Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membedah Baliho 'Raja Jawa'
Oleh : Redaksi
Selasa | 20-11-2018 | 11:16 WIB
raja-jokowi.jpg Honda-Batam
Poster Raja Jawa yang sudah dibersihkan. (Foto: Ist)

Oleh Rahmat Kartolo

SUDAH menjadi rahasia publik jika para pengejar tahta menjadikan politik yang bersangkutan dengan urusan kekuasaan, bukan lagi sebagai sarana untuk mewujudkan gagasan atau pemikiran akan kehidupan rakyat serta bangsa.

Maka, untuk mendapatkan simpati dari rakyat mengurangi pembangunan kekuatan (machtsvorming) kepada rakyat yang menyadari bahwa ini hanyalah tipuan belaka demi sebuah hak pilih atau vote.

Hujatan politik ekonomi berubah menjadi zero sum game, win or lose dimana zero sum game merupakan keuntungan yang didapatkan oleh seorang peserta dari kerugian peserta lain untuk menentukan menang ataupun kalah. Berbagai strategi dan taktik digunakan demi sebuah kemenangan, bahkan sampai menghalalkan segala cara dengan konsekuensi. Salah satunya yaitu black propaganda atau kampanye hitam.

Tujuan dari kampanye hitam yaitu demonstrasi yang menurunkan lawan dengan membuat karakter dari lawan tampak buruk di mata pemilih.

Dalam pilpres 2014, Joko Widodo dipropagandakan gelap sebagai seorang anti Islam dan turunan PKI. Tabloid Obor Rakyat disebar besar-besaran di sejumlah pesantren yang dijadikan sebagai jalur utamanya.

Sekarang ini instrumen hukum, baik undang-undang yang sebagai landasan, Kepolisian dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah cukup ketat mengontrol bentuk-bentuk dari kampanye hitam. Sudah banyak pelaku dari kampanye hitam yang pada akhirnya mendekam di dalam penjara.

Rakyat juga sudah pintar dan waspada dalam mengenali bentuk dari kampanye hitam yang brutal atau vulgar. Bukannya termakan propaganda hitam, justru rakyat semakin bersimpati kepada korban tersebut.

Tampaknya hal tersebut membuat para pelaku strategi kampanye hitam mencari cara lain agar dapat lolos dari jerat hukum serta dapat membuat rakyat menerimanya dengan tanpa sadar.

Beredarnya alat peraga kampanye (APK) ilegal yang berupa stiker, baliho serta poster di Jawa Tengah diduga merupakan wujud jurus baru kampanye hitam terhadap Joko Widodo.

Dalam APK yang disebar-luaskan di Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Tengah menggambarkan Joko Widodo yang menggunakan mahkota dan baju kebesaran seorang raja.

APK tersebut dibuat seolah-olah yang mengeluarkannya adalah PDIP. Pada kenyataannya baik dari DPD PDIP Jateng, DPP PDIP, Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Kerja (TKN KIK) tidak memproduksi APK yang berkonten menyesatkan seperti itu.

Konten APK kampanye hitam ini dilakukan sehalus mungkin dan tidak ada kalimat penyerangan, yang ada hanyalah foto Joko Widodo yang menggunakan pakaian raja. Tetapi siapapun yang melihat alat peraga tersebut pasti akan merasakan citra jahat tentang Joko Widodo.

Karena dalam konteks adab demokrasi sosok raja yaitu negatif sebab kekuasaan yang diperoleh tidak melalui Pemilu. Kekuasaan raja bersifat pribadi dan akan diganti setelah raja tersebut meninggal.

Berikut 3 tujuan yang dibuat dalam strategi false flag demonization atau kampanye hitam dengan bendera palsu:

1. Membuat seseorang percaya bahwa di balik propaganda hitam itu berasal dari kubu Joko Widodo
2. Menyerang 2 musuh sekaligus yaitu Jokowi sebagai capres dan PDIP sebagai partai pesaing di dalam Pemilu
3. Memecahkan persatuan Koalisi Indonesia Kerja sebab Joko Widodo dikampanyekan terpisah dengan KH Ma’ruf Amin

Jika Anda memperhatikan dengan seksama tentang jalannya perang narasi dalam kampanye Pilpres tersebut maka Anda akan memahami bahwa menyimbolkan Joko Widodo sebagai raja merupakan kelanjutan dari narasi negatif Joko Widodo anti demokrasi sejak beberapa tahun belakangan ini.

Narasi tersebut dimulai dengan kampanye hitam bahwa Joko Widodo tidak menghendaki lawan yang tangguh dalam Pilpres, karena hal itu koalisi Pilpres mengatur agar hanya mengarah ke dua kutub melalui aturan presidential threshold atau ambang batas presiden tinggi.

Selanjutnya di dalam propaganda hitam, Joko Widodo dituduh tidak ingin bertarung secara fair dengan Prabowo serta menekan aksi-aksi Deklarasi Gerakan 2019 Ganti Presiden (yang pada kenyataannya gerakan tersebut merupakan penekanan yang berindikasi kuat diikuti oleh organisasi terlarang HTI) sehingga menyebarkan kebohongan tentang Ratna Sarumpaet yang dipukuli karena sikap kritisnya terhadap pemerintah.

Propaganda hitam terhadap Jokowi dengan demonisasi citranya sebagai otoriter dan anti demokrasi adalah masuk akal karena itu kekuatan Joko Widodo yang utama. Hal tersebut membuat Joko Widodo mendapatkan dukungan semangat yang tinggi dari kelas menengah melek politik.

Kelas menengah yang mendukung Joko Widodo memandang jika mendukung beliau dapat menyelamatkan demokrasi, mempertahankan prinsip Bhinneka Tunggal Ika di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu mencegah kembalinya kekuasaan berkarakter militeristik orde baru atau kekuasaan ekonomi politik.

Wajar saja jika ada pihak yang berkebutuhan menghancurkan citra hegemoni ini sehingga menggantinya dengan imej anti demokrasi. Itulah motif yang diduga kuat menjadi penyebab penyebarluasan alat peraga kampanye (APK) “Raja Jokowi”.

Untung saja DPD PDIP Jateng cepat menyadari tentang operasi black propaganda atau propaganda hitam tersebut. Sejak tanggal 12 November DPD PDIP dan DPC PDIP se-Jawa Tengah menggerakkan semua kader untuk menyisir serta mencopot APK hitam yang terselubung tersebut serta mengumpulkan informasi tentang pihak-pihak yang ada di balik itu semua.

Sejumlah informasi telah berhasil dikumpulkan dan pihak PDIP perlu menindaklanjuti kasus ini serta tidak membiarkannya begitu saja. PDIP harus melaporkan kasus ini kepada Kepolisian dan mengawal prosesnya agar para pihak yang merencanakan tindakan tersebut mendapats hukuman yang setimpal. Demokrasi harus diselamatkan dari orang-orang yang mengejar sebuah kekuasaan dengan berbagai macam cara busuk.*

Penulis adalah Pemerhati Politik