Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Paradoks Antara Kinerja Ekonomi dan Kepuasan Publik
Oleh : Redaksi
Selasa | 02-10-2018 | 11:40 WIB
ilustrasi-ekonomi-indo1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi indeks ekonomi Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Hanief Al-Amiri

KRITIK ekonom senior Rizal Ramli terhadap utang luar negeri Indonesia, yang ia sebut sudah ”lampu kuning” dan ”gali lubang tutup jurang”, terus menuai reaksi. Kritik itu dilontarkan sebagai respons atas pengumuman Bank Indonesia bahwa utang luar negeri Indonesia tahun 2017 mencapai lebih dari Rp 4.000 triliun.

Ia pun mengingatkan jumlah utang luar negeri itu sudah ”lampu kuning”. Ia juga menyebut upaya pemerintah sudah ”gali lubang tutup jurang”, dengan indikator keseimbangan primer (primary balance) negatif. Artinya, sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan utang baru.

Selain itu Debt Service Ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor juga turut berkontribusi pada kurang produktifnya utang luar negeri Indonesia. DSR Indonesia kini sudah menyentuh 39 persen. Kemudian, tax ratio baru sebesar 10,4 persen, lebih rendah dari sejumlah negara di ASEAN.

Tax ratio hanya 10 persenan karena pengelolaan fiskal tidak prudentalias ugal-ugalan. Indikator lain adalah trade account, service account, dan current account yang semuanya negatif, di samping faktor US Fed Rate. Itulah salah satu alasan utama kenapa kurs rupiah terus anjlok. Rizal Ramli pun menyebut klaim Istana yang mengaku telah mengelola makro ekonomi dengan hati-hati, sangatlah jauh dari fakta lapangan.

Selain Rizal Ramli, Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra Fadli Zon pun kerap menyuarakan kritik yang serupa dengan apa yang disampaikan Rizal Ramli. Fadli mengatakan Pemerintah saat ini telah gagal total karena setelah diberikan kesempatan untuk melakukan perubahan dan perbaikan selama 5 tahun tidak ada perubahan maupun perbaikan yang signifikan.

Bahkan dari sisi ekonomi hampir di semua aspek dinilai gagal. Fadli juga menyoroti anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dia menyebut kondisi itu sebagai salah satu kegagalan Jokowi memerintah Indonesia, alih-alih mempertahankan kurs rupiah lebih jeblok lagi dari yang tadi ya Rp 11 ribuan sekarang hampir 15 ribu.

Apabila kita perhatikan dengan seksama apakah yang disampaikan oleh Rizal Ramli dan Fadli Zon tersebut benar dan dapat dipertanggungjawabkan? Mari kita telaah lebih lanjut. Pada saat ini semua lembaga pemeringkat (Moodys, Fitch, S&P, JCRA dan Rating & Investment) menyatakan Indonesia adalah investment grade.

Bukankah bila menggunakan standar perbandingan antar negara-negara di dunia, Indonesia memiliki rasio utang terhadap PDB dan defisit APBN yang relatif kecil dan hati-hati? Pemerintah pun terus melakukan penurunan defisit APBN dan primary balance. Sejak 2012, pemerintah sudah mengalami defisit keseimbangan primer. Primary balance tertinggi terjadi pada 2015 (Rp -142,5 triliun) dan 2016 (Rp -125,6 triliun), justru pada saat Rizal Ramli menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi.

Dengan pengendalian tren negatif yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani secara hati-hati sejak pertengahan 2016, lanjut Nufransa, dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan defisit akan makin mengecil dan primary balance makin seimbang, bahkan mencapai surplus.

Pemerintah sekarang pun memusatkan perhatian untuk memulihkan ekspor dan investasi melalui berbagai kebijakan, baik insentif fiskal, penyederhanaan perizinan, juga kemudahan dan perbaikan pelayanan ekspor impor. Sementara, terkait pelemahan rupiah terhadap dolar AS, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal.

Pelemahan nilai mata uang hampir terjadi di semua negara Asia, disebabkan adanya rencana kenaikan suku bunga The Fed oleh Gubernur Bank Sentral AS yang baru, serta rencana proteksi perdagangan oleh Presiden Trump.

Selanjutnya mengenai Debt to Service Ratio (DSR) yang merupakan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara, menurut Nufransa, datanya tidaklah setinggi pernyataan Rizal Ramli. Pada 2017 misalnya, DSR tercatat 34,2%, bukan 39%, peningkatan DSR bukan karena biaya bunga yang tinggi, tapi lebih kepada cicilan pokok utang jatuh tempo yang agak besar pada 2018.

Bila kita lihat dari sisi lain yaitu pendapat masyarakat terhadap kepuasan dan keyakinan masyarakat terhadap Presiden Jokowi turut jadi salah satu topik survei Indikator Politik Indonesia. Seberapa besar angkanya? Survei digelar dengan wawancara langsung dalam kurun 1-6 September 2018. Metodologi survei adalah multistage random sampling dengan bertanya kepada warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilu.

Jumlah responden 1.220 orang. Margin of error survei sebesar kurang-lebih 2,9% dengan tingkat kepercayaan 95%. Survei yang dibacakan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi pada hari Rabu tanggal 26 September 2018. Dalam pemaparannya, Burhanuddin menyebut, dalam setahun terakhir, angka approval rating Jokowi nyaman di kisaran 60-70%.

Angka ini berbeda jauh saat Indikator menggelar survei pada 2015. "Jokowi anjlok pada Juni 2015. Saat itu jika pemilu dilakukan, kemungkinan besar Jokowi kalah," sebut Burhanuddin. Untuk survei menjelang Pilpres 2019, total responden yang sangat puas dan cukup puas terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden sebesar 72,4%. Sekitar 71% responden yakin akan kemampuan Jokowi memimpin negara.

Selain itu, survei Indikator juga memotret tingkat keyakinan publik atas kemampuan Jokowi memimpin. Sebanyak 71 persen responden menilai yakin akan kemampuan Jokowi memimpin. Masih tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi juga terkait dengan berbagai indikator yang dinilai oleh para responden.

Berikut hasil survei di berbagai bidang: 1. Bidang ekonomi: Sebanyak 31 persen responden menilai kondisi ekonomi baik, 44 persen menilai sedang, 24 persen dinilai buruk.

Sementara hanya 1 persen yang tidak menjawab; 2. Bidang politik: Sebanyak 34 persen responden menyatakan kondisi politik baik, 38 persen menyatakan sedang, dan 18 persen menyatakan buruk.

Adapun ada 10 persen responden tidak menjawab; 3. Bidang hukum: Sebanyak 48 persen responden menyatakan kondisi penegakan hukum baik, 31 persen sedang, dan 17 persen menilai buruk.

Adapun 4 persen tidak menjawab; 4. Bidang keamanan: Sebanyak 64 responden menyatakan kondisi keamanan baik 25 persen sedang dan 20 persen menyatakan buruk. Hanya 1 persen responden yang tidak menjawab.

Dari keempat indikator itu, dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisinya dinilai positif oleh publik. Sejak 2015 lalu, ada kecenderungan ke arah yang lebih positif. *

Penulis adalah Konsultan PSDM