Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Limbah Sludge Oil di Bintan

Jangan Salahkan Angin Utara, Salahkan Kita yang Diam Saja
Oleh : Opini
Sabtu | 31-08-2019 | 13:49 WIB
tino.jpg Honda-Batam
Tino Rila Sebayang, S.IP., M.Si. (Foto: Ist)

Oleh Tino Rila Sebayang, S.IP., M.Si.

KALI ini, saya ingin menyajikan sebuah narasi empiris. Ya, pengalaman sejak tahun 1999 - yang
hingga saat ini masih terus terulang. Cerita itu selaiknya kisah yang tak pernah mengenal kata "akhir", dan terus membekas di memori kepala saya.

Bagaimana tidak? Limbah sludge oil di pesisir utara pulau Bintan, menggoreskan cerita yang kemudian bereproduksi menjadi sebuah problematika. Seolah, rakyat Bintan memiliki "musim tambahan" di setiap tahunnya, yaitu musim sludge oil di pesisir utara.

Kisah itu diawali dari ingatan yang masih jelas di kepala saya. Saat ayah saya yang turut terlibat dalam proses pembangunan, serta pembukaan tahap awal Kawasan Wisata Terpadu Lagoi di
kala itu.

Bermaksud untuk memperlihatkan, apa dan bagaimana pekerjaan seorang ayah yang bekerja di Departemen Kesehatan. Pengalaman itu menyisakan sebuah cerita, bukan soal bagaimana memberantas penyakit dan nyamuk endemik Malaria di sana. Melainkan sebuah ingatan, tentang pencemaran lumpur minyak hitam, yang menyelimuti pasir putih nan indah, di bumi negeri Lancang Kuning ini.

Kini, sejak saya mengenal dan mulai memahami sedikit persoalan tentang ancaman lingkungan
hidup. Atau setidaknya, empat tahun belakangan ini. Niat dan harapan saya mulai timbul -yakni, untuk berkontribusi dalam memberi ide serta gagasan, terkait limbah yang terkategori
sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) itu.

Bisa dikatakan, saya hampir lupa telah berapa kali menyuarakan ini di beberapa media lokal, khususnya di Bintan. Bahkan, jeritan atas kegelisahaan limbah sludge oil ini-pun - pernah saya presentasikan di hadapan kelompok akademisi lintas keilmuan, berlevel internasional.

Tentu banyak keprihatinan di raut wajah mereka. Para pegiat lingkungan hidup internasional yang sekitar 80 orang itu, mulai mempertanyakan - apakah Pemerintah Daerah dan negara Anda masih saja diam hingga saat ini?

Bermaksud untuk tidak menjatuhkan martabat bangsa, serta mencoreng nama baik dari tanah
kelahiran saya. Maka jawaban muncul dengan getir di lidah, bahwa negara dan Pemerintah
Daerah saya telah peduli, dan mencari solusi secara mati-matian untuk menanggulanginya.

Padahal, jauh di dalam benak dan ingatan saya, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat -
baru memperhatikan ancaman sludge oil ini sekitar 4 sampai 5 tahun belakangan. Dan,
beberapa langkah di dalamnya belum menuai hasil yang positif pula. Berawal dari kebohongan
kecil yang saya ucapkan di hadapan mereka, saya mulai berani untuk menuliskan kembali - ide
dan gagasan ini kepada kita semua yang ada di Kepri, khususnya di pulau Bintan.

Sebelum memulai bagaimana harapan yang akan saya sampaikan. Ada baiknya sedikit
menyinggung, bagaimana Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) di tahun 2017 kala itu, tidak
merespon pesan yang saya kirimkan melalui aplikasi Whatsapp.

Dengan maksud, untuk mendukung pemenuhan penelitian, saya menghubungi Kepala BLH Bintan - agar dapat difasilitasi terkait data dan bentuk upaya-upaya yang telah dilakukan. Alhasil, kerendahan hati dan tekad seorang peneliti seperti saya - tidak digubris sama sekali.

Cerita singkat barusan, bukanlah untuk menargetkan bagaimana personalitas seorang pejabat
Pemda. Melainkan bentuk penilaian obyektif, atas kekecewaan saya sebagai putra daerah -
yang tidak mendapatkan akses informasi tentang permasalahan di rumah saya sendiri.

Kemudian, dengan berbekalkan data dan informasi yang minim, jurnal itupun akhirnya laik
terbit, pada bulan April tahun 2017 yang lalu. Ya, sebuah jeritan anak pesisir Bintan - yang
sudah gerah dengan persoalan limbah laut yang mengotori tanah luhur bumi Melayu.
Apa itu Sludge Oil?

Perlu diketahui, bahwa limbah sludge oil itu merupakan senyawa kimia - yang dihasilkan dari
sisa-sisa bahan bakar kapal di laut. Saya sempat mewawancarai beberapa rekan saya yang
bekerja di industri pelayaran kapal cargo, tanker, dan chemical.

Mereka mengamini, bahwa kapal tempat mereka bekerja, kerap membuang sisa-sisa bahan bakar kapal di tengah laut internasional. Bahkan, lebih ironis lagi, kapal itu sering membuang beserta dengan tong-tong penampungan limbah sludge oil-nya.

Pertanyaannya, kenapa kapal-kapal itu tega membuang limbah bahan bakarnya di laut
internasional? Nah, berdasarkan penelitian studi pustaka yang saya lakukan dua tahun lalu.
Laporan dari International Maritime Organization (IMO), menjelaskan - bahwa kecenderungan
kapal-kapal dengan muatan besar membuang limbah sludge oil adalah, sebagai upaya
meminimalisir biaya limbah. Kapal yang berlayar dari Laut China Selatan, akan melewati
wilayah utara pulau Bintan (teritorial laut internasional).

Kemudian, sebelum memasuki kawasan Selat Singapura, limbah-limbah kapal akan dibuang di tengah laut internasional. Hal ini mengingat biaya yang cukup tinggi apabila sampah kapal (termasuk sludge oil) dibersihkan di pelabuhan Singapura.

Mungkin perlu menginvestigasi lebih lanjut, dari negara mana asal perusahaan yang mencemari laut internasional tersebut. Serta, perlu menelusuri lebih dalam, apakah pencemaran itu merupakan instruksi langsung dari pihak perusahaan, atau hanya sekadar "inisiatif tercela" dari awak kapal yang bertugas.

Jujur saja, jawaban atas pertanyaan itu belum mampu saya temukan - setidaknya dalam waktu
4 tahun belakangan ini. Sehingga, rasa penasaran itu masih terkungkung di pikiran rasional
saya sampai detik ini. Atau mungkin, ada pihak-pihak kita yang telah mengetahui jawabannya?

Maka melalui opini ini, saya berharap untuk bisa terus ditelusuri sampai ke akar-akar
permasalahannya. Namun, andai kata memang misteri itu bukanlah sesuatu yang perlu
dijawab, tapi setidaknya saya berharap "Stop Kotori Negeri Kami!", senada dengan visi
Kementerian LHK di panggung-panggung internasional, dengan mengkampanyekan: "Stop
buang limbah di negara berkembang!".

Terlepas dari investigasi atas siapa yang mencemari, dan dengan motif apa mereka
melakukannya. Setidaknya, melalui opini ini, saya ingin membuka cakrawala berpikir kita semua
- untuk berupaya mencari solusi alternatif yang ideal terhadap masalah tersebut.

Pasalnya, (sekali lagi saya tekankan) bahwa masalah limbah sludge oil ini telah terjadi selama dua dekade (atau jangan-jangan bisa lebih). Di mana letak kepedulian kita semua, sebagai elemen bangsa dan negara dalam upaya melindungi Tanah Air Ibu Pertiwi? Sekompleks Itukah Masalah Sludge Oil Sehingga Tak Mampu Diselesaikan?

Secara pribadi, saya mengapresiasi upaya Pemerintah Pusat melalui KemenLHK, beserta
jajaran Pemda dan Aparatur Keamanan Laut (TNI AL, Polair, dan KPLP) di Bintan. Seluruh
lembaga itu telah berupaya melakukan mitigasi, pembersihan, dan bahkan sampai patroli di
tengah lautan - demi upaya menyelesaikan permasalahan tersebut.

Namun, dengan logika kritis - dalam jurnal saya di tahun 2017 lalu, saya menuliskan bahwa "semua hal itu akan sia-sia untuk upaya penanggulangan".

