Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sesuai UU No.32 Tahun 2004

Putusan Mendagri soal Berhala Bersifat Final dan Tak Bisa Digugat
Oleh : surya
Senin | 13-02-2012 | 16:09 WIB
Eko_Subowo.jpg Honda-Batam

Direktur Wilayah Administradi dan Perbatasan, Ditjen Pemerintahan Umum Kemendagri

JAKARTA, batamtoday-Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan, keputusan Mendagri Gamawan Fauzi memberikan Pulau Berhala kepada Provinsi Jambi dalam sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dengan Jambi bersifat final.

Hal itu ditegaskan dalam ayat 1 dab 2 pasal 198 UU No. 32 Tahun 2004, sehingga gugatan Pemerintah Provinsi Kepri dan Pemerintah Kabupaten Lingga ke Mahkamah Agung (MA) tidak akan mengubah apapun.

"Mestinya putusan Mendagri itu final. Di dalam ayat 1 dan 2 pasal 198 UU No.32 Tahun 2004 ditegaskan putusannya final, tetapi Mendagri bijaksana masih memberikan kesempatan agar menggugat ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung sendiri tidak bisa menolak dan harus uji," kata Eko Subowo, Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Ditjen Pemerintahan Umum Kemendagri di Jakarta, Senin (13/2/2012).

Menurutnya, jika merujuk pada pasal 198 UU No.32 Tahun 2004, keputusan Mendagri yang memberikan Pulau Berhala ke Jambi bersifat final meskipun diajukan judicial rewiew. "Saya kira Mahkamah Agung akan melihat undang-undang tersebut, yang dijadikan dasar Mendagri dalam mengambil keputusan sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Kepri dengan Jambi," katanya.

Hingga kini, Kemendagri lanjutnya, selain memutuskan kepemilikan Pulau Berhala, juga telah memutuskan sengketa Pulau Lari-larian antara Provinsi Kalimantan Selatan dengan Sulawesi Barat, yang diputuskan pulau tersebut diberikan ke Kalimatan Selatan. "Jadi soal sengketa kepemilikan baru dua yang diputuskan, yakni Pulau Berhala dan Lari-larian. Sengketa batas daerah lainnya akan kita tuntaskan hingga 2014," katanya.

Sengketa batas, katanya, juga terjadi antara Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Yakni sengketa tapal batas antara Kabupaten Rokan Hilir dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan di register 153 terkait perebutan kebun sawit, dan sengketa tapal batas antara Kabupaten Rokan Hulu dengan Kabupaten Padang Lawas.

"Sengketa tapal batas di Riau kedua-duanya terkait sumber daya alam, makanya sumber daya alam itu kutukan atau berkah. Kalau tidak sumber daya alam malahan aman dan damai," kata Eko.

Menurut Eko, untuk melakukan penegasan batas daerah antar provinsi perlu dilakukan penelitian dokumen, pelacakan batas, pengukuran koordinat posisi pilar batas, pemasangan pilar batas, dan pembuatan peta batas.

Ia mengatakan untuk proses penegasan batas itu rumit, memerlukan kegiatan lapangan, lama karena sulit, dan banyak biaya."Progres memang lambat, untuk itu diperlukan percepatan. Ini (segmen batas) harus segera diselesaikan karena ekses besar," katanya.

Selain menanganai sengketa batas antara Riau-Sumatera Utara, Kemendagri telah menerima pengaduan mengenai jumlah batas antardaerah sebanyak 946 segmen. Sebanyak 131 segmen batas telah selesai ditetapkan melalui peraturan menteri dalam negeri (permendagri) dan 206 segmen masih dalam proses penegasan. Menurut dia, ada sebanyak 609 segmen atau sekitar 64 persen yang belum diselesaikan.

Eko menambahkan, untuk mempercepat penyelesaian batas antardaerah ini, diperlukan beberapa upaya diantaranya adalah merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terkait pasal yang mengatur tentang batas daerah dan merevisi Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Selain itu, kata Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan Kemendagri, Ditjen Pemerintahan Umum juga menetapkan prioritas penyelesaian batas antarprovinsi melalui penegasan batas antarkabupaten dan kota berlainan provinsi. Kemudian diikuti dengan penyelesaian batas antarkabupaten dan kota dalam satu provinsi.

Sementara dari sisi sumber daya manusia, Eko mengatakan untuk mempercepat penyelesaian batas antardaerah diperlukan di antaranya pembentukan tim asistensi atau konsultasi di tingkat pusat untuk membantu dalam proses survei, pemetaan, fasilitasi konflik, verifikasi dan perancangan Permendagri.

Ia juga menyebutkan perlunya penerbitan sejumlah standar operasional (SOP) prosedur tim penegasan batas daerah pusat, provinsi, dan kabupaten serta kota dalam pelaksanaan kerjanya.