Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Praktik Mahar Politik Merupakan Racun dalam Demokrasi
Oleh : Redaksi
Minggu | 04-03-2018 | 10:30 WIB
suhajar_diantoro2.jpg Honda-Batam
uharjar Diantoro, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri bidang Pemerintahan

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan praktik mahar politik merupakan racun dalam demokrasi, sehingga bisa mencederai pemilihan umum, baik itu pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.

"Mahar politik itu racun dalam demokrasi," kata Suharjar Diantoro, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri bidang Pemerintahan dalam "Menciptakan Politik Bersih Tanpa Mahar Untuk Indonesia Sejahtera", di Jakarta, Sabtu (3/3/2018).

Mantan Rektor IPDN ini mengatakan, praktik demokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah melalui pemilihan umum terciderai bila dilakukan dengan mahar politik. Sebab, mahar politik merupakan tindak pidana.

"Mahar politik adalah racun di dalam pelaksanaan demokrasi kita. Ini adalah tindak pidana," kata Suhajar.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, lanjut Suhajar, sanksi untuk yang melakukan mahar politik jelas, yakni penjara 72 bulan plus denda maksimal Rp 1 miliar.

Namun masih ada yang berani melakukam praktik mahar. Biaya politik, kata dia, memang ada. Tetapi, hanya pada batasan tertentu hal itu diperbolehkan.

Ia menyadari, bantuan dana untuk partai politik masih kecil. Persentasenya di APBN nilainya hanya 0,016 persen.

"Padahal parpol ini adalah sebuah institusi yang dibangun dan fokus pembangunannya politik dalam negara demokrasi," ujar mantan Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini.

Karena itu, sebagai bentuk dukungan dan memperkuat partai politik, pemerintah menaikan dana parpol Rp 108 persuara ke Rp 1.000 persuara.

"Kenapa karena sesungguhnya dalam demokrasi, parpol itu jembatan penghubung antara rakyat dan pemerintah," ujar Suhajar.

Editor: Surya