Kenapa bisa? Ya, secara hukum laut internasional berdasarkan kerangka PBB dan IMO. Setiap
permasalahan yang mengancam wilayah teritorial negara tentu menjadi hak kita untuk
melindunginya. Tetapi, pencemaran limbah ini bukanlah permasalahan nasional. Kenapa
begitu?

Ya karena kapal tersebut mengotori laut internasional - yang artinya, hukum positif
Republik Indonesia tentang Keamanan Laut dan Lingkungan Hidup, tidak akan mampu
menjerat si pelaku. Perlu adanya instrumen hukum dan penindakan dengan melibatkan
kerangka yang lebih tinggi dan luas, yakni sistem internasional.

Lantas, apakah dengan begitu semua bisa terselesaikan? Ya, mungkin saja bisa! Harapan dan
solusi alternatif itupun sesungguhnya sudah pernah saya sampaikan di presentasi jurnal saya -
dengan mensyaratkan kemampuan diplomasi serta konstruksi isu ke level internasional.

Namun, hingga saat ini, upaya konstruksi isu melalui konsep sekuritisasi dan jalur diplomasi
publik - tampaknya belum menuai hasil yang positif. Sehingga wajar saja, pada April tahun 2019 lalu, limbah sludge oil itu masih menggenangi pesisir utara pulau Bintan.

Tak hanya sampai di situ. Bahkan, atas dasar rasa penasaran dan bentuk kekecewaan ini -
sejak tahun 2016, saya mulai giat memberi tanggapan melalui media lokal, di kala utara pulau
Bintan kembali dicemari oleh noda hitam itu. Beberapa tanggapan saya ada yang dimuat,
namun sebagian besar harus tertimbun di meja-meja redaksi - dengan alasan yang hingga saat
ini -pun belum saya pahami.

Pembaca mungkin menilai, bahwa tulisan saya - tidaklah penting untuk diangkat hari ini. Toh,
belum saatnya musim angin utara datang - jadi, untuk apa dibahas sekarang. Ya betul,
penilaian itu bisa saja saya terima, tetapi perlu diketahui - bahwa kapal yang disinyalir
merupakan milik perusahaan-perusahaan asing itu, akan terus membuang limbah sludge
oil-nya di setiap melintasi laut internasional.

Bukan bermaksud menakuti-nakuti, tinggal kita tunggu waktu musim angin utara datang, maka musim sludge oil -pun akan turut hadir bersama ombak-ombak di laut utara pulau Bintan ini.

Dalam jurnal saya, dengan tegas saya berani memberi tambahan rekomendasi. Di mana,
perumusan solusi alternatif yang dapat dilakukan oleh Pemda dan negara, adalah dengan
berani membawa wacana limbah sludge oil Bintan ke level internasional. Untuk membawa
wacana itu ke tatanan yang lebih tinggi, tentunya saya menggunakan landasan nalar
konseptual yang ajeg dan logis.

Di mana, Pemerintah Indonesia setidaknya telah meratifikasi 7 (tujuh) konvensi internasional,
yang di dalamnya berbicara tentang ancaman lingkungan laut dan maritim. Tak perlu saya
sebutkan ketujuh konvensi itu satu persatu di tulisan ini.

Intinya, penekanan terpenting pada jurnal saya adalah; kemampuan diplomasi negara dalam melakukan konstruksi isu di tatanan internasional. Proses dan segala tahapan konstruksi yang saya narasikan dengan komprehensif - menggunakan pendekatan studi Ilmu Hubungan Internasional. Atau secara spesifik, saya memakai teori sekuritisasi, yang dipadukan dengan strategi melalui jalur dan pilar diplomasi publik.

Lantas Kalau Negara Belum Bisa Hadir, Apa Kita Diam? Si pelaku (kapal-kapal asing), memang bukan membuang limbah di teritorial laut Indonesia, atau bahkan Zona Ekonomi Eksklusif kita. Namun, dengan alih-alih, bahwa musim angin utaralah yang salah - karena telah menghempaskan ombak lautnya, hingga membawa minyak hitam itu ke pesisir pulau Bintan - tidak akan mengurungkan niat dan semangat saya, untuk terus menyuarakan perilaku pencemaran ini.

Sehingga, meskipun negara belum mampu mengkonstruksi ancaman limbah tersebut - sebagai
persepsi ancaman bersama (internasional). Saya sebagai rakyat Bintan tak akan berhenti
sampai di situ. Begitu banyak jalan untuk menemukan solusi yang pas.

