Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Cuitan Dubes Arab Saudi
Oleh : Redaksi
Selasa | 04-12-2018 | 17:57 WIB
ilustrasi-twitter.jpg Honda-Batam
Ilustrasi twitter. (Foto: Ist)

Oleh Alexander Yuza

PEMERINTAH RI melalui Kementerian Luar Negeri memprotes cuitan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osamah Muhammad Al Shuaibi di media sosial. Hal ini dianggap tidak sesuai prinsip hubungan diplomatik kedua negara. Sebagai bentuk protes, Wakil Duta Besar atau Kuasa Usaha Sementara Kedutaan Saudi di Jakarta sudah dipanggil ke Kementerian Luar Negeri pada Senin (3/12/2018).

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj memprotes tindakan Osamah Muhammad Al Shuaibi karena telah mencampuri urusan politik Indonesia lewat cuitan Twitternya.

Menurut Said Aqil Siraj, Dubes Osamah mencuit dalam Bahasa Arab dan menyebut Reuni 212 yang digelar di Monas pada Minggu (2/12) lalu merupakan reaksi atas pembakaran bendera Tauhid oleh organisasi yang sesat. Namun, cuitan itu kemudian dihapus Osamah. Informasi ini dibenarkan oleh seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri.

Walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan nama organisasi yang sesat, namun pada faktanya pembakaran bendera HTI dilakukan oleh anggota Banser.

Cuitan Dubes Osamah dinilai telah melecehkan kedaulatan bangsa karena mencampuri urusan domestik Indonesia. Selain itu, Said menyatakan bahwa Dubes Osamah telah melakukan fitnah dengan mengatakan organisasi yang melakukan pembakaran bendera HTI tersebut sebagai organisasi sesat.

Cuitan Osamah Tidak Sesuai Fakta

Dalam cuitannya yang berbahasa Arab, Osamah menyatakan bahwa reuni 212 dampak pasca pembakaran bendera tauhid oleh organisasi yang sesat. Hal ini tentu merupakan cuitan yang tidak berdasarkan fakta di lapangan.

Pertama, kegiatan reuni 212 bukanlah dampak dari pembakaran bendera yang dianggap bendera tauhid, namun lebih menitikberatkan pada agenda kampanye (politik) salah satu Paslon dibalut dengan kain agama Islam.

Agenda politik yang dirasakan dalam pelaksanaan kegiatan reuni 212 bukanlah menjadi hal yang rahasia. Dalam ceramahnya, Rizieq Shihab menghimbau masyarakat untuk memilih pemimpin pilihan ulama. Secara langsung, Rizieq Shihab tidak menyebutkan Paslon namun tidak terelakkan bahwa himbauan tersebut sudah jelas.

Kedua, kegiatan reuni 212 memiliki struktur kepanitiaan secara lengkap. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut dan mendalam, didapati fakta bahwa sebagian besar panitia merupakan anggota Timses Prabowo-Sandi ataupun kader Gerindra dan PKS.

Sebagai contoh, Ketua Presidium Alumni Aksi Bela Islam 212 Slamet Maarif merupakan Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi. Tak hanya itu, sebagian panitia reuni 212 terdapat nama-nama dalam struktur Tim BPN Prabowo-Sandi. Koordinator Dewan Pengarah Reuni Akbar 212 Yusuf Muhammad Martak menjadi dewan pengarah BPN.

Selain itu, Anggota Divisi Acara Reuni Akbar 212 Neno Warisman merupakan Wakil Ketua merangkap Juru Kampanye BPN, Bendahara 1 Reuni Akbar 212 Haekal Hasan dan Wakil Ketua 1 Reuni Akbar 212 Muhammad Al Khathath merupakan juru kampanye BPN.

Ketiga, pernyataan bendera tauhid dibakar oleh organisasi yang sesat merupakan suatu kontradiksi dengan hal yang terjadi di Arab Saudi (negara Osamah). Hal ini aneh, bagaimana bisa di negara asalnya, bendera tersebut dilarang karena merupakan bendera yang digunakan oleh kelompok terorisme, namun Dubes Osamah menyebutnya dalam cuitan sebagai bendera tauhid. Hal ini tentu sangat janggal.

Cuitan tersebut mengarah pada upaya Arab Saudi untuk melakukan intervensi melalui provokasi supaya situasi dan kondisi nasional terganggu.

Tindak Lanjut Pemerintah Indonesia

Meninjau cuitan Dubes Osamah tentunya pemerintah perlu mengambil sikap tegas. Said Aqil Siraj mendorong Pemerintah Indonesia sebagai negara yang berdaulat untuk mengirimkan nota protes ke Kerajaan Saudi Arabia untuk menarik Osamah.

Langkah ini perlu dilakukan sebagai bukti integritas bangsa dan negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat dengan tidak ada satu negarapun berhak untuk mencampuri urusan domestik Indonesia.*

Penulis adalah Pengamat Politik dan Hubungan Internasional