Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Potret Jakarta Menjelang Pergantian Ibukota
Oleh : Redaksi
Kamis | 08-08-2019 | 10:16 WIB
Dyah-BPS-Kelola.jpg Honda-Batam
Dyah Tari Nur'aini, S.ST, Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. (Dok Pribadi)

Oleh: Dyah Tari Nur'aini, S.ST

Jakarta tak lama lagi akan melepaskan predikatnya sebagai ibukota yang nantinya akan
dipindahkan ke Kalimantan. Hampir genap 74 tahun, Jakarta tak bisa lagi mempertahankan
gelarnya lebih lama sebagai ikon negara Indonesia.

Tentu bukan tanpa alasan, isu perpindahan ibukota memang sudah santer terdengar sejak lama. Namun nyatanya realisasi tak secepat merebaknya isu. Baru di tahun 2019 ini, rencananya pada hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus nanti Presiden akan membacakan putusan perpindahan ibukota.

Jakarta tak sendirian, sudah ada lebih dari 10 negara yang lebih dulu mengganti ibukota
negaranya. Tentu dengan persoalan dan pertimbangan masing-masing. Negara-negara
tersebut bisa dibilang sukses dalam proses pemindahan ibukota.

Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia?

Alasan perpindahan ibukota lagi-lagi persoalan Jakarta yang sudah dinilai tak layak jika terus dipaksakan menjadi Ibukota Negara. Segala carut marut mulai dari kehidupan geografis, sosial, kependudukan, terlebih lagi soal perekonomian.

Untuk saat ini, AirVisual menempatkan Jakarta sebagai peringkat dunia pertama kota terpolusi di dunia. Tak mengherankan, banyaknya asap kendaraan menjadi pemicu utama.
BPS mencatat terdapat lebih dari 16 ribu jumlah sepeda motor di Jakarta, di mana jumlah tersebut merupakan yang terbanyak di antara provinsi lain di Indonesia. Belum lagi kendaraan roda empat, serta angkutan umum.

Melihat mirisnya situasi di Jakarta, sudah selayaknya jika ibukota dipindahkan, sementara Jakarta dibenahi.

Mungkin jarang ada yang menyadari bahwa Jakarta adalah provinsi terkecil di Indonesia, yakni menurut data Badan Pusat Statistik luasnya hanya sebesar 0,03 persen dari total luas Indonesia. Sayangnya dengan luas yang kecil tersebut, Jakarta justru menjadi provinsi dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia yakni 15.764 jiwa per Km2.

Sungguh sangat padat sehingga tidak aneh jika banyak bermunculan pemukiman padat penduduk hingga pemukiman kumuh. Bahkan angka persentase rumah tangga dengan sumber air minum layak di Jakarta menempati peringkat terendah yang hanya sebesar 17, 91 persen.

Sekitar 5 juta pekerja memilih mengadu nasibnya di Jakarta. Selama ini Jakarta seakan menjadi magnet yang menarik para pencari kerja, baik yang memiliki keahlian dan modal maupun yang tidak. Tak heran jika tercatat banyaknya pengangguran di Provinsi DKI Jakarta hingga mencapai lebih dari 279 ribu orang pada Februari 2019.

Sementara jika dilihat dari angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yakni sebesar 5,34 persen, melebihi TPT nasional 5,01 persen.

Salah satu daya tarik bekerja di Jakarta diantaranya perolehan gaji dengan standar lebih besar dibandingkan bekerja di daerah. Tercatat UMR di Jakarta memiliki nominal yang paling besar dibandingkan provinsi lain yakni sebesar 3.940.973 per bulan, sementara rara-rata UMR di Indonesia sebesar 2.450.092 per bulan. Upah pegawai juga menjadi yang paling besar yakni 4.486.487 rupiah per bulan, di mana tidak ada provinsi lain dengan upah pegawai diatas 4 juta.

Hal itu menjadi salah satu daya tarik untuk bekerja di Jakarta. Namun sayangnya, mereka yang datang tanpa pendidikan dan pengalaman yang memadai bukannya merasakan upah besar namun harus berjuang hidup di perantauan. Sedikit lebih baik keadaan perantau yang memiliki keahlian, mereka dapat membuka usaha kecil informal untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tercatat persentase Usaha Mikro Kecil (UMK) di Jakarta mencapai 98,78 persen dari keseluruhan total jumlah usaha di Jakarta. Hal ini menunjukan hampir semua usaha di Jakarta didominasi oleh sektor mikro kecil.

Dengan adanya perpindahan Ibu Kota ke Kalimantan diharapkan pemerintah tidak hanya
gencar melakukan peningkatan untuk wilayah Kalimantan saja, tetapi juga fokus untuk
melakukan perbaikan di wilayah Jakarta. Kalimantan juga tentunya harus bisa berkaca dari Jakarta, tidak mengulangi lagi pencapaian negatif yang terjadi di Jakarta.

Penulis adalah Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.