Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Papua Adalah Indonesia, Keberagaman adalah Anugerah
Oleh : Opini
Sabtu | 31-08-2019 | 08:28 WIB
anak-papua.jpg Honda-Batam
Senyum ceria anak-anak Papua. (Foto: Ist)

Oleh Rizky Alvin

NEGARA ini dibangun atas dasar perbedaan. Menghargai perbedaan merupakan kunci tercitpanya perdamaian. Sejarah mencatat bahwa tegaknya negara ini karena menghargai perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).

Tanpa pondasi tersebut, niscaya bangsa ini belum bisa lepas dari jeratan penjajahan. Maka, menjadi sangat ironi apabila perbedaan masih menjadi pemantik api kemarahan dan permusuhan antar sesama anak bangsa.

Baru-baru ini, bangsa Indonesia dihebohkan dengan isu pengusiran mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya. Atas dasar itu, masyarakat Papua terpancing emosinya. Bahkan luapan emosi tersebut diekspresikan dengan sejumlah insiden kerusuhan diberbagai wilayah di Papua yang seharusnya tidak perlu.

Lagi-lagi, sentimen berbasis SARA masih menjadi hantu paling menakutkan di republik ini. Bagaimana tidak, ketika kebebasan beragama, dan berekspresi dijamin oleh Undang-undang, justru ada segelintir orang yang masih memiliki niat keji dengan cara memprovokasi dan bahkan mungkin punya maksud lain.

Padahal, mereka sama-sama bangsa Indonesia, sebangsa dan setanah air. Aparat penegak hukum sudah cepat bergerak dan harus cepat pula mengungkap secara terang benderang motif dan siapa aktor di balik rangkaian peristiwa yang sudah tidak proporsioanal lagi yaitu itu adanya tuntutan Papua merdeka.

Tentu saja kita sangat prihatin atas kejadian tersebut. Ternyata sumbu-sumbu kebencian masih menjadi penyakit akut di republik ini. Tokoh bangsa yang selalu menyerukan perdamaian, ternyata hanya sampai di telinga saja.

Namun tidak bisa diinternalisasikan melalui laku dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak sampai hati menyaksikan apabila bangsa yang penuh dengan kekayaan suku, ras ini bercerai-berai. Kita harus waspada karena tidak menutup kemungkinan ada provokator baik dalam atau luar yang coba terus memporak porandakan bangsa Indinesia yang besar dan kaya ini.

Papua adalah Indonesia, Papua bagian dari NKRI yang tak terpisahkan sudah final. Pemerintah sudah maksimal terus menerus membangun Papua, Pemerintah Jokowi menaruh perhatian dan rasa sayang yang sangat besar kepada Papua.

Kita patut mengapresiasi kepala daerah yang menyerukan perdamaian. Gubernur Jawa Timur, Khoffah Indar Parawansa dan Walikota Surabaya menyampaikan permohonan maaf atas kejadian tersebut. Cara-cara seperti itu tentu menjadi suri tauladan bagi kita semua, bahwa kita harus menjadi bangsa yang lebar tangan.

Artinya, sikap tenggang rasa menjadi hal yang diutamakan ketimbang mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Sebab dengan permintaan maaf, diharapkan mampu meredam emosi. Namun pertanyaaannya sekarang, mengapa warga dengan mudahnya melontarkan kalimat rasis berbasis SARA?

Untuk menjawab hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijabarkan. Pertama, hilangnya sikap tenggang rasa di tengah-tengah kerukunan berbangsa dan bernegara. Di tengah corak keberagaman dan multi-religius, ternyata tidak diimbangi oleh sikap tenggang rasa yang tinggi. Sikap tenggang rasa hanya menjadi semboyan tanpa terpateri dengan baik melalui perilaku sehari-hari.

Kedua, gagalnya memahami warisan leluhur kita yang disimbolkan dengan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”. Justru yang ditonjolkan saat ini di ruang publik adalah sikap keangkuhan dan mengedepankan selera, saya, kamu, dan mereka. Sementara “kita adalah saudara” belum mampu menjadi jalan hidup demi terciptanya kerukunan berbangsa dan bernegara.

Jika para pewaris dan founding father kita masih hidup, tentu saja mereka akan menangis menyaksikan bangsanya sendiri tidak saling menghormati. Apa yang mereka wariskan ternyata belum mampu ditonjolkan dengan baik melalui perilaku dan sikap toleran.

Oleh sebab itu, jangan berharap bangsa ini akan menuai kerukunan dan perdamaian apabila masih belum mampu menginternalisasikan makna “Bhinneka Tunggal Ika”.

Untuk itu, kekerasan bermotif, ras, suku, agama dan antar golongan harus segera diakhiri. Dialog antar pemuka agama dan kepala suku, serta kepala daerah, dan juga lembaga pendidikan, harus segera dilakukan agar kekerasan, pengucilan, dan lain sejenisnya tidak boleh terjadi lagi.

Selain itu bangsa ini harus bersatu menghadapi semua cara dan upaya pihak manapun yang terus beruapaya merusak sendi-sendi kebangsaan Indonesia dengan menyebarkan paham-paham yang bertentangan dengan falsafah kita Pancasila, belum lagi upaya asing yang terus mencoba merusak tatanan budaya bangsa Indonesia guna kepentingan-kepentingannya.

Untuk itu, mari kita semua saudara sebangsa bergandengan tangan guna menjaga keutuhan bangsa dan menghadapi berbagai tantangan dan ancaman tesrebut, mari.l kita manfaatkan sarana media sosial dan media lainnya untuk menumbuhkan optimisme bangsa melalui konten- konten positip yang mengangkat keunggulan dan kehormatan bangsa. *

Penulis adalah pengamat politik dan Ketua GESIT Jogjakarta