Program 3 Juta Rumah Ala Presiden Prabowo, Ambisi Besar, Risiko Terlalu Lebar dan tidak Realistis
Oleh : Redaksi
Selasa | 19-11-2024 | 21:08 WIB
matnur_b10.jpg

Oleh Achmad Nur Hidayat

PROGRAM 3 Juta Rumah yang dirancang Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman adalah sebuah inisiatif ambisius, (seperti halnya pembangunan IKN), pada masa Pemerintahan Prabowo yang sangat tidak realistis dalam hal anggaran.

Terlepas dari tujuannya yang mulia yaitu mengatasi backlog (kekurangan rumah) bagi keluarga miskin, program ini menyimpan sejumlah kelemahan fundamental yang berpotensi menghambat realisasi tujuan tersebut.

Berikut adalah analisis kritis terhadap program ini, dengan menggali lebih dalam kelemahan pada setiap aspeknya.

Ketidakpastian Sumber Pendanaan

Pendanaan menjadi isu utama dalam program besar seperti ini. Pembangunan tiga juta unit rumah setiap tahun membutuhkan biaya yang sangat besar, terutama jika melibatkan berbagai aspek, seperti pembangunan infrastruktur pendukung, penyediaan bahan material, dan pembiayaan subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Mengandalkan APBN untuk seluruh pembiayaan sangat tidak realistis, terutama dalam kondisi defisit anggaran yang sudah tinggi.

Estimasi Anggaran untuk Program 3 Juta Rumah

Untuk memberikan gambaran lebih rinci, berikut adalah penjabaran anggaran berdasarkan rata-rata biaya pembangunan dan komponen-komponen yang terlibat.

Rata-rata Biaya Pembangunan Rumah

Pembangunan rumah sederhana tipe 36 untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia umumnya membutuhkan biaya sekitar Rp150 juta hingga Rp200 juta per unit.

Biaya ini mencakup komponen seperti Material konstruksi (semen, bata, atap, dll.), Biaya tenaga kerja, Biaya infrastruktur dasar seperti jaringan listrik, air bersih, dan jalan lingkungan dan Penyediaan fasilitas umum (jika termasuk dalam kompleks perumahan).

Jika mengacu pada angka tersebut, untuk membangun 3 juta rumah, total anggaran per tahun berkisar antara Rp450 triliun hingga Rp600 triliun.

Angka ini sudah mencakup berbagai variabel, tetapi bisa meningkat tergantung pada lokasi, kondisi geografis, dan kebutuhan infrastruktur tambahan.

Komponen Anggaran Tambahan

Biaya pembangunan rumah di wilayah terpencil atau pesisir pasti memerlukan biaya lebih tinggi karena harus melibatkan pembangunan infrastruktur baru seperti jalan akses, jembatan, dan jaringan listrik.

Belum lagi, Penyediaan air bersih dan pengelolaan limbah juga menjadi komponen anggaran yang signifikan, terutama untuk daerah yang belum memiliki sistem distribusi air.

Subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Dengan asumsi 70% dari total rumah yang dibangun dialokasikan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, subsidi saja bisa mencapai Rp63 triliun hingga Rp105 triliun per tahun.

Biaya Operasional dan Administrasi

Pembangunan berskala besar ini memerlukan koordinasi lintas kementerian, pengawasan ketat, dan manajemen proyek yang baik. Biaya operasional bisa mencakup 5%-10% dari total anggaran, atau sekitar Rp22,5 triliun hingga Rp60 triliun per tahun.

Tantangan Anggaran

Angka Rp450 triliun hingga Rp600 triliun adalah beban besar jika seluruhnya ditanggung oleh APBN.

Sebagai perbandingan, anggaran belanja negara pada 2024 adalah sekitar Rp3.600 triliun.

Artinya, program ini akan memakan lebih dari 10%-15% anggaran negara, sehingga berpotensi mengorbankan prioritas lain, seperti kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur umum lainnya.

Oleh karena itu, program 3 juta rumah perlu merancang strategi yang matang, termasuk melibatkan pihak swasta, mengoptimalkan aset negara, dan mencari sumber pendanaan alternatif agar program ini dapat terlaksana tanpa mengorbankan sektor lainnya.

Sumber Pendanaan China dan Qatar

Kekhawatiran semakin meningkat jika pemerintah juga melibatkan investor asing seperti dari China dan Qatar dalam jumlah besar, yang dapat memicu ketergantungan ekonomi.

Ketergantungan semacam ini membuka celah bagi tekanan politik atau ekonomi di masa depan, terutama jika pendanaan berasal dari negara dengan kepentingan strategis tertentu terhadap Indonesia.

Resiko Distribusi Pembangunan yang Tidak Merata

Program ini berjanji amat muluk yaitu membangun rumah di berbagai wilayah, termasuk perkotaan, pedesaan, dan pesisir.

Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa distribusi pembangunan sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah.

Daerah-daerah terpencil sering kali tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai, seperti jalan akses, listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan.

Ketidaktersediaan infrastruktur ini dapat menghambat pelaksanaan program dan menyebabkan rumah yang telah dibangun tidak dapat dihuni secara optimal.

