Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ketika Seniman Tua Melancarkan Kritik Sosial
Oleh : Redaksi/detikHot
Sabtu | 31-12-2011 | 12:25 WIB
kantata_barock_konser.jpg Honda-Batam

Konser Kantata Barock. (Foto: detikHot).

JAKARTA, batamtoday - Setelah 21 tahun berlalu, akhirnya Kantata kembali ke Stadion Gelora Bung Karno. Nostalgia pun tergugah dengan tetap mengedepankan kritik sosial. Panggung pun laksana mimbar orasi para seniman sepuh ini.

Kantata yang kali ini memakai nama Kantata Barock digawangi oleh Setiawan Djody, Iwan Fals dan Sawung Jabo. Minus penyair WS Rendra dan musisi Yockie Suryo Prayogo yang telah bersama Kantata ketika Kantata Takwa, Kantata Revolvere dan Kantata Samsara hadir di jagat musik Tanah Air.

Namun, semangat para orangtua itu ternyata tidaklah habis termakan usia. Selama 4 jam Kantata Barock menggoyang dan menghipnotis seluruh penonton yang kala itu datang ke Stadion Gelora Bung Karno tempat dimana mereka pernah melangsungkan konser 21 tahun yang lalu.

Pada kesempatan itu, kritik sosial pun tumpah ruah. Berbagai aspek sosial dikritisi di setiap konser yang dipadati oleh puluhan ribu penonton tersebut.

Pesan pembuka yang disampaikan para seniman sepuh itu adalah soal kejujuran dan moralitas yang dianggap mereka sudah menjadi barang langka di negeri yang bernama Indonesia ini.

Demokrasi yang digadang-gadangkan pun bukannya menciptakan pemerataan ekonomi. Karena, ternyata semua sudah dimonopoli sampai pada akhirnya membuat para pemuda menjadi pengangguran resah.

Berbagai tembang yang pernah hits di tahunnya menggema untuk merepresentasi kritik-kritik itu mulai dari 'Partai Bonek', 'Goro-goro', 'Badut', 'Pangeran Brengsek' hingga 'Bento' dibawakan dengan semangat. Tak ketinggalan para pendekar tua itu pun sempat beberapa kali menari menikmati alunan musik.

Lagu baru seperti 'Tikus Rong-rong' dan arasemen ulang lagu 'Bento' yang dinamakan 'Bento Kita' juga ikut mengalir bersama latar panggung yang sarat kritik karena memperlihatkan berbagai simbol dan pesan. Mulai dari gambar kecoa yang merepresentasi para penghisap ekonomi, hingga foto Gayus dan beberapa pemimpin negara yang dianggap diktator.

 

"Mari kita pertahankan moral kebangsaan," teriak Setiawan Djody yang disambut histeris oleh penonton, Jumat (30/12/2011) malam.

Pada kesempatan yang sama Iwan Fals juga melayangkan kritiknya terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang memang direncanakan dibangun di daerah Muria, Jawa.

Menurut Iwan Fals dalam lagunya, listrik memang penting. Tapi masalahnya, resiko kebocoran dan radiasi yang bisa disebabkan oleh nuklir dianggap jauh lebih berbahaya. Tenaga matahari, panas bumi dan angin pun disodorkan sebagai alternatif.

Di lain kesempatan, pria yang kala itu mengenakan kaos berwarna hitam pun ingat dengan pesan WS Rendra yang sedih melihat nasib nelayan. WS Rendra menurut Iwan Fals pernah mempertanyakan kenapa harga ikan mahal tapi kehidupan nelayan malah miskin.

Sang legendaris itu pernah berpesan, agar kita semua menjaga terumbu karang dan hutan mangrove. Karena kedua tempat itu adalah tempat hidup ikan yang kita butuhkan untuk konsumsi.

"Karena itu lagu ini tercipta. Ini adalah lagu baru, sebelumnya saya ingin memberinya judul 'Samudera' tapi akhirnya saya pilih 'Ombak'," ujar Iwan Fals sesaat sebelum menyanyikan 'Ombak.'

Tidak lupa pula 'Mata Dewa', 'Doa' dan 'Nyanyian Jiwa' dibawakan. "Waktu saya sakit dan hampir meninggal, lagu inilah yang saya minta ke anak saya untuk diputar. Inilah 'Nyanyian Jiwa'," cetus Djody.

Dan ketika lagu 'Bongkar' berkumandang, seisi stadion pun bergoyang. Koor panjang tercipta sambil diselingi orasi singkat sang penyanyi.

Tapi yang patut di kritisi ketika lagu ini dibawakan adalah penampilan dari penari latarnya. Pada lagu 'Bongkar' yang penuh kritik yang mengajak para pendengarnya untuk membongkar keadaan yang menghimpit. Penari latar malah menggunakan atribut penuh kekerasan seperti replika golok, pipa besi hingga pacul dan garpu rumput.

Meski replika, ini tentu tidak baik bila ditinjau dari sudut psikologi. Sebab dengan adanya 'contoh-contoh' seperti itu, takutnya masyarakat (penonton) malah menganggap vandalisme seolah menjadi jawaban semuanya.

Selepas lagu 'Bongkar,' Kantata Barock kembali melancarkan kritiknya terhadap nasib para TKW, maraknya korupsi di negeri ini hingga kekerasan atas nama agama yang kian marak terjadi.

Dan akhirnya, "manusia hidup jangan pernah mengingkari hati nurani," dendang Sawung Jabo ketika membawakan lagu 'Hio' yang diakhiri dengan 'Kesaksian' untuk menutup konser kali itu.

"Sampai jumpa teman-teman. Kita bertemu lagi sebelum pemilu," janji Djody.