Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membedah Modus dan Solusi Menghadapi Berita Hoax
Oleh : Opini
Jumat | 20-09-2019 | 09:42 WIB
anti-hoax41.jpg Honda-Batam
Ilustrasi berita hoax. (Foto: Ist)

Oleh Anita Rosalina

MELAWAN hoaks adalah hal yang perlu kita lakukan. Pasalnya hoaks benar-benar menjadi momok bagi keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, belum lama ini terjadi kerusuhan di Papua yang ditenggarai disebabkan oleh kemarahan warga Papua karena adanya ujaran rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.

Amarah tersebut memicu pengrusakan berbagai fasilitas umum. Menurut Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, selain adanya kemarahan ujaran rasisme, ternyata kabar hoaks juga ikut andil dalam menyulut kemarahan warga Papua. Untuk itu, sebagai warga negara yang baik kita harus melawan hoaks dan melatih diri agar tidak 'termakan' oleh kabar hoaks.

Bahaya hoaks begitu besar, sehingga kita perlu melatih untuk tidak mudah percaya dengan berita yang belum tentu kebenarannya. Sedini mungkin, kita perlu melatih diri kita bahkan anak-anak hingga orang-orang di sekitar kita untuk tidak 'termakan' berita hoaks.

Tujuannya untuk mengajarkan agar bisa lebih dahulu menelaah informasi yang didapatkan. Apakah kabar tersebut benar atau tidak. Karena berita hoaks yang disebar kerap membuat khawatir.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "hoaks" bisa diartikan sebagai "berita bohong".

Sementara dalam Oxford English dictionary, "hoax" didefinisikan sebagai "malicious deception" atau "kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat".
Menurut psikolog Roslina Verauli menjelaskan bahwa berita hoaks umumnya dilakukan dengan beberapa tujuan, seperti:

1. Memperoleh keuntungan finansial dengan pembohongan yang dilakukan.
2. Mendiskreditkan atau menjatuhkan seseorang atau kelompok tertentu.
3. Sekadar untuk bersenang-senang kerena telah mengelabui atau membodohi orang lain.

4. Mencari perhatian.
5. 'Memenuhi' kepercayaan atau prejudice akan sesuatu masyarakat.

"Hoax ini merupakan eksploitasi terhadap sisi psikologis manusia yang bisa menimbulkan keresahan, kecemasan, hilangnya hormat pada tokoh otoritas, bahkan dapat memicu pertikaian dan perpecahan."

"Maklum, dalam berita hoax yang termasuk kategori pembohongan, emosi, manusia "dijadikan obyek bahkan alat" untuk memicu reaksi tertentu. Sehingga memengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal bodoh karena perasaan ingin membantu, bahkan takut dan turut terpicu. Tak heran teknik, "social engineering" seperti penggunaan hoax untuk kepentingan tertentu sering kali sukses".

Bahaya Laten Hoaks

Bahaya hoaks itu tak ubahnya seperti narkotika. Seperti yang disampaikan oleh mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, momok dari penyebaran berita bohong atau hoaks tidak ubahnya seperti peredaran narkotika dan pornografi. Jika dibiarkan terus menerus dapat merugikan masyarakat.

Bahaya hoax yang tidak kalah mengerikan adalah menyebabkan pembunuhan karakter karena merupakan manipulasi, kecurangan, dan bisa menjatuhkan orang lain. Hoaks merupakan tindakan kriminal di wilayah cyber.

Upaya Terhindar dari Hoax

Dalam mencegah dan melatih diri sendri untuk tidak mudah percaya dan menghindari berita hoaks, misalnya kita dapat melakukan hal berikut:

1. Gemar Membaca

Salah satu cara untuk melatih diri agar terhindar dari bahaya hoaks dalah dengan gemar membaca dan melek literasi. Hal ini tentu saja perlu dimulai dari lingkungan keluarga lebih dulu, kemudian di lingkungan yang lebih luas, seperti sekolah, kampus dan masyarakat.

2. Bijak Menggunakan Sosial Media

Tidak bisa dipungkiri, era digital seperti ini semakin memudahkan untuk mendapatkan informasi. Salah satunya tentu saja dengan arus informasi yang didapatkan lewat sosial media.

Tidak mengherankan jika banyak masyarakat, khususnya yang sudah memasuki masa remaja dan memiliki ponsel pribadi akan percaya dengan informasi yang didapatkan dari sosial media. Faktanya, berita hoaks ini justru banyak tersebar di ranah media sosial.

Untuk itu sedini mungkin, latih diri kita untuk lebih bijak menggunakan sosial media. Misalnya, menekankan bahwa sosial media bukan buku diary, sehingga ia bebas memposting segala sesuatu. Terlebih jika mengingat adanya jejak digital yang akan sulit dihapus sampai kapan juga.

3. Kritis saat Menerima Informasi

Di era informasi digital seperti sekarang ini, sikap kritis adalah kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kita tidak boleh mudah percaya dengan sebuah informasi, harus dicek dulu benar atau tidaknya.

Sikap kritis ini sebagai filter pertama dalam menangkis berita hoaks, sederhananya dalam menerima informasi, di dalam diri kita bertanya: apakah berita ini benar? Sumber informasinya apa? Media apa yang memuat? dan lain sebagainya.*

Penulis adalah pegiat Pertiwi Media di Jakarta