Selain itu, pembangunan rumah di wilayah yang terlalu terpencil berisiko tidak menarik bagi masyarakat yang membutuhkan akses lebih dekat ke pusat-pusat ekonomi atau layanan publik.

Hal ini dapat menyebabkan rumah-rumah yang telah dibangun tidak diminati, sehingga menciptakan masalah baru berupa kawasan perumahan mangkrak.

Risiko Kelemahan dalam Sasaran Penerima

Program tersebut di desain menyasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan kelompok masyarakat miskin di bawah kategori tersebut.

Namun, kriteria penerima manfaat masih belum jelas, sehingga rawan terjadi penyalahgunaan.

Pengalaman dari program-program serupa di masa lalu menunjukkan bahwa rumah yang disubsidi pemerintah sering kali jatuh ke tangan kelompok yang sebenarnya tidak termasuk dalam kategori sasaran, seperti spekulan properti atau kelompok ekonomi menengah yang lebih mampu.

Selain itu, kelompok masyarakat miskin yang bekerja dengan penghasilan tidak tetap menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kewajiban cicilan meskipun tenor diperpanjang hingga 30 tahun.

Ketidakmampuan mereka untuk membayar cicilan dapat mengakibatkan tingginya angka gagal bayar, yang pada akhirnya berujung pada penggusuran atau penyitaan properti. Situasi ini justru memperburuk kesenjangan sosial.

Resiko Keterbatasan Keterlibatan Swasta

Pengembang swasta memainkan peran penting dalam pembangunan perumahan. Namun, program ini cenderung tidak menarik bagi pengembang besar, terutama untuk proyek yang berlokasi di daerah terpencil.

Margin keuntungan yang rendah dan risiko tinggi membuat pengembang swasta lebih memilih berfokus pada pembangunan perumahan komersial di wilayah perkotaan.

Akibatnya, pembangunan di daerah pedesaan dan pesisir mungkin bergantung pada pengembang kecil yang memiliki kapasitas dan sumber daya terbatas.

Selain itu, keterlibatan swasta yang rendah dapat memperlambat realisasi program. Dalam situasi ini, pemerintah perlu mengandalkan kontraktor lokal yang mungkin tidak memiliki pengalaman atau kemampuan untuk mengelola proyek skala besar secara efisien.

Risiko Desain dan Lokasi yang Tidak Sesuai Kebutuhan

Dalam perencanaan proyek perumahan, penting untuk mempertimbangkan kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.

Namun, sering kali proyek-proyek pemerintah seperti ini mengabaikan aspek-aspek tersebut, yang berujung pada rendahnya tingkat hunian.

Misalnya, membangun rumah di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi dapat menyulitkan penghuni untuk mencari nafkah, sehingga rumah-rumah tersebut akhirnya tidak dihuni.

Selain itu, desain rumah yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal juga menjadi masalah.

Beberapa masyarakat memiliki preferensi tertentu dalam hal tata ruang, material, atau fasilitas yang disediakan. Mengabaikan preferensi ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan rendahnya minat terhadap rumah yang telah dibangun.

Risiko Korupsi dan Mangkrak

Meskipun Kementerian Perumahan telah ada untuk menangani sektor ini, keberhasilan program sebesar ini memerlukan koordinasi lintas kementerian dan tingkat pemerintahan.

Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa program perumahan sering kali terhambat oleh kurangnya koordinasi, birokrasi yang rumit, dan lemahnya pengawasan.

Hal ini meningkatkan risiko proyek mangkrak, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat pengawasan pemerintah pusat.

Selain itu, tanpa pengawasan yang memadai, program ini berpotensi menjadi lahan subur untuk praktik korupsi. Pengadaan material, penentuan lokasi pembangunan, dan distribusi rumah semuanya adalah area yang rentan terhadap penyimpangan jika tidak diawasi secara ketat.

Potensi Konflik Sosial

Program ini juga dapat memicu konflik sosial, terutama jika tidak ada transparansi dalam proses distribusi rumah.

Ketimpangan antara kelompok masyarakat yang mendapatkan manfaat dengan yang tidak dapat menyebabkan kecemburuan sosial, yang pada akhirnya berpotensi memicu protes atau ketegangan di masyarakat.

Selain itu, pembangunan rumah dalam skala besar sering kali melibatkan penggunaan lahan yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan lain, seperti lahan pertanian atau kawasan konservasi.

Pengalihan fungsi lahan ini dapat memicu konflik antara pemerintah, masyarakat lokal, dan kelompok-kelompok lingkungan.

Catatan utama

Program 3 Juta Rumah Presiden Prabowo adalah sebuah langkah ambisius yang bertujuan untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia.

Namun, berbagai kelemahan yang ada menunjukkan bahwa program ini membutuhkan perencanaan yang lebih matang dan pelaksanaan yang lebih terorganisasi.

Tanpa mengatasi isu-isu fundamental seperti pendanaan, distribusi pembangunan, sasaran penerima, dan risiko konflik sosial, program ini berpotensi menghadapi kegagalan seperti inisiatif-inisiatif serupa di masa lalu.

Pemerintah perlu membuka ruang diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa program ini tidak hanya menjadi janji politik, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Kesan program 3 juta tersebut tidak membuka ruang diskusi, kesannya adalah Top Down Policy yang sangat tidak realistis.

Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta