Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Soal Larangan Pengurus Parpol Nyaleg sebagai Anggota DPD RI

Tahapan Pencalegan Sudah Berjalan, Hanura Nilai Putusan MK Tak Bisa Diberlakukan Sekarang
Oleh : Irawan
Kamis | 26-07-2018 | 08:04 WIB
hanura_oso_mk.jpg Honda-Batam
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang bersama Ketua DPD Hanura

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan calon anggota DPD berasal dari pengurus parpol itu dinilai Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) bersifat politis. Hanura menuding ada target politik di balik keputusan yang diambil secara cepat itu yang dimainkan pihak-pihak tertentu dengan menggunakan MK.

Karena itu, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) mengumpulkan seluruh pengurus DPP dan DPD se-Indonesia membahas putusan MK tersebut di Jakarta.

"MK telah melampaui kewenangannya dalam membuat tafsir dan keputusan. Ini harus menjadi tugas DPR, tapi 9 hakim mengalahkan 560 anggota DPR. Ketua DPR Bambang Soesatyo akan bertemu saya membahas ini, DPR sudah melakukan rapat," kata OSO di Jalan Karang Asem Utara, Kuningan, Jakarta, Rabu (25/7/2019).

Menurut OSO, tahapan-tahapan pencalegan baik sebagai anggota DPD RI maupun DPR RI sudah berjalan dan tinggal penetapan saja, sehingga tidak bisa dihentikan dengan putusan MK begitu saja.

"Saya misalnya sebagai calon anggota DPD, sudah melalui tahapan-tahapan dan sudah lolos. KPU sudah bekerja, masak diganggu putusan MK, apa KPU-nya mau tahapan-tahapan yang sudah berjalan terganggu, ya tidak bisa. Paling tidak putusan MK ini berlaku untuk Pemilu yang akan datang, tak bisa sekarang," katanya.

Ketua DPP bidang Kaderisasi Partai Hanuna Benny Rhamdany mengatakan, ada target politik dibalik putusan MK ini, yang prosesnya berjalan begitu sangat cepat, padahal MK menerima banyak judicial rewiew atau uji materi undang-undang.

"Putusan ini di dalamnya ada target politik. Yang pertama judicial review Pasal 128 itu diajukan April, putusan MK keluar tiga hari lalu. Begitu cepat keputusan ini. Di sisi lain, perkara MK itu begitu banyak," kata Benny.

"Kedua, sejak yang bersangkutan men-judicial review pasal tersebut, tidak pernah ada pemberitaan media massa, cetak, elektronik, TV, di mana wajib dipublikasi dan diakses publik, tidak ada," sambungnya.

Hanura menilai Pasal 128 itu salah ditafsirkan oleh MK. Dikatakan Benny, MK menafsirkan, untuk maju menjadi senator tidak boleh memiliki pekerjaan lain yang mendapatkan gaji. Pekerjaan lain yang dimaksud MK itu ialah bergabung menjadi pengurus parpol, padahal menurutnya menjadi pengurus parpol itu bukan pekerjaan yang mendapatkan gaji sesuai Pasal 128 itu.

"Pasal 128 terkait frasa tentang pekerjaan lain MK menafsir frasa pekerjaan lain termasuk di dalamnya parpol, padahal frasa yang dimaksud pekerjaan lain sesuai keahliannya itu dia dibayar, misalnya advokat, notaris, dan dokter," kata Benny.

Benny mengatakan MK dalam membuat keputusan itu tidak pernah memanggil DPR maupun DPD. Atas dasar itulah Hanura menuding ada target politik di balik keputusan MK tersebut.

"Selanjutnya DPD sebagai objek, bahkan DPR pembuat UU, itu tidak pernah dipanggil MK dalam persidangan judicial review untuk memberi kesaksian dalam forum persidangan, maka harusnya ada forum konsultatif," ungkapnya.

Editor: Surya