Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Diet Ketat, Bobot Arya Permana Turun Drastis
Oleh : Redaksi
Selasa | 01-05-2018 | 10:04 WIB
arya.jpg Honda-Batam
Arya Permana (Sumber foto: BBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Karawang - Arya Permana, yang dinobatkan sebagai anak paling gemuk di dunia asal Karawang, Jawa Barat, berhasil menurunkan berat badannya hingga 83 kilogram. Kisah Arya menekankan catatan pentingnya mencegah kegemukan pada anak.

Sosok Arya Permana, anak laki-laki asal Desa Cipurwasari, Karawang, Jawa Barat saat ini amat jauh berbeda dibandingkan kondisinya satu tahun yang lalu.

Ketika itu Arya tidak bisa banyak bergerak dan hanya bisa berbaring di lantai rumahnya lantaran memiliki bobot tubuh hingga 192 kilogram. Media dalam dan luar negeri bahkan menyebut Arya sebagai anak paling gemuk sedunia.

Namun kini berat Arya Permana sudah berkurang 83 kilogram menjadi tinggal 109 kilogram saja. Penurunan ini sukses dilakukan Arya hanya dalam waktu 1 tahun. Arya mengaku senang bisa bebas beraktivitas.

"Saya senang sekarang bisa main kemana-mana bersama teman. Saya bisa olahraga juga main bola, tenis, bulu tangkis sama teman. Dan bisa pergi sekolah setiap hari." tutur Arya Permana.



Semua aktivitas tersebut merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan Arya saat bobot tubuhnya masih 192 kilogram. Ketika itu, bahkan untuk melakukan lebih dari 10 langkah saja ia sudah tidak mampu.

Arya mengatakan penurunan drastis berat badannya ini terjadi sejak dia menjalani operasi Bariatrik bulan April lalu.

"Berat saya turun drastis sejak operasi Bariatrik di RS Omni Alam Sutera Tangerang. Lambung saya 'dikecilin' sejak itu nafsu makan saya berkurang dan saya makan 6 sendok saja udah kenyang," imbuh Arya yang kini duduk di kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cipurwasari, Karawang, Jawa Barat.



Hingga kini Arya mengaku masih dalam pemantauan tim dokter yang mengharuskannya menjalani diet ketat dengan menghindari minuman manis dan mengkonsumsi makanan sehat. Arya bertekad untuk menurunkan berat badannya hingga di bawah 60 kg.

"Saya cuma dilarang minum yang manis-manis terutama minuman dalam kemasan dan harus rajin olahraga serta banyak makan buah-buahan," tuturnya.

Dokter Samuel Oetoro, Spesialis Gizi Klinik dari MRCCC Siloam Hospitals, Jakarta mengatakan operasi bariatrik atau teknik operasi pengecilan dan bypass lambung memang menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi kasus severe Obesity atau obesitas parah seperti dalam kasus Arya.

"Dengan bobot tubuh Arya yang 192 kg itu memang sudah jadi indikasi perlu dilakukan operasi bariatrik. Karena metode yang lain sudah tidak bisa dilakukan menahan asupan makanan sudah tidak bisa berolahraga juga tidak akan banyak berpengaruh. Jadi memang harus dikecilkan lambungnya agar nafsu makannya bisa ditekan dan tidak perlu asupan makan yang banyak," kata dr Samuel Oetoro.

Meski efektif, dokter Samuel Oetoro mengingatkan disiplin untuk mengubah perilaku makan menjadi faktor yang sangat penting pasca melakukan operasi.

"Pasien operasi Bariatrik harus hati-hati karena bisa jadi kebiasaan makan mereka yang lama kambuh lagi. Memang sekarang mereka tidak bisa makan banyak, volume makanan yang disantap sedikit, tapi kalo sering makan? ya bisa naik lagi berat badannya, oleh karena itu terapi perilaku makan juga harus dilakukan," ungkapnya.

Obesitas anak meningkat

Kasus Arya mengingatkan betapa seriusnya masalah obesitas pada anak di Indonesia. Apalagi tidak lama berselang, diketahui juga ada anak yang menderita obesitas parah lainnya, yakni Rizki Rahmat Ramadhan dari Palembang, Sumatera Selatan yang memiliki bobot tubuh 119 kilogram pada usia 10 tahun.

Data dari World Health Organization (WHO) pada 2013 mencatat, persentase obesitas anak di Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Data itu menyebutkan hampir 12 persen anak Indonesia mengalami obesitas.

Angka ini melonjak drastis dibandingkan data pada dekade 2000-an. Dimana pada tahun 2001, jumlah penderita obesitas anak di Indonesia hanya sebesar 2 persen, dan meningkat menjadi 5 persen pada 2004, dan melonjak tajam menjadi 11 persen pada 2007 lalu.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2013 juga menunjukan lonjakan penderita obesitas anak di Indonesia terjadi hampir di semua kelas sosial. Dimana selisih persentase penderita obesitas pada keluarga kaya (15 persen) dan keluarga miskin (12 persen) hanya 3 persen saja.



Dr. Samuel Oetoro mengatakan tren peningkatan kasus obesitas pada anak dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat di dalam keluarga.

"Ini gara-gara pola hidup. Ekonomi meningkat, otomatis daya beli meningkat, kemampuan orang tua untuk membelikan makanan bagi anaknya juga turut meningkat, dan mall juga tambah banyak, restoran banyak dan mayoritas junk food, anak jadi tergoda," ungkapnya.

Cegah anak kegemukan

Dr. Samuel Oetoro menambahkan meski saat sudah banyak metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi obesitas, tetap saja pencegahan merupakan cara yang paling ampuh untuk mengatasinya. Dan ia menekankan pentingnya peran orang tua.

"Saya tekankan yang penting bagi anak-anak cegah jangan sampai dia kegemukan. Jangan biasakan anak makan berlebihan, kedua jangan makan atau minum yang manis berlebihan seperti soft drink, junk food, karena anak sangat mudah timbul ketagihan dan obesitas itu erat kaitannya dengan unsur adiksi atau kecanduan."

Obesitas anak

Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia sebagai negara dengan prevalensi anak obesitas tertinggi di Asia Tenggara, yakni 12 persen.

Ia juga meminta masyarakat meninggalkan anggapan anak gemuk itu sehat atau menggemaskan.

"Anggapan yang seperti itu sudahlah tingalkan, jaman dulu waktu negara masih susah kekurangan, banyak orang kurang gizi sehingga melihat anak gemuk itu sehat. Zaman sekarang, gemuk atau kelebihan berat badan itu penyakit."



Selain pada anak, jumlah kasus obesitas di kalangan warga dewasa juga meningkat. Data pemantauan status Gizi Kementerian Kesehatan menunjukan pada tahun 2017 lalu, sebanyak 25,8 persen atau lebih dari seperempat warga Indonesia mengalami obesitas.

Data menunjukkan tingkat kemakmuran menjadi salah satu pemicu, selain faktor genetis yang sulit dihindari.

Sumber: Autralia Plus
Editor: Udin