Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bagaimana Mengelola Pembiayaan Bencana?
Oleh : Opini
Senin | 19-08-2019 | 18:04 WIB
edy-sutrisno-opini-2.jpg Honda-Batam
Edy Sutriono. (Foto: Istimewa)

Oleh: Edy Sutriono,S.E.,M.M.,M.S.E.

Bencana alam longsor, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, gempa bumi dan tsunami sering terjadi di beberapa wilayah tanah air. Terakhir gempa bumi yang berpusat di Banten beberapa pekan lalu dan terasa sampai Jakarta mengingatkan kita akan pentingnya mengelola pembiayaan dan asuransi risiko bencana.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menggariskan pada dasarnya pembiayaan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Dari sisi ekonomi, semakin sering terjadi gempa dan tsunami di Indonesia, semakin besar pula kerugian ekonomi yang ditimbulkan.

Menurut laporan Bappenas kerugian dan kerusakan gempa dan tsunami Aceh dan Nias (2004) mencapai Rp41,4 triliun, Padang (2009) sebesar Rp21,6 triliun, dan Yogyakarta dan Jateng (2006) mencapai Rp29,1 triliun. Sementara itu dampaknya terhadap PDB Indonesia rata-rata 0,3 persen setiap tahun yang digunakan untuk membiayai kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Angka tersebut secara ekonomi nasional memang tidak begitu menimbulkan guncangan ekonomi dan fiskal yang besar, namun bagi Pemerintah Daerah dapat mengganggu ekonomi lokal termasuk dalam pemulihan pasca bencana. Gempa bumi dan tsunami di Aceh berdampak bagi ekonomi nasional pada penurunan PDB tahun 2005 sebesar antara 0,1 - 0,4 persen, namun bagi Provinsi NAD berdampak terhadap PDRB mencapai 97 persen.

Lalu bagaimana mengelola pembiayaan bencana? Pembiayaan dalam menanggulangi risiko bencana yang dilakukan pemerintah selama ini masih pada pendekatan reaktif apabila terjadi bencana. Dana yang dialokasikan dalam APBN dan APBD oleh Pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana dalam bentuk dana siap pakai yaitu dana yang dicadangkan untuk dipergunakan sewaktu-waktu apabila terjadi bencana. Alokasi pembiayaan tersebut masih terfokus kepada masa tanggap darurat untuk pembiayaan penyelamatan dan evakuasi korban, pengurusan pengungsi, penyediaan pangan, tempat tinggal darurat, obat-obatan dan pemulihan sarana prasarana.

Pada saat tanggap darurat, dalam hal ini BNPB menggunakan dana siap pakai yang disediakan oleh Pemerintah tersebut. Sementara untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, masih harus dipikirkan lebih lanjut pembiayaannya karena memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Pendekatan reaktif tersebut harus mulai bergeser dan reorientasi menuju ke pendekatan yang bersifat proaktif. Untuk itu Pemerintah telah mempertimbangkan melakukan strategi dengan mengkombinasikan instrumen-instrumen pembiayaan risiko bencana melalui strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB). Kombinasi pembiayaan dalam PARB tersebut antara lain melalui: Pertama, alokasi dana APBN dan/atau APBD yang digunakan untuk pembiayaan bencana yang sering terjadi dan berdampak membawa kerugian kecil.

Instrumen ini sebagai alat pemerintah untuk menanggung risiko bencana. Kedua, melalui pembiayaan kontijensi sebagai pelengkap pembiayaan APBN/D untuk menanggung risiko sedang sampai tinggi. Dalam 12 tahun terakhir alokasi APBN untuk pembiayaan ini berkisar antara Rp2 hingga Rp4,5 triliun. Ketiga, melalui skema pooling fund untuk memperkuat peran APBN dalam menanggung risiko dan Keempat, asuransi untuk pembiayaan bencana yang jarang terjadi namun dapat memberikan dampak kerugian besar sebagai strategi pemerintah untuk mengalihkan atau mengantisipasi risiko. Risiko lain yang harus dikerjakan baik pemerintah pusat dan daerah adalah keterbatasan fiskal baik APBN dan APBD dengan sempitnya alokasi dana untuk menjalankan pembangunan yang telah direncanakan dan dialokasikan.

Hal yang baru dan proaktif yakni alokasi anggaran khusus dengan pembentukan dana khusus bersama (pooling fund) ditujukan untuk melindungi keuangan negara. Dana bersama bencana akan dikelola sebuah unit atau satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dana bersama tersebut sebagai komplemen dan sebagai instrumen untuk melindungi APBN serta memberikan nilai tambah melalui skema baru pembiayaan yang selama ini tidak dimiliki dalam alokasi APBN.

Pooling fund nantinya diharapkan merupakan dana dan upaya bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta/industri, asuransi, lembaga keuangan dan masyarakat dalam membiayai bencana dan risiko yang terjadi. Koordinasi, transparansi, akuntabilitas dan legalitas menjadi hal penting untuk mendukung pooling fund tersebut.

Hal baru kedua dalam pembiayaan bencana yakni program asuransi barang milik negara (BMN) khususnya gedung dan bangunan termasuk sarana dan prasarana vital, pendidikan dan kesehatan. Terakhir adalah perlindungan masyarakat dilakukan melalui program sosial yang dihubungkan dengan pooling fund untuk bantuan pasca bencana dan mendorong perlindungan rumah tangga, perikanan dan pertanian melalui asuransi baik yang dilakukan pemerintah maupun industri asuransi. Pemerintah akan memperkuat dan mengembangkan instrumen asuransi pertanian dan perikanan, membuka potensi skema pembiayaan alternatif, serta melakukan edukasi dan penguatan kapasitas pengelolaan pembiayaan dan asuransi risiko bencana.

Dalam cakupan regional, integrasi dengan pemerintah daerah dikoordinasikan untuk memastikan bahwa asuransi tidak akan mengganggu pendapatan asli daerah (PAD). Dapat dimaklumi mayoritas PAD berasal dari pajak kendaraan bermotor dan pajak pembangunan daerah sehingga diharapkan saat terjadi bencana sumber PAD tersebut hilang.

Hilangnya PAD seringkali menyulitkan pemerintah daerah dalam penanganan pasca bencana. Program asuransi dari aspek fiskal dapat membantu pemerintah daerah. Sementara di level desa, salah satu prioritas penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk penanggulangan bencana alam.

Salah satu contohnya apabila desa yang rawan bencana tanah longsor dapat menggunakan Dana Desa untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan bencana tanah longsor. Penggunaan Dana Desa untuk membiayai pencegahan bencana melalui peringatan dini (early warning system) dan membiayai pemulihan setelah terjadinya bencana tanah longsor. Demikian juga Dana Desa dapat digunakan untuk membiayai kegiatan Tanggap Darurat Bencana Alam pada saat keadaan bencana, darurat, dan keadaan mendesak.

Skema pengelolaan pembiayaan untuk bencana tentu terkendala dengan keterbatasan pendanaan dan lainnya, namun upaya bersama terus diupayakan semua pihak antara pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat guna mengurangi risiko dan dampak yang ditimbulkan dan tentunya berharap bencana tidak terjadi.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana
penulis bekerja.

Penulis adalah ASN Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepri