Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rapat Paripurna DPR Akhirnya Sahkan Revisi UU Tindak Pidana Terorisme
Oleh : Irawan
Jum\'at | 25-05-2018 | 13:40 WIB
Ruang_paripurna1.jpg Honda-Batam
Ruang Rapat Paripurna DPR

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Setelah melalui proses perdebatan panjang, DPR RI akhirnya mengetuk palu hasil Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Undang-undang tersebut disahkan langsung dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta,Jumat (25/5/2018).

"Apakah RUU tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme dapt disetujui untuk disahkan sebagai undang-undang?" tanya Agus diikuti kata sepakat seluruh anggota dewan yang hadir.

Dalam UU Antiterorisme yang baru tersebut, terdapat penambahan banyak substansi untuk menguatkan UU sebelumnya.

Salah satunya poin penambahan yakni ketentuan perlindungan korban aksi terorisme yang diatur secata komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban.

Dalam laporan Pansus kepada Rapat Paripurna DPR, Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme Muhammad Syafii mengungkapkan norma tentang korban aksi terorisme yang semula di UU 15 Tahun 2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja. Namun di UU Antiterorisme hasil disahkan nantinya, mengatur pemberian hak lainnya.

"Berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi," ujar Syafii.

Syafii melanjutkan ketentuan pemberian hak bagi korban terorisme tersebut diatur dalam pasal 35A, pasal 36, pasal 36A dan pasal 36B. Tak hanya itu, dalam UU Antiterorisme baru juga tidak hanya berlaku ke depan tetapi juga berlaku mundur, yakni korban bom yang terjadi sebelum UU tersebut disahkannya.

"RUU (saat ini sudah UU) mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU ini disahkan," ujar Syafii.

Dengan begitu, seperti terungkap dalam Rapat Kerja Pansus dengan Pemerintah Kamis (24/5) kemarin malam, pemberian hak kepada korban juga berlaku kepada para korban sejak bom Bali pertama sampai terjadi peledakan bom Thamrin.

Adapun dalam bagian penjelasan Antiterorisme hasil pengesahan, yang dimaksud korban dibagi dua yakni korban langsung dam tidak langsung.

Penjelasan pasal 35 ayat 2 huruf a) yang dimaksud dengan korban langsung adalah korban uang langsung mengalami dan merasakan akibat tindak pidana terorisme. Misalnya korban meninggal atau lima berat karena ledakan bom.

Penjelasan huruf b) yang dimaksud dengan korban tidak langsung adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada korban langsung. Misalnya istri yang kehilangan suami yang merupakan korban langsung.

Sementara mekanisme pengajuan kompensasi yang diatur dalam norma pasal 36, dalam penjelasan pasal disebut mekanisme pengajuan kompensasi dilaksanakan sejak tahap penyidikan. Selanjutnya penuntut umum menyampaikan, jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana terorisme bersama tuntutan. Jumlah kompensasi dihitung secara proporsional dan rasional dengan mendasarkan pada kerugian materil dan immateril.

Sementara norma yang mengatur kompensasi bagi korban sebelum RUU disahkan terdapat di pasal 43L, dengan penjelasan dimaksud dengan korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme sebelum undang-undang ini mulai berlaku adalah korban yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme yang terjadi Sejak berlakunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

10 fraksi setuju disahkan
Undang-undang tersebut disahkan setelah seluruh fraksi dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang Antiterorisme yang digelar sehari sebelumnya akhirnya menyepakati poin definisi terorisme yaitu rumusan alternatif kedua yang menyertakan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan. Padahal sebelumnya, fraksi PKB dan PDI Perjuangan menghendakidefinisi terorisme tanpa menyertakan frasa motif ideologi, politik dan gangguan keamanan.

"Karena hari ini berdasarkan musyawarah mufakat, lebih banyak di alternatif kedua. Meskipun kami tetap berpandangan di alternatif satu tapi sebagai wujud musyawarah mufakat maka kami pun akhirnya di alternatif dua," ujar Anggota Pansus mewakili Fraksi PKB Muhammad Toha di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5/2018).

Diketahui, RUU Antiterorisme sempat molor selama dua tahun. Pembahasan mengenai RUU tersebut semakin ramai didesak setelah peristiwa terorisme yang terjadi beruntun di Depok, Surabaya, dan Sidoarjo.

Seolah tak ingin disalahkan, saling bantah antara DPR dan pemerintah terkait penundaan pembahasanpun sempat mewarnai dinamika. Bahkan presiden juga sempat menegaskan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) jika RUU Antiterorisme belum juga segera disahkan.

Sebelumnya pada rapat Kamis (24/5) malam, anggota Pansus mewakili Fraksi PKB Muhammad Toha mengatakan, fraksinya sebenarnya masih berpandangan sebaiknya definisi terorisme tanpa menyertakan frasa motif ideologi, politik dan gangguan keamanan. Namun, karena mayoritas fraksi hampir menyepakati definisi terorisme dengan frasa motif, maka PKB mempertimbangkan asas musyawarah mufakat.

"Karena hari ini berdasarkan musyawarah mufakat, lebih banyak di alternatif kedua. Meskipun kami tetap berpandangan di alternatif satu tapi sebagai wujud musyawarah mufakat maka kami pun akhirnya di alternatif dua," ujar Toha di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5).

Begitu pun Fraksi PDIP yang diwakili oleh Risa Mariska menyatakan fraksinya dengan mempertimbangkan berbagai alasan pun akhirnya menyetujui alternatif dua. "Keputusan definisi fraksi kami mempertimbangkan berbagai hal, kami mengambil alternatif dua," ujar Risa.

Editor: Surya