Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebijakan Penghapusan Bea Masuk Produk Pangan

DPP SPI: Kebijakan Pemerintah Gusur Produksi Lokal
Oleh : Andri Arianto
Jum'at | 21-01-2011 | 19:13 WIB

Jakarta, batamtoday - Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI) mendesak pemerintah segera mencabut keputusan pembebasan bea masuk bahan pangan impor. Pasalnya, kebijakan itu dinilai hanya sebuah kepanikan tanpa mempertimbangkan peningkatan produksi petani Indonesia.

Henry Saragih, Ketua Umum DPP SPI menegaskan bahwa, penghapusan bea masuk terhadap 59 produk impor bahan baku pangan merupakan babak kedua penghancuran pertanian di Indonesia setelah kesepakatan Letter of Intens (LI) Pemerintah RI dengan IMF pada 1998 silam.

Ketika itu, Pemerintah Indonesia tunduk di bawah IMF antara lain melaksanakan Privatisasi, deregulasi dan liberasasi. Dampaknya, Indonesia dibanjiri produk pangan dari luar dan terjadi penurunan bea masuk impor produk pangan menjadi nol persen.

Dicontohkannya, Indonesia harus mengimpor 70% kedelai untuk kebutuhan nasional dari sebelumnya yang hanya 30% serta harus melakukan impor beras dan berbagai produk pangan lainnya, padahal pada masa-masa sebelumnya Indonesia selalu mampu mencukupi kebutuhan pangan pokoknya itu.

Dalam perkembangan terakhir ini pemerintah telah menyetujui pembebasan bea masuk nol persen untuk 59 pos tarif bahan baku (komoditas pangan), termasuk di dalamnya pakan ternak, terigu (gandum) dan beras impor, dengan dalih untuk menstabilkan harga pangan.

"Saya pikir itu akal-akalan pemerintah. Kami menolak kebijakan tersebut," katanya.

Henry mencontohkan, krisis pangan yang terjadi di dunia saat ini telah meningkatkan keuntungan perusahaan agribisnis atau perusahaan perdagangan produksi pertanian, rata-rata hampir 100% dari tahun sebelumnya. Adapun Perusahaan-perusahaan yang sangat mendominasi penguasaan bahan pangan dan pendukung produksi pertanian di dunia itu diantaranya Bunge (USA), Cargill (USA), Nable Group (Singapore), Potas Corp. (Canada), Mosaic (USA), Yara (Norwegia), Monsanto, Syngeta, Bayer dan DOW.

“Krisis pangan ini sebenarnya lebih dipengaruhi oleh ulah para spekulan dan kartel-kartel pangan dan diperparah lagi besarnya pasokan bahan pangan untuk agrofuel dan pakan untuk industri ternak,” kata Henry dalam rilisnya. Menurutnya,  dengan adanya pembebasan bea masuk tersebut, Indonesia saat ini sudah terjebak dalam jeratan perdagangan bebas pangan sehingga negara ini akan sulit memiliki harapan untuk membangun kemandirian apalagi kedaulatan pangan.

Henry menjelaskan, ancaman krisis pangan adalah akibat dari implementasi perdagangan bebas pangan yang utamanya diciptakan oleh World Trade Organization (WTO), yang ironisnya, Indonesia adalah salah satu negara yang utama meratifikasi ketentuannya. Selain itu juga begitu besarnya bahan-bahan pangan yang dipasok untuk kebutuhan agro fuel dan pakan ternak (industrialisasi ternak) serta akibat dari terjadinya perubahan iklim (climate change).

“Tapi yang selama ini hanya didengungkan pemerintah, krisis pangan adalah akibat dari terjadinya perubahan iklim dan tidak seimbangnya produksi pangan dengan pertumbuhan jumlah penduduk,” katanya.

Padahal, lanjut, Henry, perubahan iklim dapat disiasati dengan melakukan inovasi pertanian dan hasil produksi pangan menurutnya masih jauh lebih besar dari kebutuhan jika saja tidak dimanipulasi oleh perusahan dan spekulan tersebut.

SPI sendiri, kata Henry, sebenarnya sudah berulang kali mengusulkan solusi yang komprehensif kepada pemerintah dalam upaya membantu membangun kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Diantaranya mendesak pemerintah segera meredistribusi lahan terlantar dan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan perkebunan dan kehutanan sebagai tanah obyek landreform agar dimanfaatkan keluarga-keluarga petani dengan mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah.

Selanjutnya, SPI mengusulkan agar peran Bulog harus ditegakkan kembali sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan stok pangan, terutama bahan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Serta meminta pemerintah agar mengambil langkah tegas mencegah terjadinya manipulasi hasil dan produksi pertanian oleh perusahaan dan para spekulan karena sangat merugikan petani dan masyarakat luas.