Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Aktualisasi Prinsip Humanisasi Gus Dur di Era Milenial
Oleh : Redaksi
Rabu | 06-03-2019 | 19:28 WIB
gus-dur.jpg Honda-Batam
Kyai Abdul Rahman Wahid alias Gus Dur. (Foto: NU)

Oleh Siti Lailatul Azizah

INDONESIA sebagai Negara berkembang telah berdiri kokoh diatas keberagaman suku, agama, dan ras sejak dulu. Pada sistem kehidupan dan bernegara, Indonesia menerapkan sistem demokrasi sampai saat ini. Pada setiap negara, sistem demokrasi akan berbeda-beda sesuai ruh tempat asal-muasalnya.

Namun, dalam prakteknya ruh demokrasi tetap sebagai upaya menempatkan manusia sebagai subjeknya. Lantas, sudahkah sistem demokrasi di Indonesia telah dilaksanakan sesuai ruhnya atau malah ingkar dengan ruh dari demokrasi itu sendiri?

Di tahun politik ini salah satu wujud pesta demokrasi adalah kampanye. Kampanye sebagai alat kelengkapan demokrasi berupaya mempromosikan diri visi dan misi calon presiden dan wakil presiden melalui program-programnya. Era milenial kini pun peran media dalam kampanye dan komunikasi massa sangat menjanjikan.

Berdasarkan data wearesocial.com, Indonesia dalam hal waktu penggunaan internet menempati peringkat keempat dunia dengan durasi rata-rata menggunakan internet selama 8 jam 51 menit setiap harinya. Indonesia hanya "kalah" dari Thailand yang memiliki durasi 9 jam 38 menit, kemudian Filipina 9 jam 29 menit dan Brazil dengan 9 jam 14 menit. Peringkat Indonesia ini melampaui negara-negara maju seperti Singapura yang memiliki rata-rata durasi 7 jam 9 menit, Tiongkok 6 jam 30 menit, Amerika Serikat 6 jam 30 menit dan Jerman 4 jam 52 menit.

Media massa berfungsi sebagai sosialisasi visi dan misi calon presiden dan wakil presiden. Media berperan juga dalam meningkatkan kualitas rujukan masyarakat dalam menerima dan mempertahankan sistem nilai atau sistem politik yang tengah berlangsung.

Namun esensi media saat ini mulai terkikis nilainya oleh kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Nilai kebenaran media satu dengan media lainnya menjadi berbeda tergantung titik-titik kepentingan yang diangkat dan keberpihakan media tersebut. Dampaknya informasi yang disampaikan tidak seimbang dengan nalar kritis masyarakat sebagai konsumen informasi kurang memenuhi. Hal ini menyebabkan kampanye yang damai dan berkualitas semakin mengikis dengan menurunnya nilai-nilai kemanusiaan.

Pesta demokrasi politik ini seharusnya mengarah setiap individu untuk saling bergotong-royong menuju pembangunan nasional sesuai cita-cita luhur bangsa. Pada titik ini, pesan almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur perlu diaktualisasikan yakni makna kalimat bijak “Yang terpenting dalam politik adalah kemanusiaan”.

Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang semestinya mengalir dalam nadi perpolitikan kita. Jangan sampai tahun politik ini malah memecah belah persaudaraan yang telah mengakar dalam simbol persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ‘Bhinneka Tunggal Ika’.

Semangat dari nilai-nilai kemanusiaan demi pembangunan nasional yang berkelanjutan perlu dihadirkan dalam setiap kampanye bukan malah ujaran-ujaran kebencian dan informasi hoax menjatuhkan lawan yang mengakibatkan dehumanisasi berujung umpan konflik.

Gus Dur sebagai salah satu tokoh fenomenal baik melalui kata-katanya maupun kebijakan-kebijakannya memberi pelajaran penting bagi perpolitikan di negeri ini. Setiap langkah dan kebijakan-kebijakan strategis beliau termasuk dalam berpolitik selalu mengandung misi kemanusiaan di dalamnya.

Pesta politik ini seharusnya menjadikan alat pemersatu masyarakat menuju pembangunan nasional lebih maju dengan belajar dari pengalaman masa lalu.

Bangsa kita sudah bisa merdeka dan berdiri kokoh diatas keberagaman suku, agama, dan ras dengan usaha-usaha para pahlawan kita terdahulu. Selanjutnya generasi saat ini diwarisi untuk menjaga persatuan dan kesatuan, maka tidak semestinya ajang perpolitikan ini memecah belah hanya karena berbeda pandangan politik.

Kampanye dengan tetap mengedepankan prinsip humanisasi kiranya dapat mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Jika pemilu ini ada yang mengaitkan dengan agama, suku, dan ras, maka itu adalah hal yang salah dan upaya memecah belah bangsa. Padahal agama, suku, dan ras ini derajatnya lebih tinggi dari perpolitikan bangsa ini.

Proses kampanye sebagai alat demokrasi selayaknya menyadarkan diri setiap individu bahwa roda pemerintahan yang dijalankan seorang pemimpin adalah demi terwujudnya cita-cita nasional.

Negara kesatuan yang dibangun bersama-sama ini tidak tersaji atas kepentingan etnik maupun golongan tertentu, tidak bersifat temporer dan untuk sementara waktu, melainkan berdiri tegak dan kokoh diatas nilai-nilai etika kebangsaan yang menyangkut nilai persatuan dan kesatuan untuk mengakomodasi berbagai perbedaan dan berbagai konflik kepentingan.

Oleh karena itu prinsip kemanusiaan dalam mengawal setiap proses pemilu adalah tugas bersama baik pemerintah, pers, maupun masyarakat. Perselisihan dan perbedaan kiranya segera diakhiri demi mengembalikan ruh demokrasi dan aktualisasi ‘Bhinneka Tunggal Ika’.

Ruh demokrasi kita tujuannya adalah memanusiakan manusia, bukan menjadikan manusia sekedar obyek berambisi kekuasaan.*

Penulis adalah mahasiswa PTS di Jakarta