatan sipil; setop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua.

Lalu, mahasiswa dan masyarakat sipil meminta kriminalisasi aktivis dihentikan; usut pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi; tuntaskan kasus pelanggaran HAM, dan adili penjahat HAM, termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan.

Tujuh tuntutan itu, yang dibungkus dengan slogan #ReformasiDikorupsi, berhasil menggerakkan ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil menggelar gelombang demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah di Indonesia sepanjang pertengahan September lalu.

Korban jiwa bahkan berjatuhan dari pihak sipil akibat aksi demonstrasi tersebut. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa tewas diduga terkena peluru tajam aparat yang mengamankan demonstrasi. Sementara di Jakarta dua warga bernama Maulana Suyadi dan Akbar Alamsyah turut meregang nyawa.

Tak hanya korban jiwa, ada juga ratusan orang yang sempat ditangkap polisi, dan puluhan lain ditetapkan sebagai tersangka. Polisi menuduh mereka melakukan penghasutan berujung kekerasan.

Jokowi sendiri tak sepenuhnya lepas tangan. Usai gelombang demonstrasi mahasiswa, dia berinisiatif mendengar masukan sejumlah kalangan. Jokowi sempat mengundang puluhan tokoh masyarakat ke Istana Negara membahas tuntutan mahasiswa.

Itu terjadi 26 September lalu. Hadir tokoh-tokoh seperti Goenawan Mohamad, Butet Kartaradjasa, Mochtar Pabottinggi, Franz Magnis Suseno, Mahfud MD, hingga Harry Tjan Silalahi dan Azyumardi Azra.

Setelah pertemuan itu, Jokowi sebenarnya telah memberikan sinyal akan menerbitkan Perppu KPK. Jokowi menyebut sedang mempertimbangkan Perppu KPK. Tapi sinyal itu perlahan memudar setelah Jokowi menggelar pertemuan dengan para petinggi partai koalisi di Istana Bogor.

Ketua NasDem, Surya Paloh, usai pertemuan menyatakan bahwa partai koalisi telah sepakat menolak opsi presiden menerbitkan Perppu KPK. Paloh bahkan mengingatkan Jokowi bisa dimakzulkan oleh parlemen jika menerbitkan Perppu KPK.

"Salah lho. Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir. Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho," kata dia.

Sampai detik ini Jokowi belum memberikan kepastian lebih lanjut soal kemungkinan menerbitkan Perppu KPK.

Kemarin setelah menjawab semua pertanyaan seputar pertemuan Zulhas, Jokowi mengakhiri sesi tanya jawab. Saat masih berada di hadapan awak media, ia tak merespons pertanyaan soal Perppu KPK. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memilih terus berjalan meninggalkan awak media tanpa jawaban soal Perppu KPK.

Sikap pejabat di lingkungan istana juga tak berbeda jauh. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengaku tak tahu soal penerbitan Perppu KPK. "Enggak tahu saya," kata Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.

Staf Khusus Presiden Adita Irawati mengatakan Jokowi masih mendengarkan masukan sejumlah pihak terkait rencana penerbitan Perppu KPK. Menurutnya, kemungkinan Jokowi masih memerlukan waktu untuk mengeluarkan aturan pengganti UU KPK yang baru itu.

"Jadi mungkin masih memerlukan waktu. Nanti kita liat aja perkembangan. Saya sih kok (merasa) sepertinya tidak hari ini ya, sepertinya," ujar Adita.

Sejumlah pengamat politik menyebut posisi Jokowi saat ini sedang berada di antara dua tegangan. Antara memenuhi tuntutan mahasiswa atau partai politik pendukungnya. Setiap keputusan yang diambil Jokowi akan melahirkan risiko politiknya tersendiri.

Kepala Staf Presidenan Moeldoko menyebut Perppu KPK ibarat buah simalakama. Hal senada disampaikan mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif. Namun Buya, sapaan Syafii berharap, meski menghadapi simalakama, Jokowi mesti tegas dalam bertindak terkait Perppu KPK.

"Tidak mudah, seperti buah simalakama: kalau dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Tapi harus ada keputusan," kata Buya.

Sumber: cnnindonesia.com
Editor: Chandra