Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kecurangan Pemilu 2019, Fakta atau Tudingan?
Oleh : Redaksi
Selasa | 25-06-2019 | 14:52 WIB
gedung-mk4.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. (Foto Ist)

Oleh Andreas Tahitu

DRAMA politik di Indonesia bahkan masih berlanjut meski KPU telah mengumumkan secara resmi bahwa Paslon Jokowi-Ma'ruf adalah pemenang Pilpres 2019. Namun hal tersebut ternyata tidak bisa diterima oleh semua pihak, bahkan tudingan pemilu curang masih santer digembar-gemborkan, hingga akhirnya BPN membuat tim Hukum untuk mengajukan sidang gugatan sengketa hasil pemilihan umum ke MK.

Namun, mantan anggota KPU, Sigit Pamungkas mengatakan bahwa ada 3 syarat untuk menentukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM), dalam Pemilu 2019. Sigit menilai ketiga syarat itu sulit dibuktikan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.

Sigit Mengatakan ada dua jenis kecurangan, yakni kecurangan TSM yang bisa dikuantifikasi dan yang tidak. Salah satu cara untuk mengkuantifikasi hal tersebut menurutnya adalah kecurangan yang terjadi pada 50 persen jumlah provinsi di Indonesia. "Yang bisa dikuantifikasi itu haruslah memenuhi syarat terjadi di 50 persen jumlah provinsi yang ada," tutur Sigit.

Mantan Komisioner KPU tersebut juga menjelaskan syarat lain untuk menyebut kecurangan TSM adalah ada satu entitas yang menggerakkan praktik lancung tersebut. Terakhir, perlu dibuktikan bahwa ada dokumen pendukung yang berisi perencanaannya. Apabila ketiga unsur tersebut tidak bisa dipenuhi semuanya, maka sangat tidak mungkin salah satu calon dapat membuktikannya.

Dalam kesempatan berbeda, Tim Hukum Prabowo-Sandiaga telah menyampaikan dugaan adanya kecurangan di Pilpres 2019. Sehingga membuat pasangan nomor urut 02 ini dirugikan. Bahkan Tim Hukum Prabowo-Sandiaga menyebut adanya dugaan kecurangan di Pilpres ini bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Sehingga pihaknya menginginkan agar paslon nomor 01 Jokowi-Ma'ruf Amin didiskualifikasi.

Pernyataan tersebut dapat dibantah jika kita merujuk kepada penjelasan Pasal 286 ayat (3) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, perihal 'terstruktur' menunjukkan pelanggaran yang dilakukan secara kolektif atau secara bersama-sama. Dalam konteks tersebut, tentu harus dibuktikan dalam dua hal, yaitu adanya meeting of mine diantara para pelaku pelanggaran sebagai syarat subyektif, dan adanya kerjasama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mine diantara para pelaku pelanggaran sebagai syarat objektif secara kolektif atau bersama-sama.

Dari penjelasan tersebut kita tentu tahu bahwa bukti akan adanya pelanggaran yang sistematis harus menunjukkan bukti akan perencanaan secara matan, tersusun bahkan sangat rapi. Hal ini juga dikenal dengan istilah dolus premeditatus yang mensyaratkan beberapa hal dan tentunya harus dibuktikan.

Misalnya apa substansi perencanaan, siapa yang melakukan perencanaan, kapan dan dimana. Kemudian dalam keterkaitannya dengan 'terstruktur' perlu juga dibuktikan siapa yang melakukan kecurangan tersebut, kapan dan dimana harus menunjukkan secara pasti untuk terjadinya meeting of mine dan kerjasama yang nyata.

Saksi ahli dari Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, perihal masif mensyaratkan dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian. Artinya, harus ada hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampaknya. Konsekuensi lebih lanjut hubungan kausalitas itu haruslah dibuktikan.

Misalnya saja, Tim Hukum Prabowo-Sandiaga, menunjukkan beberapa peristiwa, kemudian menggeneralisir bahwa kecurangan terjadi secara terstrutktur, sistematis dan masif. Padahal, untuk mengetahui apakah berbagai pelanggaran tersebut harus dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan.

"Sehingga pelanggaran yang terstruktur dan sistematis haruslah menimbulkan dampak yang masif, bukan untuk sebagian tetapi sangat luas," tuturnya.

Oleh sebab itu, Tim Hukum Prabowo-Sandiaga masih sebatas menyatakan dugaan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu secara TSM, namun belum bisa dibuktikan.

Atau mungkinkan kubu Prabowo-Sandi sudah kehilangan amunisi untuk meraih kemenangan, sehingga tudingan-tudingan semakin deras digencarkan, namun ternyata bukti-bukti dan saksi dari tim Hukum Prabowo-Sandiaga seakan hanya bersandiwara di ruang sidang MK.

Bagaimanapun juga, curang atau tidaknya pemilu 2019 akan terbukti dalam persidangan MK, masyarakat tentu jangan sampai mudah terprovokasi oleh berita berita yang sensasional seperti berita tentang 7 kontainer surat suara yang sempat heboh tapi ternyata hanya hoax yang berupaya dalam mendelegitimasi KPU.*

Penulis adalah Pengamat Masalah Politik