Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pembangunan Infrastruktur Versus Pembangunan Manusia
Oleh : Opini
Selasa | 17-09-2019 | 08:16 WIB
zulfikar-hakim1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Zulfikar Hakim.

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST

Pembangunan infrastruktur bisa dibilang merupakan kebutuhan kedua yang sangat mendasar bagi suatu wilayah, di bawah pembangunan manusianya. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan tentu dengan maksud untuk menambah kemudahan masyarakat dalam mengakses fasilitas umum.

Meskipun pembangunan manusia Indonesia yang masih tersendat, pada periode lima tahun terakhir, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sangat gencar melakukan pembangunan infrastruktur.

Daerah-daerah remote menjadi sasaran utama pemerintah untuk program pembangunan infrastruktur ini, contohnya Papua. Jalan Trans Papua menjadi proyek besar pemerintah dalam upaya memperpendek kesenjangan antara Papua dengan wilayah lain.

Tentu saja kebijakan pemerintah tersebut sangat bagus, dan tidak ada yang menyangkal kalau pembangunan infrastruktur di Papua perlu ditingkatkan. Namun, hal yang terjadi sungguh mengejutkan. Para pekerja infrastruktur jembatan Wamena-Mamugu justru diserang kelompok pribumi bersenjata. Hal tersebut langsung tercermin pada Indeks Masalah Bisnis (IMB) perusahaan konstruksi yang ada di Papua.

Selama empat triwulan pada tahun 2018, IMB perusahaan konstruksi di Papua tidak pernah mencapai angka diatas 30%. Hanya saja pada triwulan I 2018, sempat mencapai 29,21%. Kemudian pada triwulan I 2019, IMB perusahaan konstruksi di Papua mengalami kenaikan 10,31 poin dari triwulan IV 2018. Dimana pada triwulan IV 2018 IMB perusahaan konstruksi di Papua mencapai 22,70% dan pada triwulan I 2019 mencapai 33,01%. Angka IMB yang mencapai 33,01% tersebut juga dapat diinterpretasikan bahwa perusahaan konstruksi di Papua mengalami permasalahan yang cukup, yang salah satu diantaranya bisa jadi disebabkan oleh serangan kelompok bersenjata.

Selain itu, para pengusaha konstruksi di Papua juga memiliki Indeks Prospek Bisnis (IPB) yang menurun pada triwulan I 2019. Kita bisa melihat, bahwa selama tahun 2018, pada keempat triwulannya IPB pengusaha konstruksi selalu diatas 60%, hanya pada triwulan II 2018 yang mencapai 52,34%. Hingga pada triwulan IV 2018, IPB pengusaha konstruksi di Papua mencapai 64,06%. Kemudian setelah adanya kasus serangan kelompok bersenjata tersebut, IPB pengusaha konstruksi di Papua merosot 17,18 poin menjadi 46,88% pada triwulan I 2019.

Ini mungkin bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah, kalau pembangunan manusia harus didahulukan sebelum pembangunan infrastruktur. Supaya, tidak ada elemen pembangunan yang dirugikan ketika pembangunan infrastruktur dilaksanakan.

Badan Pusat Statistik (BPS) merangkum data bahwa Papua merupakan provinsi yang memiliki peringkat Indeks Pembangunan Manusia paling rendah, atau berada pada peringkat 34 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia pada tahun 2018.

Dengan rata-rata lama sekolah mencapai 6,52 tahun, pendidikan di Papua juga bisa dibilang gagal mencapai target wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk Papua secara rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar saja.

Pembangunan infrastruktur dan manusia yang tidak berjalan selaras juga akan memberikan dampak buruk bagi Papua. Misalnya saja, kerusakan infrastruktur. Dengan pendidikan yang rendah, tentu saja masyarakat Papua juga memiliki pengetahuan yang rendah dalam perawatan infrastruktur. Apalagi, masih seringnya terjadi peperangan antar suku. Hal tersebut seakan-akan percuma pembangunan infrastruktur dilakukan, kalau harus memperbaiki berulang kali ketika peperangan antar suku terjadi.

Permasalahan tidak berhenti sampai disitu saja. PT Krakatau Steel Tbk sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ternyata mengalami kerugian. Hal ini sungguh mengejutkan, dikarenakan perusahaan yang memproduksi baja tersebut justru mengalami kerugian di tengah pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di Indonesia.

Hitungan kasarnya saja, walaupun produk baja PT. Krakatau Steel Tbk. tidak laku di pasar ekspor, harusnya produksi baja mereka bisa terserap oleh pembangunan jalan tol, jembatan, dan bandara yang membutuhkan tidak sedikit baja dalam berbagai jenis dan ukuran. Lalu, darimana baja yang dibutuhkan Indonesia untuk membangun infrastrukturnya? Impor? Sungguh ironi.

Oleh karena itu, bukan masyarakat yang kurang berpendidikan saja yang perlu dibangun. Tetapi, pemerintah sebagai pembuat dan pemutus kebijakan juga harus di-rebuild mindset. Pemerintah harus mengoptimalkan potensi dalam negeri, harus percaya terhadap produk sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi? Tentu produk yang bisa diekspor harus dimulai dari kepercayaan masyarakatnya sendiri untuk mengkonsumsinya. Hilangkan mindset bahwa produk impor lebih berkualitas dibandingkan produk dalam negeri.

Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.