Selaiknya pepatah kuno mengatakan "many ways bring you to Rome". Yang artinya, begitu banyak jalan menuju Roma. Pepatah itulah yang menjadi alasan kuat saya - untuk menarasikan pengalaman tersebut dalam bingkai harapan, bagi tanah luhur negeri Lancang Kuning ini.

Meminjam sedikit konsepsi teoritik, potensi ancaman sebuah negara tidak lagi hanya sebatas
perang saja. Hal itu telah diperdebatkan pada ruang lingkup Ancaman Tradisional versus
Ancaman Non-tradisional, oleh para Ilmuwan Hubungan Internasional.

Persepsi dalam bingkai ancaman bagi sebuah negara - telah mengalami transformasi, setidaknya begitulah menurut kaum akademisi. Hal inilah yang dimaknai sebagai Keamanan Non-Tradisional bagi dunia global.

Di mana, aspek kehidupan bernegara dalam konteks globalisasi - memposisikan jenis-jenis ancaman kian beragam. Atau dalam buku-buku teori, juga dipahami dengan istilah hybrid security, yakni; ancaman campuran, yang di dalamnya terdiri dari berbagai bentuk dan aspek, salah satunya berkaitan dengan Human Security (Keamanan Manusia).

Merujuk pada konsep itu, saya melihat bahwa sludge oil Bintan - (setidaknya) sejak dua dekade
ini, berada pada konteks ancaman Non-tradisional. Yang artinya, kita bukan melawan aktor
negara dalam praktik perang senjata.

Melainkan perang wacana, untuk mengkonstruksi bahwa pencemaran limbah itu sebagai urgensi bagi dunia internasional. Pasalnya, degradasi lingkungan hidup terhadap biota laut, tentu akan terganggu akibat limbah itu.

Alih-alih atas skala ancaman lingkungan bukan lagi sebatas permasalahan nasional, maka negara-negara lain, atau bahkan aktivis lingkungan hidup lintas regional - harus turut terlibat di dalamnya.

Keterlibatan itu dapat saja diwujudnyatakan melalui berbagai bentuk; katakanlah
pendampingan, pengusutan, mitigasi, hingga pemulihan lingkungan yang telah rusak akibat
pencemaran yang telah terjadi sejak lama ini. Bagaimana Cara Kita Untuk Ikut Terlibat?

Pesan Bung Karno terhadap negeri ini, sedikit-banyaknya menyematkan kata "pemuda" -
sebagai pilar-pilar masa depan bangsa Indonesia. Bung Karno menitikberatkan, bahwa anak
muda Indonesia yang akan mengambil peran penting bagi kemajuan bangsa dan negara. Nilai
luhur itu yang menjadi salah satu titik semangat saya - untuk kembali menyuarakan kegelisahan
ini kepada masyarakat Kepri, khususnya di Bintan.

Di saat negara, Pemda, dan Aparatur belum optimal dalam melindungi halaman rumah kita -
maka, kita masih punya akal, tenaga, dan suara untuk dimanfaatkan. Utara pulau Bintan yang
menjadi halaman depan negeri ini, perlu kita lindungi secara bersama-sama.

Dengan cara apa kita bisa terlibat? Ya, tentunya masih secara konsisten saya menarasikan, bahwa pendekatan Ilmu Hubungan Internasional dapat digunakan sebagai salah satu solusi alternatifnya.

Studi Politik Internasional yang banyak dipelajari oleh para Sarjana Hubungan Internasional,
tentu belajar tentang dampak dan pengaruh gerakan sosial (social movement). Di mana, begitu
banyak sejarah dunia mencatat, bahwa wacana dan agenda peradaban dunia - telah dilakukan
melalui upaya gerakan sosial. Yakni, dengan menyuarakan aspek hidup berkeadilan, demi dan
bagi seluruh manusia di alam semesta.

Kita sebagai rakyat Kepri, khususnya di Bintan - juga merupakan bagian dari masyarakat
internasional. Melalui suara dan aspirasi cerdas yang lugas, dari mulut/tangan/dan isi kepala
anak muda bangsa Indonesia - harusnya kita mampu menyokong negara, dalam hal upaya
mengkonstruksi isu tersebut ke dalam tatanan yang lebih tinggi (yakni sistem internasional).

