Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Makin Terasa Berat 'Merawat' Indonesia
Oleh : Opini
Kamis | 22-08-2019 | 19:05 WIB
M-Zaenuddin1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Muhammad Zaenuddin. (Foto: Istimewa)

Oleh Dr H. Muhammad Zaenuddin SSi MSc

TERSENTAK kita melihat ribuan orang turun demo di Papua, aksi spontanitas terhadap 'solidaritas" yang dialami saudaranya di Surabaya dan Malang. Beribu ungkapan kita tanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Surabaya dan Malang, dan beribu kata pula kita bertanya mengapa ribuan orang turun demo di Papua.

Biasanya demo masif itu terjadi di ibu kota, di Jakarta. Telah ada berita dan konfirmasi tentang apa yang terjadi antara Papua dan Surabaya. Iyalah kata kita, tapi tak menyurutkan dahi kita bertanya apa yang sebenarnya terjadi antar kita?

Upacara bendera 17 Agustus tahun ini terasa beda. Saya pun khusuk dan larut rasa ketika turut menyanyikan Indonesia Raya. Itulah kita, rasa dan asa sebagai bangsa. Mari kita bela bersama!! Ingat kita pada ceceran darah dan pengorbanan nyawa para pejuang bagsa. Betapa mahalnya kemerdekaan kita.

Dulu, orang rela apa saja untuk pengorbanan sebuah bangsa. Siapa saja, tak peduli suku yang berbeda, agama dan keyakinan yang berbeda, demi tujuan bersama, untuk 'kita', memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Dulu, orang rela mengorbankan kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya, demi untuk kepentingan bangsa. Adalah 'rasa' yang telah menyatukan 'kita'.

Bilamana mau, dulu, tidaklah susah orang sekelas Bung Karno dan Bung Hatta untuk menerima kemewahan di zamannya. Cukuplah dia mengakui Belanda, maka jabatan terhormat telah menunggunya dengan segala fasilitas yang diterimanya.

Tetapi beliau-beliau dan para ksatria bangsa lainnya, bukanlah manusia yang biasa. Mereka sungguh luar biasa. Meninggalkan kemewahan, untuk sebuah cita-cita dan asa yakni kemerdekaan dan kemandirian sebagai sebuah bangsa. Indonesia masihlah khayalan dan mimpi di masa mereka.

Demi sebuah cita-cita luhur, meraka rela hidup di penjara, ancaman dan siksaan dari penguasa Belanda, diladeninya. Sungguh, pengabdian dan keikhlasan merekalah yang mengantarkan kita kepada sebuah bangsa.

Antara dulu dan kini. Bila dulu Indonesia ada, karena para pemimpin kita memberi contoh bagaimana mereka rela mengorbankan kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya untuk kepentingan bangsa dan negara. Mereka selalu berbicara untuk 'kita' Indonesia, bukan lagi berbicara 'kami' sebagai kelompok apalagi berbicara 'saya' atas nama diri dan keluarga. Bagaimana dengan kini?

Dulu, para pemimpin berbicara perjuangan dan pengabdian, kini para pemimpin berbicara tentang kepentingan dan 'kebutuhan'. Tak semua, memang, masih ada juga yang memiliki nyali idealisme dan semangat perjuangan. Meski tak banyak, memang.

Dulu, adalah biasa para pemimpin keluar masuk penjara Hindia Belanda, demi sebuah idealisme dan pengorbanan. Mereka rela mengorbankan kebebasan dirinya, untuk sebuah perjuangan. Kini, juga lumrah para pemimpin dan elit politik keluar masuk penjara. Namun bukan untuk sebuah idealisme perjuangan, tapi pragmatisme kepentingan. Mereka rela mengorbankan harkat dan martabat kepemimpinan, demi memenuhi ambisi dan keserakahan.

Di tengah ramai mereka berbicara keadilan dan kejujuran, tapi di tempat sepi mereka meminta suap dan tumpukan uang. Habislah kata dan diksi kejujuran, keadilan, idealisme dan pengorbanan. Mati sudah 'rasa' dan nurani kita. Tak sadar, bahwa anak cucu kita telah merekam dalam memori alam bawah sadar mereka.

Pragmatisme. Demi sebuah kekuasaan, apapun bisa dikorbankan. Masih belum hilang dalam memori kesadaran kita, betapa masifnya kobaran 'perang' selama pilpres dan juga episode pilkada. Seakan telah hilang jati diri yang luhur dari nenek moyang kita.

Di atas kertas, guru kita mengajarkan kerukunan dan persahabatan, tapi pemimpin politik kita 'menghancurkannya' dengan mengobarkan fitnah dan permusuhan. Anak-anak kita dididik agar senantiasa santun dalam ucapan dan tindakan, tapi elit politik dan pendukungnya selalu memviralkan kata-kata kasar dan cemoohan.