Tentu, cara itu bisa kita lakukan dengan berbagai bentuk. Katakan saja, ada sedikit niat dan hati kecil dari anak-anak muda di Kepri - untuk membentuk komunitas kecil peduli lingkungan hidup.

Yang mana, bentuk kegiatannya bisa saja dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu turut
serta membersihkan pantai, meneliti permasalahan lingkungan, hingga menjadi "lidah" bagi
para nelayan, serta masyarakat luas di Kepri - dalam hal mengaspirasikan persoalan-persoalan
lingkungan hidup.

Mungkin sedikit saya bandingkan, bagaimana masyarakat di pulau Bali bergotong-royong
membersihkan Pantai Kuta dari sampah yang membludak. Perlu diketahui, inisiatif itu bergerak
secara organik - tanpa harus selalu mengeluh dan melimpahkan masalah itu kepada Pemda
dan negara.

Harapannya, anak muda di Kepri sedikit sadar, kemudian mulai peduli, serta dilanjutkan dengan tindakan kecil yang berdampak besar bagi lingkungan hidup. Karena saya yakin, generasi milenial di Kepri, bukan sekumpulan orang yang pemalas dan pecundang - dalam hal melindungi keasrian lingkungan hidup di kampung halaman sendiri.

Belum lagi, limbah itu dipastikan berdampak negatif terhadap berbagai sektor, sebut saja sektor ekonomi sosial - yakni industri pariwisata dan perikanan, serta kelautan.

Lantas, siapa yang harus memulainya? Ya, terkadang pertanyaan itu menampar kita; pribadi
lepas pribadi. Perlu ditekankan, "Kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan
lagi?". Mungkin kalimat itu kerap dimaknai sebatas motivasi hidup yang "hambar", untuk kita
berani berbuat sesuatu.

Namun, sekadar mengingatkan, bahwa di Tanah Bumi Melayu - kita memiliki lembaga akademik yang paling membanggakan di negeri ini. Apa itu? Ya, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). Kenapa saya bilang membanggakan? Karena, hanya UMRAH -lah satu-satunya kampus di negara ini - yang secara berani menyematkan kata "Maritim" sebagai namanya. Penamaan "Maritim" itu, harusnya memiliki semangat filosofis bagi seluruh masyarakat yang ada di Kepri.

Harapannya, negeri bahari dengan ribuan pulau dan lautan yang begitu luas - telah membentuk
identitas bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana kita memang laik disebut sebagai Negara
Maritim.

Sehingga, UMRAH tentunya telah mewakili identitas bagi seluruh bangsa Indonesia,
melalui lembaga akademik yang terdidik - yakni berbasis Kemaritiman. Namun, akan sangat
menjadi ironis - apabila kampus yang menyematkan kata "Maritim" ini, belum berani mengambil
inisiatif besar dalam mengajak masyarakat menjaga laut kita? Atau setidaknya, menawarkan
solusi yang lebih strategis, bagi lingkungan hidup di sektor kemaritiman.

Kalimat tersebut pastinya sedikit menggelitik, tetapi motif dan tujuan saya bukanlah untuk
kepentingan pribadi maupun politis. Sejujurnya, saya memang telah lama menantikan, bahwa
UMRAH dapat mengajak kita semua, untuk terlibat secara langsung - khususnya, dalam upaya
penanggulangan serta penyelesaian masalah sludge oil di Bintan.

Dengan harapan, kampus yang "paling maritim" ini, menjadi startingtrack bagi negara - dalam menentukan formulasi strategis terhadap konsepsi pembangunan, keamanan, dan kelestarian laut di seluruh wilayah Nusantara.

Besar harapan itu, bahwa UMRAH dapat menginisiasi sebuah terobosan besar, dengan dimulai dari menjaga alam laut Bintan - yang paling terdekat dari seluruh masalah maritim yang ada di negeri ini.

Atau paling tidak, UMRAH dapat merilis satu penelitian lugas dan kritis, terkait strategi atas solusi Penanggulangan Limbah Sludge Oil di Bintan - agar kapal-kapal tak bertanggung jawab itu, berhenti mengotori laut dan tanah luhur di negeri Lancang Kuning ini. *

Penulis adalah Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pasundan Bandung & Founder Anthromedius Indonesia (Konsultan Politik Media dan Kebijakan Publik) di Bandung.