Tak sadar, bahwa anak-anak kita telah merekamnya dalam memori alam bawah sadar mereka. Pilpres dan pilkada adalah siklus politik lima tahunan, sebuah episode demokrasi yang biasa saja, yang seharusnya dihadapi dengan enjoy dan menyenangkan. Namun telah berubah menjadi momen yang 'menakutkan' dan 'menyeramkan'. Innalillahi.

Diksi agama sangat erat dengan filosofi keselamatan dan kebahagiaan. Yang mengajarkan persahabatan, perdamaian, rasa kasih sayang dan saling membantu, seakan telah terkalahkan, oleh diksi yang lain yang selalu diviralkan, kata-kata peperangan, jihad, dan perlawanan.

Para pelaku politik sebenarnya sadar, bahwa tidaklah bijak mengobarkan semangat kesukuan, kedaerahan, agama dan keyakinan demi untuk mencapai kekuasaan. Namun, demi akumulasi elektabilitas dan suara, mereka rela menepikannya.

Setidaknya terbukti, pasca pilpres, para pelaku dan elit politik telah cipika cipiki, seakan telah melupakan permusuhan politik, demi sebuah rekonsiliasi, katanya. Sebuah langkah baik, sebenarnya, untuk mempertontonkan keterbiasaan dalam panggung politik.

Sekarang bertarung, nanti kita berjumpa di warung. Dulu berkoalisi, sekarang berkompetisi, nanti bisaberkoalisi lagi. Singkat dan sederhana saja, pikiran mereka. Tak ada kawan maupun lawan, yang ada adalah kepentingan. Itu pikiran mereka, berbeda dengan pendukungnya. Rajutan persahabatan dan kerukunan masihlah kata-kata, tapi sekam permusuhan masih membara.

Tanpa disadari oleh mereka, energi negatif yang telah dikobarkan dan dimasifkan selama pilpres dan proses politik, telah terekam dalam alam bawah sadar anak negeri. Sekam permusuhan masihlah menyala, menunggu sulutan kobaran.

Bahkan rasa 'permusuhan' itu seakan telah terpatri dalam dalam nurani, serpihan 'ideologi'. Dahsyat memang, masing-masing diri sebenarnya telah merasakan. Lagu Indonesia Raya yang kita kumandangkan di HUT RI,  terasa beda, lebih menggetarkan batin, meneguhkan asa, di tengah rasa kekhawatiran. Masihkah Indonesia ada 20 tahun lagi?

Singkat kata, ajarilah anak negeri dan cucu bangsa dengan spirit perjuangan dan semangat pengabdian untuk negeri, seperti telah dicontohkan para pendiri bangsa ini. Keikhlasan dan kejujuran bukan hanya ungkapan di bibir dan bualan dalam pidato, tapi nyata dalam aksi dan tindakan.

Kepentingan diri, keluarga dan kelompok rela ditepikan untuk kepentingan kita, sebuah bangsa. Bukan sebaliknya, yang dipertontonkan sebagian elit kini, mengorbankan masyarakat, bangsa dan negara untuk memenuhi ambisi dirinya sendiri.

Ingatlah kawan dan sahabat, apapun, ucapan dan kata, tulisan dan ujaran, langkah dan tindakan, semuanya, akan terekam dan terpatri dalam alam bawah sadar anak negeri ini. Rekaman ini, yakinlah, suatu saat akan memunculkan diri, disukai maupun tidak, diinginkan maupun tidak. Waktu yang akan menjawabnya. Maka kini, jangan salahkan pelajar kita yang suka berantem dan tawuran karena mereka mencontohnya dari senayan.

Jangan salahkan antar kelompok saling mengolok dan menyalahkan, karena contoh telah tertontonkan. Jangan salahkan bila anak negeri gampang tersulut karena perbedaan, akibat para elit selalu mengobarkan permusuhan hanya karena perbedaan pandangan. Perbedaan suku, agama, ras, dan keyakinan yang dulu tabu dibicarakan, kini dengan frontal dibicarakan.Terasa hilang sepertinya rasa tenggang rasa, menghilangnya rasa sensitif bagaimana menjaga perasaan yang lainnya.

Masih adanya kita, sebagai sebuah bangsa, yakinlah, karena antar kita masih ada 'rasa' bersama, dulu, sekarang dan yang akan datang. Bila rasa itu hilang, entahlah, bagaimana Indonesia mendatang. Rasa bersama itu tetaplah ada, bila masing-masing kita menanamkan diksi 'kita' , dan menepikan semangat keegoan, menghilangkan diksi "kami' apalagi 'saya'. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melindungi bangsa dan negara kita. Wallahu a'lam.

Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Batam & Ketua PW ISNU Kepri.